Rabu, 24 November 2010

PLURALITAS AGAMA: KRISIS KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

Oleh: Sugiman

Kerukunan umat agama merupakan pergumulan bangsa Indonesia dari jaman ke jaman, yang masih belum terpecahkan, yang menguras waktu, emosi dan pemikiran. Banyak buku, artikel yang dihasilkan oleh mereka yang memiliki hati nurani, dan dialog-dialog bagi mereka yang menyadari bahwa dirinya manusia, yang peduli dengan nilai-nilai kehidupan di dalam keluarga yang harmonis, suasana damai dan sejahtera di bumi Indonesia yang majemuk. Sungguh masalah kerukunan antar agama dalam rumah tangga negara Republik Indonesia yang majemuk tidak ada habis-habisnya diperbincangkan melalui berbagai media, dialog untuk mencari titik temu yang diharapkan, tetapi tetap saja ada yang menyalakan “api”, dan menyiramkan bensin serta memanfaatkannya.
Masih melekat di ingatan kita mengenai peristiwa yang terjadi selama bulan Oktober hingga Desember 1992, peristiwa isu lemak babi, pembakaran kitab suci antarsekolah, pelemparan dan pembakaran gereja. Selanjutnya, peristiwa Cikampek (12/4/1996), Bogor (14/4/1996); Surabaya (9/6/1996), Situbondo (10/10/1996). Selanjutnya, peristiwa Tasikmalaya (26-27/12/1996), peristiwa kerusuhan Ambon (19/1/1999-Januari 2000), banyak orang yang meninggal karena membela agamanya (Islam vs Kristen). Selanjutnya, kerusuhan Maluku tahun 1999 juga tidak terlepas dari masalah agama. Bahkan mereka menyebut kelompoknya sebagai “Laskar Jihad” yang siap membantu perang saudara antara umat Islam dan Kristen di sana. Selanjutnya, peristiwa penyerangan HKBP Rajeg, Kutabumi, Tangerang (2/9/2007), peristiwa HKBP Bekasi Minggu (12/9/2010) pukul 17:05 ditayangkan di RCTI, yang diserang oleh kelompok Islam yang menggunakan kopiah putih sebagai lambang kesucian. Pendetanya dipukul, jemaatnya ditusuk dan disertai dengan pelemparan batu kepada rumah ibadah. Peristiwa ini juga tidak terlepas dari masalah kemajemukan agama, sekali pun SBY menyatakan supaya tidak dikaitkan dengan agama. Semuanya itu adalah bentuk-bentuk kekerasan, penindasan yang menyangkut SARA. Semua itu juga adalah fakta-fakta yang harus diakui dengan jujur dari hati nurani yang terdalam, bahwa perbedaan agama salah satu faktor penyebab umatanya. Artinya ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya: seperti faktor sosial-politik, ekonomi, budaya dan agama atau keyakinan yang tidak sama. Dari bukti-bukti yang ada memperlihatkan, bahwa agama Kristen (Katolik, Protestan, Pentakosta dll) adalah agama yang sangat sering menjadi objek kekerasan dan penindasan dari kelompok mayoritas. Hal itu menjadi sangat jelas diperlihatkan melalui perusakan tempat-tempat ibadah umat Kristiani (gedung-gedung Gereja), Yayasan-yayasan Kristen dan hingga gedung-gedung sekolah umat Kristen. Misalnya peristiwa yang masih hangat ketika HKBP PTI Bekasi pada 8 Agustus 2010 diserang masa yang berjumlah sekitar 450 orang. Gedung Gereja dilempari dengan batu, pendeta dan jemaatnya dikejar hingga terjadi pemukulan dan penusukan terhadap pendeta Luspida Simanjuntak. Semuanya itu adalah bentuk-bentuk penindasan dan penolakan terhadap eksistensi umat Kristiani, khususnya di Indonesia. Tidak puas jika hanya merusak, maka harus disertai tindakan-tindakan kekerasan yang menyebabkan pertumpahan darah, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Ini adalah tindakan-tindakan yang tidak manusiawi, yang tidak perlu dipelihara turun-temurun. Tetapi itulah realita yang ada. Kemajemukan agama dianggap sebagai ancaman yang mendatangkan malapetaka atau bencana.

Beberapa penyebab konflik
Ada beberapa penyebab yang harus diperhatikan dengan seksama:
1. Miskinnya ilmu dan sempitnya pemikiran tentang agama. Miskinnya ilmu pengetahuan membuat seseorang tidak bisa berpikir kritis terhadap ajakan-ajakan kejahatan, sehingga mudah terpropokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Demikian juga dengan sempitnya pemahaman tengan agama. Agama seharusnya dipahami sebagai konsep pembebasan, bukan pemusnahan, kekerasan dan penindasan.
2. Konsep atau pemikiran yang menganggap hanya agamaku yang benar (truth only). Saya yakin bahwa semua agama mendasarkan pengajarannya pada kebenaran Tuhan Yang Esa. Namun demikian, kekeliruan dalam memahami kebenaran Tuhan pun tidak terhindarkan. Mengapa? Karena cenderung menutup diri dan hanya melihat nilai-nilai kebenaran itu dari satu sudut pandang saja, yaitu agamanya. Akibatnya ia cenderung menyalahkan, menghakimi, menjelek-jelekan dan menganggap agama yang lain salah total.
3. Rendahnya inisiatif untuk berkomunikasi atau berdialog atau berinteraksi dengan orang-orang yang ada di lingkungan kita hidup (tidak rama lingkungan). Keramahan dalam menyapa, berinteraksi secara sadar bahwa kita hidup di dalam sutu komunitas adalah hal yang sangat penting untuk tetap memelihara keharmonisan hidup di dalam rumah tangga Indonesia yang majemuk.
4. Kesenjangan sosial politik dan ekonomi. Misalnya besarnya peran yang dilakukan kelompok minoritas, entah itu dalam bidang politik maupun ekonomi juga dapat menjadi pemicu terjadinya konflik.
5. Kelancaran dalam pembangunan tempat-tempat ibadah. Misalnya, penganut Islam membangun Mesjid dan lama sekali jadinya, tetapi tiba-tiba umat Kristen membangun Gereja dan langsung berdiri, atau sebaliknya. Hal seperti ini juga salah satu penyebab terjadinya konflik.
6. Sikap keegoisan yang tinggi dan tidak adanya toleransi seorang terhadap yang lain. Hidup bernegara adalah seperti hidup di dalam keluarga, yaitu di mana orang tua harus bersikap ramah kepada semua anak-anaknya. Sehingga tidak ada yang dianggap anak kandung dan anak tiri tetapi semuanya diperhatikan dan diperlakukan dengan adil.
7. Mengasihi setengah hati. Misalnya salah seorang (baik Kristen maupun Islam) melakukan misi atau dakwah agama dengan memberi iming-iming, seperti menyekolahkan, memberi hadiah dan lain-lain dengan harapan supaya ia masuk agama Kristen atau masuk Islam. Menurut saya itu adalah kasih yang tidak tulus atau mengasihi setengah hati.

Beberapa Solusi/ Usulan Jalan Keluar:
Ternyata begitu banyak dan rumitnya permasalahan yang ada dalam kehidupan beragama di Indonesia ini. Bila dibiarkan tentu menimbulkan keguncangan, hancurnya dan lemahnya. Untuk mengatasi atau meminimalisir terjadinya konflik yang berkepanjangan, maka ada beberapa jalan keluar yang diusulkan:
1. Memperluas cakrawala (terbuka). Sudah seharusnya kita melihat bahwa ajaran agama bukanlah ilmu yang tertutup, yang hanya bisa dipelajari oleh para penganutnya. Dengan kata lain, hendaknya setiap umat bisa mempelajari agama lain, yang bisa menuntun kita untuk melihat nilai-nilai kebenaran dari berbagai sudut pandang. Sehingga tidak mudah mempunyai persepsi yang salah dan menuduhkan hal-hal yang tidak sebenarnya. Mempelajari dan memahami agama lain adalah hal yang sangat penting guna memperluas wawasan keagamaan. Mempelajari dan memahami ajaran-ajaran dasar agama lain tidak berarti menganut dan meyakininya, karena itu masalah pribadi yang tidak bisa dipaksakan.
2. Agama seharusnya dipahami sebagai konsep pembebasan, yaitu di mana pemahaman agama seseorang harus memberi dampak yang positif, menghidupkan, mengobati yang yang sakit, membalut yang terluka, memberi makan yang kelaparan, membebaskan yang tertindas, memperjuangkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Artinya, seseorang seharusnya memperlihatkan ciri-ciri agama yang dianutnya. Misalnya seorang Kristen memperlihatkan ciri hidup Kristus yang sangat manusiawi dari manusia. Karena kehidupan Kristen didasarkan pada hidup, pengajaran dan karya Yesus, yaitu MELAYANI.
3. Menyadari bahwa pluralitas di Indonesia merupakan suatu fakta yang tidak bisa dihindari dan harus diakui. Karena itu, pluralitas keagamaan harus diterima sebagai kekayaan ilmu yang menuntut kita untuk mempelajarinya. Pluralitas hendaknya dipahami sebagai jejak awal menuju proses globalisasi di suatu Negara dan sebagaimana globalisasi tak mungkin dielakkan dalam dunia modern. Karena itu, kalau ilmu pengetahuan umum saja kita pelajari, lalu mengapa kita engan dan menutup diri untuk mempelajari agama lain. Karena dengan mempelajari nilai-nilai kebenaran yang agung akan menjadi pondasi yang kokoh tempat kita berpijak untuk hidup di dalam kemajemukan itu sendiri.
4. Menghindari pemanfaatkan agama sebagai alat untuk meningkatkan dan “membenarkan” pertikaian. Karena dengan menggunakan agama sebagai label pembenaran tindakan kejahatan, maka sama halnya kita menjadi penghianat terhadap ajaran agama tentang kebenaran, pengampunan, belaskasihan dan pembebasan manusia dari ekploitasi. Abd A’la mengatakan, bahwa dalam agama Islam, pluralitas agama dipahami sebagai realitas yang harus ditanggapi secara positif melalui dialog dan kerja sama untuk menemukan kebenaran yang universal.
5. Pluralitas agama seharusnya ditumbuhkembangkan di era globalisasi untuk menuju Negara yang bekerja sama dan sebagai akses potensial untuk pengembangan paham keagamaan holistik.
6. Memahami pluralitas agama sebagai pemurni keimanan dan ketakwaan kita kepada Tuhan. Misalnya, jika kita hanya mengasihi seseorang karena dia satu agama dengan kita adalah hal yang biasa-biasa saja. Karena tidak semua orang bisa mengasihi seseorang yang beragama lain dari dirinya. Oleh sebab itu, seharusnya pluralitas agama menentang kita untuk membuktikan kasih yang murni sebagaimana Tuhan mengasihi kita dengan tidak memandang status keagamaan, suku, warna kulit dan bahasa, tetapi karena kita manusia. Jika setiap orang fokus melihat pada manusianya, maka tidak akan ada dia suku ini, suku itu, agama ini dan agama itu, tetapi karena dia manusia.
7. Agama harus manusiawi. Karena banyak agama yang melihat Tuhan yang transenden, jauh dan samar-samar, sehingga yang dibicarakan hanya surga dan lupa bahwa dia masih hidup di dunia yang penuh kekerasan, kejahatan dan penderitaan. Seharusnya agama sebagai agen-agen perdamaian, keadilan, ketentraman dan keamanan. Artinya, kita harus membawa segala sesuatu yang kita bayangkan dan kita pikirkan di surga dan dihadirkan di dalam dunia supaya dapat dirasakan oleh semua orang.

Penutup
Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia hanya mungkin terjadi jika dibangun di atas dasar atau fondasi iman yang sejati juga, yang menghasilkan ketulusan, keikhlasan dan kejujuran yang mendalam. Agama harus berfungsi sebagai sumber kedamaian, pembebasan dan keamanan, bukan sebagai sumber sengketa, penindasan, kekerasan, peperangan dan kekacauan. Oleh sebab itu, tidak cukup kita hanya mengatakan kita beragama dan beriman, sementara tindakan atau perbuatan kita tidak menunjukan identitas kita sebagai orang yang beragama dan beriman. Karena pada dasarnya iman bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi sesuatu yang nyata, konkret dalam perilaku dan sikap hidup sehari-hari. Dengan demikian kita membangun negara Indonesia sebagai negara yang bersatu, kokoh, berdaulat, punya harga diri, adil, dan makmur; bukan negara yang saling mencakar, berkelahi, saling membakar tempat ibadah, jatuh-menjatuhkan hanya karena perbedaan agama. Karena perbedaan agama membuat negara Indonesia kacau balau, berkelahi di sana sini, saling mencakar dan sebagainya, maka itu menunjukan bahwa Indonesia bukanlah negara bergama dan rendahnya moralitas umat beragama di Indonesia.

Jumat, 02 Juli 2010

PERANAN AJARAN DAN PELAYANAN DALAM KEESAAN GEREJA

Dalam doa-Nya Yesus tidak hanya memperlihatkan sebuh teladan, tetapi lebih jauh supaya para murid hidup bersekutu dengan semua orang. Seluruh hidup, ajaran dan karya-Nya difokuskan untuk melayani semua orang. Artinya, ajaran dan pelayanan harus memberikan efek dan dampak yang membawa persekutuan, damai sejahtera, hidup dalam keadilan dan kebenaran, terlebih supaya umat Tuhan dan gereja-Nya hidup dalam kesatuan di dalam kasih-Nya. Maka dalam paper ini berusa menjawab sebuah pertanyaan besar tersebut, yaitu “Peranan Ajaran dan Pelayanan Dalam Kesaan Gereja”.

Pembahasan
1. Pentingnya memahami ajaran dan pelayanan Tuhan Yesus
a). Ajaran Tuhan Yesus
Dalam PL yang diterjemahkan dengan “ajaran” adalah dari kata leqakh artinya, yang diterima. Dalam bahasa Inggris : “teaching” (Ul 32:2); gift of persuasion (Ams 7:21); dan insight (Yes 29:24). Dalam PB ada dua kata yang diterjemahkan “ajaran” adalah “didaskalia” dan “didache”, yang artinya mencakup bagi pekerjaan pengajar, maupun isi dari ajaran itu sendiri. Dalam pengajaran Tuhan Yesus, Dia selalu menggunakan “didache”, yang mana Yesus tidak hanya mengajar, tetapi juga melakukannya dengan setia. Penulis Yohanes mengatakan bahwa ajaran Yesus itu berasal dari Allah (Yoh 7:16-17).

b). Pelayanan Tuhan Yesus
Dalam PB ada empat istilah yang diterjemahkan: “pelayanan atau melayani” : “diakoneo”, “douleo”, “leitourgeo”, dan “latreuo”. (a). “Diakoneo” artinya menyediakan makanan di meja untuk majikan. (b). “Douleo” artinya pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hamba (budak) atau “doulos”. (c). “Leitourgeo” artinya bekerja untuk kepentingan rakyat atau kepentingan umum. Penulis surat Ibrani menyebut Yesus sebagai “leitourgos” (Ibr 8:2). Oleh sebab itu, kita dituntut untuk menjadi “leitourgia” atau menjadi pelayan bagi semua orang (Flp 2). (d). “Latreuo” artinya pemujaan kepada Allah atau “religious service, dan worship (of God)”. Penggunaan yang sangat mencolok adalah dalam Roma 12:1, yaitu di mana Paulus berpesan kepada jemaat di Roma supaya mempersembahkan tubuh kita sebagai yang logikh.n latrei,an artinya “persembahan yang pantas”. Artinya, melayani berarti menyangkut sebuah “kualitas”.

Yesus dalam hidup, ajaran dan karya Yesus telah memperlihatkan sebuah kualitas pelayanan tertinggi yang dikerjakan untuk Bapa yang mengutus-Nya. Oleh sebab itu, melayani semua orang adalah fukus utama bagi Yesus. Penulis Injil Matius dan Markus sangat jelas mencatat dan mengemukakan moto hidup Yesus, yaitu “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28 dan Mrk 10:45). Demikian juga dengan penulis Injil Yohanes menuliskan mengenai doa Tuhan Yesus yang merindukan supaya semua orang hidup dalam kesatuan dan bersekutu sama seperti Dia dan Bapa adalah satu (Yoh 17:22). Doa Tuhan Yesus tidak hanya berhenti ketika mereka bersatu, tetapi lebih jauh lagi, yaitu “di mana Dia berada di situ juga mereka ada bersama-sama dengan Dia, dan itulah eksistensi gereja yang ideal (17:24). Abineno menyebut eksistensi itu sebagai ciri-ciri dan norma-norma lain yang menentukan keberadaan gereja di dunia yang majemuk. Misi Yesus jelas, yaitu untuk mepersatukan umat-Nya, bahkan Dia rela mati di kayu salib untuk semuanya itu. Sungguh sangat mahal harga sebuah tugas dan tanggung jawab untuk kesatuan. Gereja mula-mula di abad pertama memahami dengan sangat kompleks antara “ajaran” dan “melayani”. Mereka menyadari bahwa hidup yang melayani bukan adalah bukan lagi hidup untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain juga, terlebih untuk Tuhan. Jadi jelas, bahwa pemahaman itu didasarkan pada hidup, pengajaran dan karya Yesus orang Nazaret itu. Dalam terang inilah Leonard Hale mengatakan, bahwa jika kita diringkaskan hidup, pengajaran dan karya Yesus hanya satu kata, yaitu MELAYANI. Gereja yang hidup adalah gereja yang melayani. John Stott menyebutkan bahwa paling sedikit ada empat ciri mengenai gereja yang hidup, yaitu “gereja yang belajar”, “gereja yang mengasihi”, “gereja yang beribadah”, dan “gereja yang memberitakan Injil”. Keempat ciri itu disebutnya sebagai pokok-pokok visi Allah untuk gereja-Nya. Apa maksudnya keempat ciri gereja yang hidup itu:?

a). Gereja yang belajar adalah gereja yang bertekun kepada pengajaran para rasul (Kis 2:42), kebenaran merupakan pokok utama yang dikerjakan sesuai pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus adalah Roh Kebenaran, oleh sebab itu gereja harus tunduk di bawah pimpinan dan pengamatan Tuhan.
b). Gereja yang mengasihi adalah gereja yang bersekutu, sehingga dalam persekutuan itu orang percaya saling berbagi bersama, “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama” (Kis 2:44-45). Kemurahan hati telah dan selalu menjadi ciri umat Allah.
c). Gereja yang beribadah adalah gereja yang melayani. Mereka bertekun untuk “memecahkan roti” dan berdoa bersama. Bahkan dikatakan, “mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah (Kis 2:46). Dan
d). Gereja yang memberitakan Injil adalah gereja yang tidak hanya duduk diam dalam rumah ibadah, berdoa dan mengasihi sesama saja, tetapi juga memberitakan Kabar Baik itu kepada semua orang atau bermisi untuk semua orang. Maka misi itu merupakan implikasi dari pendengaran, persekutuan dan ibadah dengan Tuhan.

Dari penjelasan di atas maka jelaslah, bahwa gereja tidak hanya untuk dirinya saja, tetapi gereja juga untuk orang lain. Dengan demikian, melalui pemberitaan atau ajaran dan pelayanan gereja memperlihatkan kemuliaan Kristus, dan bukan untuk organisasi, suku, ras bahasa yang cenderung mementingkan dirinya, tetapi milik semua orang sebagai ciptaan Allah. Artinya, gereja bukanlah rencana ilahi tambahan, dan gereja juga bukan kecelakaan sejarah. Tetapi gereja adalah komunitas baru milik Allah. Gereja tidak kurang dari tubuh Kristus, karena gereja adalah umat Allah, yang telah dan sedang dibentuk Allah dan melalui pembentukan itu Allah bertindak sepanjang sejarah untuk mencapai rencana-Nya, yaitu semua umat manusia dipersatukan di dalam terang kasih-Nya. Jika gereja tidak mengikuti jejak-jejak Yesus, yaitu melayani semua orang, maka gereja itu adalah mati dan tidak ada artinya selain dipotong (bnd. cerita Yesus adalah Pokok Anggur yang benar Yoh 15).

2. Pentingnya Sejarah Gerakan Oikumenis
Harus kita diakui, bahwa sejarah juga adalah bagian yang sangat penting untuk dipertimbangkan sebelum maju menuju kepada keesaan gereja. Fungsi sejarah di sini adalah sebagai batu loncatan, yaitu menjadikan kegagalan-kegagalan yang telah lewat, yang telah dialami bersama sebagai guru yang mendidik untuk menjadi lebih baik. Dengan kata lain tidak mengulangi kesalahan-kesalahan sama, tetapi biarlah kita maju satu langkah dari pengalaman sejarah yang sedikit banyak, tanpa disadari atau tidak semuanya itu memberikan metode-metode untuk mengatasi masalah-masalah yang sama, yang akan mengagalkan terjadinya keesaan gereja. Namun, sejarah menjadi juga tidak akan berguna jika tidak membicarakan pengalaman atau penghayatan iman. Oleh sebab itu, pada bagian ini kita akan melihat terlebih dahulu ke masa lampau untuk dipelajari sebelum tergesa-gesa melangkahkan kaki untuk menuju keesaan yang lebih baik.

Christian De Jonge mengatakan, bahwa pada zaman reformasi gereja Katolik-Roma pertama kali diperhadapkan dengan ancaman perpecahan secara besar-besaran, yaitu sejak skhisma dengan gereja Ortodoks Yunani tahun 1054. Kemudian berbagai usaha dilakukan untuk mencari titik temu, yang didorong oleh pertimbangan-pertimbangan politik demi kesatuan kaum Kristen terhadap ancaman Turki. Usaha-usaha ini menghasilkan pembicaraan-pembicaraan agama di Leipzig (1539), Hagenau (1540), Worms (1540), dan Regensburg (1541) di wilayah kekaisaran Jerman dan colloquium di Poissy (1561 di Prancis, tetapi persatuan tidak tercapai, dan usaha-usaha ini berlanjut sampai abad ke-17 dan ke-18. Adapun usaha-usaha itu: pertama, mencari titik temu dalam warisan gereja kuno, dan yang kedua adalah untuk merumuskan semacam daftar pasal-pasal iman yang dianggap azasi untuk iman Kristen, yang harus diterima secara mutlak, sedangkan pasal-pasal iman yang dianggap tidak azasi tidak boleh menjadi alasan untuk perpecahan orang-orang Kristen. Tetapi kedua cara itu pun gagal, karena yang pertama dianggap terlalu intelektualitas dan yang kedua gereja-gereja belum matang.

Tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus dicari titik temu untuk mempersatukan gereja-gereja. Di Edinburgh didirikan International Missionary Councili dan bergabung dengan Dewan Gereja-gereja sedunia, yang dibicarakan adalah mengenai hubungan gereja muda dan gereja tua. Sehingga Gereja-gereja tua dan gereja-gereja muda mulai saling mengakui sebagai “partners in obedience”, yang sama-sama berhadapan dengan tugas mengabarkan Injil di seluruh dunia. Dalam hal inilah gereja-gereja tua dan gereja muda semakin menyadari bahwa mereka sama-sama bagian dari gereja oikumenis, gereja sedunia dan diperhadapkan dengan tugas yang sama, yaitu mengabarkan berita pengharapan kepada seluruh dunia. Demikian juga dengan gerakan Faith And Order (1910-1937) di Edinburgh juga untuk membicarakan soal-soal yang dihadapi bersama di bidang pekabaran Injil. Semua hal yang mempersulit pembicaraan ini dihindari, seperti tentang iman dan tata gereja, hal-hal yang membedakan gereja-gereja. Tujuannya adalah untuk menuju kepada keesaan gereja. Demikian juga dengan peranan dari Gerakan Life And Work tahun 1919-1937, yang tidak kalah pentingnya dalam usaha menuju keesaan gereja . Dari penjelasan di atas, maka gereja jangan melupakan tahapan-tahapan yang dilakukan di masa lampau, tetapi biarlah gereja bisa belajar untuk melangkah selangkah lebih maju dari apa yang dialami di belakang. Sehingga semakin hari, gereja semakin memenuhi tuntutan Tuhan Yesus dalam doa-Nya, yang menginginkan gereja-gereja-Nya menjadi satu (lih. Yoh 17:21).

3. Pentingnya keesaan gereja
Rasul Paulus menggambarkan hakikat dari kesatuan gereja adalah sama seperti tubuh manusia yang terdiri atas banyak anggota, tetapi saling mendukung, menghargai, memahami dan menerima (1 Kor 12:12-31; Rm 12:3-8). Demikianlah hendaknya juga gereja-gereja sebagai anggota tubuh Kristus. Gereja adalah persekutuan orang percaya dan Kristus sendiri yang menjadi kepalanya. Penekanan kepada “persekutuan” mangandung nilai persekutuan anggota dari satu tubuh, baik pada tingkat lokal maupun universal. Frasa “tubuh Kristus” nampak dalam kesatuan yang serba berbeda, namun dalam manifestasinya bahwa kepelbagaian itu justru merupakan kekuatan dan kekayaan Allah. Dalam hal ini Eddy Paimoen mengatakan, bahwa “kesatuan dalam kepelbagaian dan dan kepelbagaian dalam kesatuan”, menunjukkan keberadaan yang satu tidak terpisahkan dari yang lain, meskipun saling berbeda. Perbedaan posisi dan tugas dalam tubuh Kristus akan menyebabkan saling kebergantungan dari seluruh anggota tubuh. Maka, jika keberadaan dari tubuh Kristus yang berbeda, bila dapat berfungsi sesuai dengan keberadaannya akan menimbulkan interaksi timbal balik yang kondusif.
Abineno mengatakan, bahwa kesatuan gereja dan ajaran yang benar itu tidak bisa dilepaskan satu sama lain. hal itu menjadi jelas jika kita kaitkan dengan doa Tuhan Yesus yang menginginkan adanya kesatuan murid-murid yang menyatakan dirinya dalam ketaatan Anak kepada Bapa. Demikian juga dengan kesatuan gereja, yaitu seberapa jauh mereka melakukan apa yang Bapa dan Anak perintahkan kepada mereka (lih. Abineno, Oikumene, 1984: 17-18; bnd. Yoh 17:17-23). Dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja menagaskan, bahwa keesaan berarti membaharui, membangun dan mempersatukan gereja. Mengapa membaharui, membangun, dan mempersatukan gereja itu penting?:

a). Karena perintah Tuhan Yesus, bahkan Dia mendoakan umat-Nya supaya bersatu sama seperti Dia dan Bapa adalah satu (Yoh 17:21).
b). Untuk membentuk gereja Kristen yang Esa, terutama gereja-gereja yang ada di Indonesia, dan itu merupakan bagian dari tugas dan panggilan gereja yang harus dijalankan untuk melihat seluruh Indonesia sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama.
c). Untuk membangun suatu persekutuan harmonis yang diperbaharui. Iman tercermin dalam kasih dan solidaritas kemanusiaan, menuju kesatuan dan persatuan.
d). Untuk membangun sebuah persekutuan yang saling topang-menopang; untuk meruntuhkan tembok-tembok pemisah dan dinding penyekat buatan manusia yang didasarkan atas perbedaan kelamin, kelas, sosial-ekonomi, ras suku, bahasa dan asal; membebaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan lingkungan masing-masing dan bersama-sama memasuki konteks yang baru sehingga gereja juga bisa bertumbuh sesuai dengan perkembangan zaman.
e). Untuk menghindarkan gereja dari bahaya keterpencilan dan bahaya ikut-ikutan bagi gereja-gereja di tengah-tengah arus pembangunan negara dan bangsa yang selalu berubah-ubah. Oleh sebab itu, membaharui, membangun dan mempersatukan dirinya di bawah bimbingan Roh Kudus.

4. Arti membarui, membangun, dan mempersatukan gereja
Membarui, membangun dan mempersatukan gereja, berarti: pertama-tama, menguji keadaan gereja, termasuk bentuk-bentuk pengungkapan ibadahnya, dan seluruh warganya di bawah bimbingan Roh Kudus, untuk melihat sampai di mana keadaan gereja itu sesuai atau tidak sesuai dengan kehendak Tuhan bagi gereja seperti yang diungkapkan dalam Firman Allah; dan sekaligus menilai sampai di mana keadaan gereja itu sepadan atau tidak dengan tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Selanjutnya, yaitu mengupayakan secara realistis dengan pimpinan kuasa Roh Kudus tentang pembaharuan-pembaharuan dan pertumbuhan agar keadaan gereja menjadi lebih sesuai dengan kehendak Tuhan seperti yang diungkapkan dalam Firman Tuhan dan menjadi lebih sepadan dengan tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang sedang membangun. Untuk lebih spesifik lagi dalam memahaminya, mari kita menguraikannya secara lebih mendalam:
(a). Membarui gereja adalah tugas panggilan orang-orang percaya yang terus-menerus. Karena bagaimana pun, sebagai tubuh yang hidup dari Kristus, gereja harus berusaha menempatkan diri di bawah sorotan Firman Tuhan, atau sama dengan seseorag yang selalu bersedia mengadakan pertobatan di bawah terang Firman Tuhan. Selanjutnya kita tahu, bahwa gereja juga terlibat dalam perkembangan sejarah, baik sejarah gereja itu sendiri maupun sejarah bangsa Indonesia, bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, gereja juga harus ikut membentuk sejarah itu, supaya tidak ditinggalkan oleh perkembangan sejarah. Hal lain lagi adalah bahwa gereja juga memuat pengertian pembaruan dalam pemikiran teologi, gaya hidup dan pola kelembagaan gereja secara kreatif dan terus-menerus, berada di bahawah bimbingan Roh Kudus.

(b). Membangun gereja pada dasarnya adalah memenuhi apa yang tertulis dalam Efesus 4:13-16, yaitu “pembangunan tubuh Kristus, yang di mana kita melewati sebuah proses untuk mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita tidak lagi mudah diombang-ambingkan oleh ajaran-ajaran yang berkeliaran di sekeliling kita; oleh permainan palsu manusia yang berusaha menyesatkan karena kelicikan mereka, tetapi dengan teguh kita berpegang pada kebenaran di dalam kasih Kristus yang adalah kepala. (lih.1 Kor 12:12-31; Rm 12:3-8). Artinya, daripada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan, yang melayani sesuai karunia-karunia yang dimiliki dan membangun diri dalam kasih Kristus. Membangun gereja sebagai “pertumbuhan Tubuh Kristus” tidak terbatas oleh budaya, tetapi nilai-nilai positif budaya, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman modern juga untuk memperkuat dan tidak melemahkan gereja sebagai “Tubuh Kristus”. Dalam hal ini, kita harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pertumbuhan gereja sebagai tahap untuk membangun gereja (Ef 4:15-16). Roh Kudus dapat memakai manusia sebagai alat-Nya melalui gereja yang terpanggil, yang menggunakan segala karunianya untuk terus bertumbuh dan membangun dirinya. Lima Dokumen Keesaan Gereja menuliskan lebih lanjut, bahwa pertumbuhan gereja pada hakikatnya bersifat ganda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensif dalam arti peningkatan kualitas iman sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran palsu, permainan licik manusia yang berusaha menyesatkan (Ef 4:14). Dan ekstensif berarti pertumbuhan orang-orang percaya dan pertumbuhan gerek gereja dan jangkauan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia (Kis 1:8). Ini berarti bahwa dalam rangka pembangunan dan pertumbuhan gereja, pembinaan seluruh warga gereja menjadi mutlak penting, sehingga tidak seorang pun yang terlupakan.

(c). Mempersatukan gereja berarti memenuhi doa Tuhan Yesus yang tertulis dalam Yohanes 17:21, yaitu menampakan keesaan yang telah ada dalam rencana Tuhan, sehingga dapat dilihat oleh dunia sebagai kesaksian. Dengan demikian, gereja-gereja yang ada di Indonesia harus mewujudkan keesaan. Misalnya bisa dimulai di kalangan kehidupan suku-suku dan daerah-daerah tertentu, kemudian mewujud-nyatakan keesaan itu, sehingga memperlihatkan sesuatu yang sangat berbeda dengan keesaan yang ditawarkan oleh dunia. dengan kata lain, bahwa keesaan gereja tidak sama dengan keesaan dunia. keesaan gereja adalah keesaan yang sama seprti keesaan Allah dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Artinya, ada sebuah persekutuan, pelayanan dan kasih yang harmonis. Dengan demikian, gereja bisa memahami dan menjalankan tugas panggilan bersama, dan menempatkan segala anugerah dan karunia yang telah diterima dari Tuhan di dalam kerangka keesaan yang lebih besar sebagai kesaksian di tengah-tengah bangsa Indonesia. Artinya, di dalam kerangka itu ada jaminan di mana keanekaragaman bisa bersatu di dalam kasih-Nya. Tugas dan panggilan gereja untuk mempersatukan gereja-gereja di Indonesia biasanya menggunakan pendekatan yang lahir dari pergumulan situasi kita di Indonesia, seperti: (1). Identitas masing-masing tetap di hormati, tetapi yang lebih pentingdan utama adalah dilihat sebagai identidas bersama sebagai gereja Kristen yang tinggal dan bersekutu di dalam Kristus; (2). Setiap gereja pasti memiliki sejarahnya masing-masing, oleh sebab itu setiap gereja harus menghormatinya. Tetapi yang lebih utama adalah kits mrlihatnya sebagai sejarah bersama; (3). Selanjutnya, tugas panggilan masing-masing gereja, juga tetap harus saling menghormati antara gereja yang satu dengan yang lainnya. Tetapi yang lebih penting dan utama adalah bagaimana kita melihat semuanya itu sebagai tugas panggilan bersama (4). Demikian juga dengan kewenangan untuk mengatur hidup masing-masing tetap dihormati, tetapi dilihat sebagai kewenangan bersama untuk mengatur kehidupan bersama; (5). Terakhir adalah tentang pengembangan teologi, daya dan dana dalam rangka tugas panggilan masing-masing tetap dihormati, tetapi semuanya itu juga harus dilihat sebagai tugas panggilan bersama di seluruh Indonesia. Dari kelima hal di atas secara konkret dan terungkap dalam kebersamaan di tingkat lokal dan wilayah. Dalam terang inilah, Lima Dokumen Keesaan Gereja menyatakan, bahwa pentingnya peranan wilayah PGI-Setempat dalam proses mempersatukan gereja-gereja yang ada di Indonesia. Tentu tidak terlepas dari landasan kesatuan bangsa dan negara Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang mencamin kesatuan, kedamaian, kesejahteraan dan hidup berdampingan dengan orang lain.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa gereja harus menjunjung tinggi Pemahaman Bersama tentang Iman Kristen:
(1). Tuhan Allah adalah Esa (Ul 6:4), tidak ada Allah selain Dia (Kel 20:3; Ul 5:7), yang berbicara kepada manusia baik melalui para nabi-Nya dan terlebih hadir di dalam Yesus Kristus (Ibr 1:1-2) dan Dia juga Allah yang Maha hadir melalui Roh Kudus-Nya, yang bekerja di dalam dunia dan di dalam gereja-Nya yang memerdekakan manusia dari hukum dosa hukuman maut (Rm 8:2; 2 Kor 3:17).
(2). Allah adalah pencipta Alam semesta, langit dan bumi serta segenap isinya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, adalah milik dan ciptaan Allah (Kej 1-2; Maz 24:1-2; 89:12; Yes 44:24; Yer 27:5; Kol 1:16).
(3). Manusia diciptakan Allah menurut gambar atau citra-Nya (Kej 1:26-27), yaitu baik laki-laki maupun perempuan diciptakan-Nya dengan martabat yang sama (Kej 1:27), dan dikaruniai tugas atau mandat yang sama untuk beranak cucu dan memenuhi bumi serta menguasai, mengusahakan dan memelihara seluruh ciptaan-Nya (Kej 1:26-28). Manusia diciptakan Allah dalam kebebasan, sehingga dalam kekebasannya itu ia harus bertanggung jawab kepada Allah (Kej 2:16-17). Namun ternyata manusia menyalahgunakan kebebasannya, yaitu ingin menyamakan dirinya dengan Allah, sehingga membuat dia diusir dari Taman Eden karena pemberontakannya kepada Allah (Kej 3:1-7; 11:1-9). Tetapi Allah tetap mengasihi manusia, karena mereka adalah segambar dengan-Nya. Artinya Allah tidak mengkehendaki mereka binasa, melainkan supaya mereka diselamatkan (Yoh 3:16; bnd. Kej 6:8).
(4). Setiap gereja harus percaya, bahwa Allah tetap mengasihi manusia dan mengaruniakan keselamatan kepadanya, sehingga Dia rela memberikan Anak Tunggal-Nya untuk menebus manusia, yaitu Yesus Kristus (Yoh 3:16; Kis 16:31). Karena pelanggaran manusia manusialah Yesus mati di kayu salib, dan Dia telah mengangkat manusia kembali ketika Dia bangkit, sehingga manusia dibangkitkan dan dibenarkan di hadapan Allah (Rm 4:25). Sehingga kita melihat di sini, bahwa di Dalam Kristus Yesus Allah mewujudkan rencana penyelamatan-Nya (Ef 1:9-10).
(5). Karya penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus terhadap dunia dan segala isinya membuktikan “hadirnya Kerajaan Allah” (Mrk 1:15) yang akan mendapatkan pemenuhannya dalam “langit baru dan bumi baru” (2 Ptr 3:13; Why 21:1). Artinya, melalui kehadiran Kerajaan Allah itu juga kehidupan manusia telah diperbaharui, sehingga ia telah menjadi ciptaan yang baru, yang harus hidup secara baru pula.
(6). Setiap gereja harus percaya, bahwa kehadirannya di dalam dunia adalah sebagai alat untuk menghadirkan Kerajaan Allah”. Sehingga melalui Roh Kudus-Nya umat-Nya dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa berhimpun di dalam suatu kesatuan, yaitu gereja, yang di mana Kristus sebagai Kepala (Ef 4:3-16). Gereja ditempatkan oleh Tuhan di dalam dunia supaya melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial-politik, ekonomi, dan budaya tertentu. Allah menjadikan gereja sebagai suatu persekutuan yang mengaku satu tubuh, satu Roh dalam ikatan damai sejahtera, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua (Ef 4:4-6).
(7). Setiap gereja harus percaya bahwa alkitab yang terdiri dari PL dan PB adalah kesaksian yang menyeluruh mengenai Allah yang menyelamatkan diri, kehendak dan kerya penciptaan, pemeliharaan dan penyelamatan-Nya kepada manusia dan juga mengenai jawaban manusia terhadap-Nya.

MENDAKWA ALLAH? CATATAN TENTANG TEODISEA

1. Masalah Teodisea
Apa sebabnya Allah mengizinkan adanya kejahatan dan penderitaan dalam dunia, yang kita percayai ciptaan-Nya? Mengapa keadilan Allah mesti dibenarkan di hadapan manusia? Jika Allah secara hakiki adalah mahatahu, mahakuasa, mahaadil, mahabaik, dan mahakasih, seperti yang telah disepakati oleh tradisi filsafat dengan agama-agama teistik. Tetapi mengapa masih ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat menciptakan tanpa menyiksa? Apakah Allah tidak dapat menciptakan alam semesta tanpa penderitaan? Apa Allah tidak dapat atau tidak mau? Leahy mengatakan, mengapa penderitaan di dunia “semakin melimpah”. Jika Allah tidak mahakuasa, berarti Ia bukan Allah.

2. Penjelasan-Penjelasan Yang Tidak Memadai
Beberapa penjelasan yang tidak memadai:
(a). Penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa-dosa yang bersangkutan. Penjelasan ini tidak menjawab mengapa anak yang baru lahir menderita penyakit yang sangat nyeri. (b). Melalui penderitaan Allah mencoba mutu manusia; hanya manusia yang bertahan yang bertahan dalam penderitaan yang pantas untuk menerima kebahagiaan abadi di surga. Allah mengetahui hati setiap orang. Apalagi Allah mengasihi setiap manusia, tetapi mengapa Allah tidak memberikan kebahagiaan abadi kepada manusia tanpa ada pencobaan? Atau apakah pencobaan merupakan syarat untuk orang masuk surga? Sungguh sulit diterima jawaban seperti ini. (c). Penderitaan akan lebih daripada diimbangi oleh ganjaran di surga. Bukankah Allah mahakasih dan mahabaik, tetapi apakah Dia menuntut “pembayaran” yang begitu kejam dari orang-orang yang ingin masuk surga? (d). Penderitaan memurnikan hati, jadi bernilai secara moral. Penjelasan ini memperlihatkan, bahwa kekejaman Allah. (e). Dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya lebih baik daripada yang tidak ada penderitaannya. (f). Manusia tidak seimbang dengan Allah; karena itu ia tinggal menerima saja apa yang terjadi sebagai kehendak Allah dengan tak perlu bertanya, apalagi berprotes.

3. Konsistensi Allah
Louis Leahy mendekati masalah teodisea adanya keburukan dalam dua langkah. Pertama, Leahy sependapat dengan Leibnis, bahwa Allah tidak mungkin menciptakan dunia tanpa adanya keburukan. Khususnya mengenai masalah moral (“dosa”). Tetapi, Leahy menunjukan bahwa adanya keburukan secara tidak terelakan berkaitan dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang hakiki bagi segala ciptaan. Kedua, secara hakiki, segala makhluk ciptaan adalah terbatas adanya, maka tidak mungkin dibentuk paham “makhluk sempurna” atau “tanpa kekurangan”. Keburukan dan dosa yang dialami manusia adalah keburukan yang Allah diijinkan berlangsung, karena keterbatasan segala ciptaan, maka keburukan itu tidak dapat terhindarkan tetapi Allah menguatkan atau menopang kekuatan manusia. Allah tidak dapat menciptakan alam dan manusia tanpa membuka kemungkinan terjadinya keburukan, kejahatan dan dosa, dengan demikian, tidak berarti Allah tidak mahakuasa. Yang pasti Allah tidak mungkin menciptakan hal-hal yang bertentangan dengan diri-Nya sendiri atau yang dapat mengurangi kemahakuasaan-Nya, melainkan sebaliknya berakar dari konsistensi Allah dalam keberadaan-Nya. Allah memberikan kebebasan kepada segala ciptaan-Nya (Dia “menghormati kemandirian makhluk”), untuk kebaikannya. Oleh sebab itu, Leahy menyimpulkan, bahwa “Dengan menghendaki kebaikan itu, Allah tidak dapat tidak memungkinkan kejahatan”.

4. Filsafat Menyerah
Banyaknya kejahatan dan penderitaan yang terjadi, seperti kekejaman, siksaan yang luar biasa terjadi, bahkan penyakit yang menyiksa bayi hingga meninggal. Mengapa Allah biarkan? Mengapa Allah tidak terus menerus turut campur tangan untuk mencegah jangan sampai makhluknya menderita? Inilah masalah teodisea yang sebenarnya. Berhadapan dengan gunung kejahatan dan penderitaan itu filsafat menyerah, karena penderitaan tidak lagi dapat dipecahkan oleh filsafat. Karena filsafat diam atau menyerah, maka agamalah yang dapat membuka cakrawala baru. Karena filsafat hanya dapat menunjukan pada sebuah syarat: masalah penderitaan hanya dapat dipecahkan apabila kita percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian.
5. Filsafat Menyerah dan Tidak
Schmidt mendekati masalah teodisea dengan dua langkah: pertama adalah melalui filsafat, dan kedua adalah masuk ke wilayah teologi. Schmidt mengikuti pemikiran Jorg Splett yang bertolak dari rumusan Boethius (480-524) dengan dua pertanyaan singkat untuk menyelesaikan masalah teodisi. (1). Apabila ada Allah, dari mana hal-hal buruk? Jawaban: “Saya tidak tahu”. Tugas filsafat bukanlah mencari macam-macam argumen mengapa Allah yang baik dapat membiarkan kengerian dan malapetaka berlangsung, melainkan untuk membongkar ketidakberhasilan filsafat. Oleh sebab itu, filsafat menyerah, dan memilih diam ketimbang menjawab, karena masalah teodisea tidak dapat dipecahkan. (2). Kalau tidak ada Allah, dari mana kebaikan?. Masalah teodisea dapat dipecahkan dengan pertanyaan ini, karena satu fakta yang juga tidak dapat disangkal, yaitu bahwa ada pengalaman akan kebaikan yang sungguh-sungguh, yang tidak mungkin dijelaskan tanpa Allah, itulah refleksi filsafat. Jadi ada dua unsur dalam argumen ini, (a). Fakta adanya kebaikan, dan (b). Kebaikan yang dialami. Jadi Allah ada dan Allah adalah baik seratus persen, baik secara mutlak dan tanpa ragu-ragu sedikit. Ternyata filsafat tidak mampu menjawab masalah teodisea, inilah yang mengantar filsafat ke ambang iman.

6. Solidaritas Allah
Schmidt mengatakan, ketika Yesus disalib, Ia berteriak: AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mk 15:34) adalah kata-kata permulaan Mazmur 22, di mana Yesus membuka protes kepada Allah. Yesus tidak hanya memprotes, tetapi juga sekaligus mendoakan Mazmur. Orang Kristen percaya, bahwa Yesus adalah ingkarnasi Allah sendiri. Dalam Yesus Allah sendiri menderita. Sangkalan mengerikan terhadap kesatuan Ilahi antara kemahakuasaan dan kemahabaikan dipatahkan oleh Allah sendiri, oleh sebab itu Ia membiarkan diri-Nya dikenai oleh kejahatan yang radikal. Tusukan tombak ke jantung Yesus (Yoh 19:34) menikam Allah sendiri. Dengan demikian Yesus di salib memberikan pada manusia keberanian untuk mempercayakan diri kepada Allah, untuk percaya bahwa Allah, meskipun tetap tidak dapat dipahami, mengetahui betul segala keburukan dan penderitaan dan menjamin bahwa segala apa akan menjadi baik dan setres tangisan tidak percuma.


Tanggapan Kritis
Masalah teodisea adalah pokok bahasan yang tidak habis-habisnya dibicarakan hingga dewasa ini. Banyak buku, artikel dan media cetak lainnya hasil karya manusia untuk memberi jawab atas masalah teodisea. Namun tetap saja menghasilkan jawaban-jawaban yang relatif dan tidak memuaskan. Maka, tepat apa yang dikatakan oleh Adrianus Sunarko, bahwa tidak satu pun buku, juga kitab suci, dogma dan kuasa mengajar (gereja), teologi yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan: “Mengapa Allah, untuk sampai pada keselamatan harus melalui jalan berliku yang mengerikan; mengapa harus ada penderitaan mereka yang tak bersalah? Mengapa harus ada salah dan dosa”? . Filsafat berusaha menjelaskan dari sudut rasio, mengenai mengapa penderitaan dan kejahatan melimpah dalam dunia ciptaan Allah? Sedangkan teologi melihatnya dari modus pengharapan dan bukan dari modus pengetahuan.
Menurut saya baik dari sudut pandang filsafat maupun teologi sama-sama mempunyai kelemahan dalam memberikan jawaban atas masalah teodisea. Maksudnya, filsafat selalu mengandalkan kemampuan rasio, sehingga cenderung menolak keberadaan Allah. Sedangkan teologi cenderung menghindari kemampuan rasio, sehingga cenderung juga menghasilkan jawaban-jawaban yang tidak memuaskan atau tidak memadai seperti yang dikatakan Frans Magnis-Suseno di atas. Biasanya kombinasi akan lebih menghasilkan jawaban yang cukup memuaskan. Artinya, rasio tidak boleh dilepaskan dari iman karena keduanya adalah satu kesatuan, yakni ada batas-batas yang tidak bisa dijelaskan dengan rasio, tetapi mampu dijelaskan iman.
Adrianus Sunarko, mengemukakan sebuah pernyataan menarik yang patut dipertimbangkan, yaitu “Problem teodisea hanya akan muncul bila Allah dipahami secara personal-dialogal dan masing-masing orang diakui martabatnya sebagai pribadi yang mempunyai nilai pada dirinya sendiri” (Adrianus, 208). Karena menurutnya problem ini tidak muncul di kalangan mereka yang menganut paham dualisme. Artinya, penderitaan menjadi masalah ketika berada di tengah-tengah kenyamanan. Jika penderitaan itu berada di arena penderitan, maka itu tidak akan menjadi masalah.
Harold S. Kushner mengusulkan jawaban yang lain atas masalah teodisea, yaitu “Barangkali bukan Tuhan yang menyebabkan penderitaan kita, tetapi barangkali penderitaan itu terjadi karena alasan-alasan tertentu di luar kehendak Tuhan”. Artinya, Tuhan tidak dapat melakukan segalanya sesuai keinginan kita, tetapi Tuhan dapat melakukan banyak hal penting yang kita butuhkan. Hanya karena keegoisan kitalah yang membuat kita menangis melihat keinginan kita tidak terpenuhi seperti kenyamanan yang dirasakan seseorang yang berada di luar penderitaan dan kejahatan.
Sebuah ungkapan teologis yang sangat mendalam dari Pengkhotbah 3:11 mengatakan: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir”. Artinya, keterbatasan manusia sebagai makhluk ciptaan terlihat dengan jelas ketika ia berusaha memahami persoalan-persoalan yang berada di luar kehendaknya. Maka, tidak ada alasan untuk menyangkali keterbatasan manusia. Memang pernyataan ini juga mengandung sifat relatif jika hanya dilihat dari sudut keterbatasan yang ada pada diri manusia itu sendiri. Bahayanya adalah manusia menghindari rasionalisme dan cenderung melakukan pembenaran atas keterbatasanya. Adalah penting dan harus diingat, bahwa mempertanyakan di mana Allah ketika melihat penderitaan dan kejahatan yang melimpah di dunia ciptaan-Nya tidak berarti kita menolak Allah, melainkan ketika kita bertanya di mana Allah? Maka saat itu sebenarnya kita tidak sedang menyangkal keberadaan-Nya. Frans Magnis-Suseno mengatakan, bahwa orang yang mengajukan protes kepada Allah sebenarnya saat itu juga sekaligus ia mengakui dan menerima keberadaan Allah yang tidak dapat dipahami (Frans Magnis-Suseno, 245).

Kamis, 04 Maret 2010

KONSEP “PERCERAIAN” DALAM PERJANJIAN LAMA

(Oleh: Sugiman)
Pendahuluan
Dalam teks-teks Perjanjian Lama masalah perceraian hampir tidak ditemukan atau disinggung. Seakan-akan hal itu diabaikan dalam Perjanjian Lama atau teks-teks Perjanjian Lama seolah-olah sengaja menghindari dan tidak ingin membahasnya karena didukung beberapa tradisi dan budaya Timur Tengah Kuno saat itu. Jika demikian apakah Perjanjian Lama setuju (memperbolehkan) perceraian? Karena saat ini perceraian adalah masalah yang serius. Oleh sebab itu dalam paper ini akan membahas dan menyoroti dari sudut etika Perjanjian Lama tentang “perceraian”, khususnya dalam kitab Ulangan 24:1-4; Ezra 9-10; Yesaya 50:1; Yeremia 3:8 dan Maleaki 2:10-16 yang membahas mengenai perceraian.

Pembahasan
A. Terminologi
Dalam bahasa Ibrani kata yang diterjemahkan dengan “perceraian” adalah dari kata “keritut ”.: “perceraian”. Dalam bahasa Akkad berasal dari kata kerja “karatu” artinya “to cut off” dan bentuk kata kerja sifatnya: “kartu” artinya “cut up”, yang berpadanan dengan kata “to bring to an end”. Arti lain adalah “to cut down” (1 Raj. 5:20). Kata-kata itu tidak hanya berhenti disitu, tetapi lebih dalam lagi yaitu berkaitan dengan “perjanjian” dan inilah yang lebih penting. Kata keritut hanya muncul empat kali dalam Perjanjian Lama, yaitu Ulangan 24:1, 3; Yesaya 50:1 dan Yer. 3:8.
Dalam LXX diterjemahkan: “apostasio” ; KJV: divorcement; RSV: divorce. Penggunaan kata ini menunjuk pada sebuah ikatan resmi (sah) yang kemudian diakhiri aau diputuskan dengan berbagai alasan kongkrit maupun absrak kerena sudah bosan aau idak suka lagi. Kata di atas juga diterjemahkan dengan “perceraian” yang sah karena diserati adanya surat cerai sebagai persyaratan resmi dan surat cerai adalah sebagai bukti bahwa ia boleh menikah (kawin) lagi dengan wanita lain. Selain dengan surat cerai sebagai bukti, juga ada dengan cara yang diumumkan di depan umum khususnya bagi laki-laki yang melakukan pernikahan kontrak di suatu daerah, negara aau bangsa lain . Inilah yang terjadi pada bangsa-bangsa non-Israel, sedangkan di dalam komunitas Israel sendiri seorang suami tidak bisa sembarang atau semaunya menceraikan isterinya dengan tanpa alasan atau bukti-bukti yang mendukung kuat. Namun sediki banyak pengaruh dari bangsa-bangsa sekitar juga masuk. Unuk itu diterapkanlah perceraian yang bersyarat, yaitu harus membuat surat cerai. Tujuannya adalah untuk mengindari tindakan-tindakan yang mempermudah perceraian itu sendiri.
Dengan demikian, setiap laki-laki atau suami diharapkan tidak mengambil tindakan-tindakan yang fleksibel untuk menceraikan isterinya. Di lain sisi perceraian itu diperbolehkan, tapi dengan syarat bahwa suami mendapati isterinya berbuat berzinah dengan laki-laki lain, maka ia harus menceraikannya karena dianggap najis. Tetapi jika perempuan yang mendapati suaminya adalah tidak menjadi masalah, karena kendali dipegang oleh laki-laki. Artinya, dalam PL atau dalam hukum Yahudi seorang perempuan tidak berhak untuk menceraikan suaminya, kecuali sejumlah kasus seperti impotensi atau tidak diasuh oleh suaminya. Namun secara umum hanya suami yang berhak menceraikan isterinya . Mengapa? karena kedudukan perempuan dianggap rendah dari laki-laki. William Barclay, mengatakan, bahwa “Dalam kebudayaan Yahudi wanita tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang”. Rabi Josc ben Johanan mengutip sebuah perkataan bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan”. Senada dengan itu, Rabi Eliezer mengatakan “Jika seseorang memberikan pengetahuan tentang Hukum kepada puterinya, itu bisa dipandang sebagai mengajarkan hal-hal yang tidak senonoh kepadanya” (Misnah, Sotah 3:4). Selanjutnya menurut Jewish Encyclopedia kedudukan wanita Yahudi tidak banyak berbeda dengan kedudukan wanita di antara bangsa-bangsa kuno lainnya: “Wanita dianggap kurang begitu berharga dibanding pria” . Kedudukan wanita sangat rendah.
B. Perceraian dalam budaya Timur Tengah Kuno.
Kita telah melihat, bahwa di satu sisi perceraian itu harus bersyarat, tetapi disisi lain perceraian diperbolehkan. Yang menjadi peranyaan adalah mengapa? untuk itu sangat penting dan perlu diketahui kebudayaan saat itu. Dalam struktur sosial masyarakat kuno di Timur Tengah perlindungan terhadap kaum perempuan adalah sangat kurang atau bisa dikatakan bagaikan sebuah barang, mungkin ini cocok dengan sebuah ungkapan “habis manis sempah dibuang”. Menurut para ahli: “perceraian” bukanlah masalah di Timur Tengah Kuno, karena hal itu adalah normal (sudah lazim di sana). Sehingga tidak menutup kemungkinan juga bahwa hal ini juga terjadi dalam komunitas umat Israel. Jika seorang suami telah bosan atau benci melihat isterinya, maka sang isteri harus siap sedia untuk diceraikan dan kapan saja suaminya mau . Beberapa ahli mengatakan “If a husband tired of his wife, it was not difficult to have her banished form the home and there was little by way of redress” , bnd. dengan The Interpreter’s Bible-Vol. 2 mencatat: “divorce was on easy matter for the husband in the semitic world” . Terutama hal ini banyak terjadi ketika masa peperangan, banyak suami yang menceraikan isterinya kemudian melakukan kawin kontrak dengan perempuan-perempuan tawanan. Tetapi meskipun demikian peraturan yang ada di Israel, Mesopotamia dan Elephantine memiliki kesamaan, yaitu seorang suami harus membuat surat cerai supaya perceraian tersebut benar-benar sah dan adil (bnd. Ian Cairns, 1992 : 210-211).

C. Ulangan 24:1-4
Hukum-hukum yang ada dalam kitab ini adalah hukum-hukum yang berasal dari sumber D yang tulis kira-kira tahun 622/621 atau pada abad ke 7 sM . Penulis Deuteronomis berusaha menampilkan bangsa Israel sebagai bangsa yang unik dan berbeda dari bangsa-bangsa sekitarnya. Dengan demikian kita memahami bahwa hukum-hukum ini mencakup seluruh aspek peribadatan umat Israel kepada Yahwe dan untuk mengatur struktur sosial dalam komunitas umat pilihan itu sendiri. Selanjutnya penulis Deuteronomis sangat menekankan perlindungan terhadap perempuan (protecting women) atau “legislation concerning marriage, divorce and remarriage”.G. von Rad menyebutnya dengan istilah “parenesis” (berisi nasihat-nasihat). Namun bagaimana pun juga masalah perceraian tidak dapat disangkal sebagai kebiasaan yang sangat sulit untuk dilepaskan begitu saja. Ayat 1-3 diawali dengan kata “ki”, artinya “jika” atau “apabila”, ini memperlihatkan bahwa penulis D secara hati-hati dalam mengungkapkan kasus “perceraian”. Dan ay.4 menjadi penegasan dari ay.1-3. Dari hukum ini kita dapat menduga bahwa seorang suami sering menceraikan isterinya ketika ia tidak cinta, tidak menyukainya atau sudah bosan melihatnya. Oleh sebab itu kebiasaan seperti ini harus dihentikan untuk melindungi nasip perempuan di dalam komunitas umat Israel. Raymond menyebutkan, paling sedikit ada tiga tujuan penting yang mau di ditekankan oleh penulis Deuteronomis, yaitu: pertama, hukum itu berfungsi untuk mencegah terjadinya perceraian dalam umat Israel. Kedua, untuk melindungi kaum perempuan dan yang ketiga, untuk memelihara pernikahan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa mungkin hukum ini adalah hasil dari penyusunan kembali dari hukum-hukum perkawinan yang sudah ada saat itu.
Dari uraian di atas memperlihatkan bahwa penulis Deuteronomis sangat menolak terjadinya perceraian di kalangan Umat Israel. Paling tidak ada dua alasan mengapa perceraian itu dilarang , pertama: adanya tuduhan palsu seseorang kepada isterinya, yaitu mengatakan isterinya sudah melakukan persetubuhan sebelum mereka menikah (Ul. 22:13-19). Yang kedua: seorang laki-laki yang bersetubuh dengan perempuan perawan harus bertanggung jawab dengan perbuatannya (Ul. 22:28-29; Kel. 22:16-17). Sekilas pandang sepertinya Ul. 24:1-4 mengizinkan perceraian, tetapi jika diperhatikan dengan cermat dan teliti, maka ayat ini sebenarnya ingin membantah adanya perceraian terutama di kalangan umat Israel itu sendiri. Penulis Deuteronomis juga ingin memperlihatkan bahwa terjadinya perceraian karena tindakan yang tidak senonoh dan itu tidak memuliakan Dia. Namun tidak berarti hal itu diizinkan. Paul R. House mengatakan: “Jesus comments reflect Moses concern for fidelity and strong marriges as the foundation for a holy community”. Memang dalam keadaan yang ekstrim atau dalam kasus-kasus tertentu perceraian disetujui, misalnya dalam kitab Ezra-Nehemia. Karena saat itu terjadi perkawinan campur yang mengakibatkan kemerosotan iman, moral umat Israel dihadapan Allah. Tetapi tetap saja bahwa hal itu merupakan penyimpangan dari maksud aslinya dan ideal ilahi (tujuan utama Allah) yang memanggil dan memilih Israel sebagai kepunyaan-Nya. Selain itu, perceraian juga adalah pelanggaran terhadap janji Allah atau suatu tindakan penghianatan seperti yang dikatakan dalam Maliaki 2:16 “Dibenci-Nya”. Jika demikian, lalu bagaimana dengan kesaksian penulis Injil Matius dan Lukas yang mencatat bahwa “Musa mengizinkan perceraian karena ketegaran hati bangsa Israel itu sendiri” (Mat. 19:8 dan Mark. 10:5). Maksud dari penulis Injil itu bukan untuk membingungkan, melainkan ingin memberi penjelasan bahwa Musa menerima perceraian sebagai fakta yang tidak terhindarkan dari kehidupan umat Israel. Artinya ada kondisi khusus yang mana perceraian harus terjadi/ tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu, Ul. 24:1-4 bisa di pandang sebagai hukum yang mengatur kehidupan nyata supaya Israel hidup sesuai dengan maksud dan tujuan Allah . Artinya perceraian tidak hanya tindakan pengabaian atau tindakan penghianatan terhadap janji-janji Allah, tetapi juga tindakan pencemaran akan kekudusan Allah. Karena perceraian tidak terdaftar dalam rencana Allah.

D. Kitab Ezra 9-10-Nehemia
Barnabas Ludji mengatakan, bahwa mengenai kepenulisan kitab Ezra-Nehemia sangat sulit ditentukan, karena banyak pendapat yang berbeda-beda di kalangan para ahli (Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama Vol. 1 (Jakarta: Bina Media Informasi, 2009:184-185; bnd. Weiden, 83-85). Namun dilihat dari hubungannya yang kuat antara kitab Ezra-Nehemia dengan kitab Tawarikh, maka kedua kitab itu, yaitu Ezra dan Nehemia ditulis oleh para Muwarikh/ Pentawarikh/ Khronist/ Priest sekitar tahun 400 sM. Karena peristiwa terakhir yang disinggung dalam kita Nehemia adalah perjalanannya ke Yerusalem untuk yang kedua kalinya kira-kira tahun 433 sM, tahun ke-23 pada masa pemerintahan Artaxerxes I yang memerintah pada tahun 465-423 sM (lht. Otto Kaiser, 1973 : 183-184). Menurut 1 Tawarikh 3:19-24 itu sesudah Zerubabel terdapat dalam nama lima generasi.
Pada masa itu kekuasaan Babel tidak sekuat pada masa sebelumnya, sehingga bangsa Israel menaruh harapan kepada Koresy, raja Persia (Yes 45:1). Artinya kerajaan Persia mulai bangkit dan menjadi bangsa yang kuat. Maka Persia bergabung bersama bangsa Madai kemudian menghancurkan bangsa Babel. Ketika raja Koresy berkuasa atas kerajaan Babel, ia juga mengeluarkan dekrit yang berisikan pengizinan orang Israel kembali ke tanah airnya di Yerusalem. Tidak hanya diizinkan pulang, tetapi bersamaan dengan itu Yerusalem yang telah hancur thun 587 sM dan tinggal puing-puingnya juga akan dibangun kembali, terutama Bait Allah yang diyakini sebagai tempat kehadiran Allah (Ezr 6:5). Harta-harta Bait Allah yang diangkut ke Babel oleh raja Babel dibawa kembali ke Yerusalem. Kelompok pertama yang kembali ke Yerusalem adalah kelompok yang dipimpin oleh Zerubabel, yang berasal dari keturunan Daud (1 Tawarikh 17; Ezra 3:2). Meskipun banyak hanbatan dalam proses pembangunan Bait Allah, terutama dari Sanbalat, gubernur Samaria. Selain itu juga ada hambatan dari pihak Tobia, orang Amon. Tujuan dari pembangunan ini adalah supaya mereka beribadah kepada Allah dan meninggalkan berhala-berhala yang menyebabkan mereka mengalami kemerosotan iman, termasuk diantaranya adalah kawin campur. Artinya isteri-isteri yang berasal dari bangsa-bangsa lain harus diceraikan harus diceraikan, supaya tidak terjadi kemerosotan iman lagi (Ezra 9-10), kemudian Perjanjian Sinai diperbaharui.

Ezra 9-10
Kita akan melihat dua ayat yang mewakili pembahasan Ezra 9-10 yang membahas mengenai kawin campur, yaitu orang Israel dengan bangsa-bangsa sekitar atau perempuan-perempuan asing. Ternyata perkawinan campur ini menyebabkan kemerosotan iman umat Israel kepada Allah, maka imam Esra menyuruh menceraikan semua isteri-isteri yang berasal dari negara asing. Maka dalam kitab Ezra perceraian diizinkan, khususnya perempuan-perempuan asing karena menyebabkan kemerosotan iman, akhlak di dalam komunitas umat Allah. Pertama, Ezra 9:14 menyatakan bahwa “Jika kami kembali memutuskan perintah-Mu (berhenti melakukan perintahmu) dan megawini mertua laki-laki bangsa-bangsa yang keji (kotor/ najis) tidakkah Engkau murka terhadap kami?”. Perhatikan kalimat “hanasub lehaper miswoteyka ulehithatten bearnrne haelleh “. LAI menterjemahkan “masakan kami kembali melanggar perintah-Mu dan kawin-mengawin dengan bangsa-bangsa yang keji ini?”. Maka menurut saya LAI kurang tepat. perhatikan kata “hanasub” : ”Jika kami kembali”, artinya umat Israel sudah pernah melakukan perkawinan campur ini terutama ketika pertama memasuki tanah Kanaan. Kemudian “lehaper miswoteyka” terj. harafiahnya adalah : “merusak, memutuskan atau berhenti melakukan perintah-Mu. LAI: “melanggar” kurang kuat dibandingkan dengan terj. “berhenti melakukan atau memutuskan perintah-Mu”. Kalimat “dan mengawini mertua laki-laki bangsa-bangsa yang keji tidakkah Engkau murka terhadap kami?” memperlihatkan, bahwa bagi imam Ezra “menikah dengan bangsa-bangsa asing adalah kekejian bagi Allah dan mendatangkan murka-Nya. Mengapa? karena tindakan tersebut tidak melakukan perintahnya atau berhenti melakukan perintah-Nya. Maka dari itu kitab Ezra mengijinkan perceraian atau disahkan saat itu atau diperbolehkan jika perempuan itu membuat mereka jauh dari Tuhan. Dengan kata lain perceraian dibenarkan pada konteks saat itu. Kedua, dalam Ezra 10:10 memberitahukan bahwa kawin dengan bangsa-bangsa asing itu adalah sama dengan “ketidaksetiaan” dan menambah “kesalahan” kepada perintah Tuhan. Kata yang diterjemahkan dengan “kesalahan” adalah “ashmah”, yang bisa diterjemahkan juga dengan “wrongdoing” dan “guiltiness” yang artinya tindakan yang salah, atau “pelanggaran” dan “kesalahan”. Maka jelaslah, bahwa menurut kitab Ezra perceraian harus dilakukan karena itu adalah tindakan yang melanggar perintah Tuhan, mengapa melanggar? Karena akibat perkawinan dengan perempuan asing umat israel semakin jauh dari Tuhan dan tidak lagi melakukan kehendak-Nya atau perintah-Nya. Artinya, tindakan itu juga adalah penghianatan terhadap Tuhan atau ketidaksetiaan kepada perintah Tuhan. (bnd. Cliens, The New Century Bible Commentary, Ezra, Nehemiah, Esther (Marshall, Morgan & Scott Publ. LTD. London: Wm. B. Eermans, 1992 :118-134)

E. Kitab Yesaya 50:1
Ayat ini ingin mengatakan bahwa persekutuan Yahwe dengan umat-Nya disamakan dengan persekutuan dalam pernikahan, yaitu umat Israel digambarkan sebagai “isteri” dan Yahwe adalah suaminya. Artinya ungkapan ini adalah ungkapan metapora penulis Deutero-Yesaya (liht. John D.W. Watts, Word Biblical Commentary-Isaiah 34-66-Vol. 25 (USA: Work Books, Publisher. Waco, Texas, 1987) 193; Alec Motyer, dalam bukunya The Prophecy Of Isaiah-An Introducation & Commentary (USA: InterVersity Press 1993) 397 mengatakan bahwa ayat ini tidak ada kaitannya dengan masalah keluarga melainkan antara Yahwe dan Israel. Dalam Yes. 40:27 mencatat keluhan umat Israel terhadap Yahwe: “hakku tidak diperhatikan oleh Allahku”, termasuk hak sebagai “isteri”; bndYer.14:19. Maka atas tuduhan itu Yahwe membela diri dan bertanya kepada umat-Nya Israel KJV menterjemahkan "Where is your mother's bill of divorce, with which I put her away? LAI: “Di manakah surat cerai ibumu tanda Aku Telah mengusir dia”?, pengusiran pasti berkaitan dengan tempat dan terj. RSV memperlihatkan bahwa tempat itu sangat jauh, perhatikan! "Where is your mother's bill of divorce, with which I put her away”? terj. BGT memperlihatkan bahwa pengusiran itu bukan bersifat sementara tapi seterusnya jika tidak ada pertobatan. Perhatikan kata yang digunakan: ”ezapesteila” (Yun): to send forth, yaitu bentuk verb indicative aorist active 1st person singular from “ezapostello”: “send out, send away”. Yang menarik adalah penggunaan kata “ezapostello”, yaitu di satu sisi erat kaitannya dengan “pengusiran” dengan tangan hampa. Tapi di sisi lain kata ini juga berkaitan dengan pengutusan rasul Paulus, pengutusan Yesus sebagi Anak Tunggal Bapa, pengutusan Roh Kudus pada hari Pentakosta (lht. Luk 1:53; 24:49 v.l.; Kis 7:12; 17:14; 22:21; Gal 4:4, 6). Dalam undang-undang perkawinan, “perceraian” itu sah (berlaku) ketika si isteri sudah diberi atau mendapatkan surat cerai. Artinya jika surat cerai itu belum atau tidak ada maka perkawinan itu tetap sah (bnd. Ul. 24:1-4). Dalam bagian ini juga ingin menegaskan bahwa Allah tidak pernah menceraikan umat-Nya, tetapi karena kesalahan merekalah mereka dibuang ke negeri Babel. Horst D. Preuss dalam bukunya Theology Of The Old Testament-Vol.2, (1996: 152) menyebut pembuangan umat Israel ke Babel dengan istilah kematian, sedangkan pemulihan adalah kebangkitan. Namun sekalipun Israel diusir karena kesalahannya, tapi Allah tetap mengasihi dan akan mengembalikan mereka ke tempat asalnya. Deutero-Yesaya berusaha meyakinkan mereka yang telah berputus asa supaya tetap memiliki pengharapan bahwa Allah akan menolong mereka. (lht. Yes.41:17-20; 42:24; 43; 26-27; 54:7); bnd. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1996) 112-113; Marie-Claire Barth, Tafsiran Alkitab-Kitab Nabi Yesaya 40-55 (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1983) 268-269; bnd. C. Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama, (Edisi Baru,Yoyakarta: Kanisius, 2005) 251-253.
Yesaya 50:1 adalah bagian dari Deutero-Yesaya (Yesaya kedua), yang berisi mengenai penghiburan-penghiburan kepada umat Israel yang telah dibuang di Babel tahun 597-538 / 587-539 sM. Sehingga tidak heran jika kitab ini sering disebut sebagai kitab penghiburan. Mereka berpikir bahwa Yahwe telah dikalahkan oleh dewa-dewa sembahan orang Babel. Waktu masih di Yerusalem mereka digambarkan sebagai “isteri” Yahwe namun kini mereka diceraikan dan diusir ke tempat yang sangat jauh. Situasi pembuangan di Babel sungguh sangat berbeda dengan situasi waktu mereka masih tinggal di negeri sendiri (Yerusalem). Dalam hal inilah penulis Deutero-Yesaya berusaha menghiburkan umat Israel yang telah putus asa (tidak punya harapan lagi). Yerusalem tempat kehadiran Allah telah hancur dan itu menandakan bahwa Yahwe telah kalah. Tetapi Deutero-Yesaya memberi kesaksian yang sangat kontras, yaitu Yahwe tidak kalah, Dia tetap Allah Yang Maha-Kuasa, Khalik langit dan bumi, Dia adalah Allah yang hadir secara aktif. Oleh sebab itu itu, Yahwe menanyakan "Where is your mother's bill of divorce, with which I put her away?”. Frasa ini menunjukan bahwa Yahwe idak pernah menceraikan atau mengusir umat-Nya ke tempat yang sanga jauh, tetapi itu semua karena dosa dan ketidaktaatan mereka.
Penulis Deutero-Yesaya menggunakan kata “keritut” : ”perceraian” untuk menggambarkan keadaan Israel di pembuangan seperti seorang isteri yang diceraikan suaminya. Di lain sisi juga umat merasa bahwa Yahwe telah menceraikan mereka sehingga mereka seakan-akan tidak punya harapan lagi untuk kembali, karena telah diceraikan dengan sah. Dibuang ke negeri Babel berarti diceraikan, diputuskan, dihentikan, diusir atau ditelantarkan atau dikeluarkan dari rumah tanangga Allah. Demikianlah pemahaman mereka di negeri asing itu. Situasi pembuangan sangat berbeda dengan situasi waktu masih di Yerusalem. Di negeri Babel seperti tidak ada sumber kehidupan dan pengharapan bagi umat Israel untuk bertahan hidup. Artinya pembuangan tidak hanya seperti diceraikan, tetapi juga dipahami sebagai kematian (Host D. Preuss, 1996:152). Namun Deutero-Yesaya yakin bahwa Allah tidak pernah menceraikan mereka, tetapi pembuangan itu karena dosa yang mereka perbuat kepada Allah. Maka kalau mereka berbalik Allah akan menyelamatkan atau memulihkan mereka kembali, sedangkan Babel akan jatuh ke tangan Persia. Karena semakin hari Babel semakin lemah dan kerajaan Persia menjadi bangsa yang kuat, dan Koresy sebagai rajanya, dan kekuatan yang besar itu menjadi ancaman bagi Babel. Maka melalui kekuatan Persia Allah akan menyelamatkan umat-Nya, mereka akan menjadi Mesias yang dipakai Allah untuk membebaskan umat-Nya. Peristiwa janji pemulihan menandakan bahwa Allah tidak pernah menceraikan umat-Nya. Jadi kata “keritut”: “perceraian” juga bisa disebut sebagai “keterpisahan Israel dari Allah”.

F. Yeremia 3:8
Mengenai ayat ini para ahli penafsir sepertinya mengalami kesulitan dalam menterjemahkan kata “waere”. Analisis: “we” particle conjunction “raah” verb qal waw consec imperfect 1st person common singular. J.A. Thompson mengikuti terjemahan RSV, MT, yaitu “She saw”; Robert M. Paterson menterjemahkan “aku melihat”; LAI mengikuti beberapa salinan LXX, yaitu “dilihatnya”; BGT: “kai eidon”; KJV: “and I saw”; NIV: “I gave”. Dari semua terjemahan di atas menurut saya kurang tepat, karena jika kita melihat secara linguist (bahasa) kata “waere” bentuk orang pertama tunggal kemudian diawali dengan penghubung dan. Awalan dan bagi ayat ini sangat penting karena menghubungkan ayat ayat 8 dengan ayat yang ada di atasnya. Maka saya mengusulkan terjemahan : “dan aku melihat”. Kalimat ini memperlihatkan sifat Yehuda adalah tidak mau belajar dari kesalahan. Ia telah melihat sendiri mengenai kejatuhan Israel Selatan dan penduduknya diangkut ke Asyur karena tidak mau berbalik kepada Allah. tapi Yehuda tetap bekerja sama dengan Asyur dan bahkan rajanya Ahaz yang memerintah di Yehuda saat itu mendirikan mezbah dewa-dewa asing di Yerusalem untuk disembah bersama rakyat (2 Raj. 16:10). Selain itu juga, Ahaz rajanya itu mempersembahkan anaknya sendiri kepada dewa molokh (2 Raj. 16:3). Molohk adalah dewa sembahan bani Amon (1 Raj. 11:7; 2 Raj. 23:10; Yer. 32:35; Im. 18:21; 20:2-5), dewa ini dipercayai sebagai penolong saat mengalami krisis, Mesa raja Moab juga pernah mempersembahkan anaknya kepada Molokh (liht. Weiden, 2000: 51; bnd. Vriezen, 2006: 236-237).
Yeremia mulai pelayanan pada masa pemerintahan Yosia (626 sM.) menjelang pembuangan ke Babilonia dan berlanjut hingga masa pemerintahan Yoyakim, Yoyakin, dan Zedekia. Ia menubuatkan bahwa Yehuda akan dibuang dan Bait Allah akan dihancurkan karena umat Israel tidak setia lagi kepada Allah dan mereka hidup bersinkretisme dengan dewa-dewa Asyur (lht. Blommendaal, 1996: 116-117). Memang jika kita melihat pada masa pemerintahan Yosia, situasinya relatif aman, namun pada masa sesudahnya yaitu pada masa Yoyakim, Yoyakhin, dan Zedekia situasi menjadi krusial . Sekursial apa? Dapat dilihat dalam dua sisi yang memperlihatkan dengan jelas bahwa Yehuda dalam keadaan terjepit: yang pertama secara internal Yehuda mengalami kebobrokan dan kemerosotan iman yang sangat parah, sehingga kecaman itu dengan tajam dikemukakan oleh Yeremia bahwa Allah akan membuang umat-Nya. Yang kedua adalah secara eksternal Yehuda berada dalam situasi politik internasional yang sangat mencekam. Babilonia dan Mesir adalah dua kerajaan besar yang saling bertikai dan memperebutkan kekuasaan dengan daerah-daerah sekitarnya tarmasuk di dalamnya ada Yehuda. Dalam tesisnya Elisamark mengatakan bahwa dalam keadaan yang demikian Yehuda berada pada posisi “buah simalakama”. Pada masa pemerintahan Yoyakim Yehuda berpihak atau bekerja sama dengan Mesir, sehingga hal itu menjadi pemicu kemarahan kerajaan Babel. Maka Babel melancarkan serangan pertama atas Yehuda dan dalam keadaan yang demikian Yoyakim meninggal dunia. Kemudian digantikan oleh anaknya Yoyakhin, tetapi ia menyerahkan diri sehingga dibawa ke Babel sebagai tawanan dengan rajanya Nebukadnezar. Keadaan semakin parah atau memuncak pada masa pemerintahan Zedekia . Kebohongan atau kepalsuan yang dilakukan umat Israel dalam ibadah membuat Allah murka dan akan membuang mereka karena tidak setia pada perjanjian dan tidak mau bertobat kepada Allah.
Jika kita melihat ayat sebelumnya, yaitu ayat 1-5 Yehuda digambarkan lebih jahat dari perempuan yang diceraikan karena perbuatannya yang tidak senonoh, dan Yehuda tidak mau belajar dari hukum-hukum Allah yang dinyatakan dalam bentuk kekeringan tanah dan bencana-bencana alam lainnya. Dalam ayat 6-11 kelakuan Yehuda tidak bermoral dan lebih parah (meningkat) dari kelakuan Israel Utara. Yehuda tidak mau belajar dari pengalaman Israel Utara yang telah dibuang ke Asyur tahun 722 sM. malahan tunduk kepada Asyur dan menyembah dewa-dewanya. Yehuda mengalami krisis yang sangat parah, yaitu kemerosotan iman akibat bersinkretisme dan terlibat dalam politik Internasional. Dalam keadaan demikian Yeremia mengambil bagian untuk mengadakan pembaharuan di bidang agama dan tampil sebagai nabi pada masa pemerintahan raja Yosia. Tetapi ia dibenci oleh bangsanya, terutama oleh Yoyakim. Kemudian nubuatnya dituliskan oleh Barukh dan dibacakan kembali. Tetapi Yoyakim marah dan membakar seluruh semua gulungan nubuat itu. Serangan yang dilancarkan oleh Babel menjadi ancaman bagi Yehuda. Kekuatan Asyur dan Mesir yang diandalkan ternyata dikalahkan oleh Babel. Sehingga berbagai penderitaan pun semakin memuncak dan para negarawan, hartawan, ilmuwan, tukang-tukang dan orang pintar lainnya diangkut ke Babel tahun 597 sM. itulah pembuangan pertama. Tetapi kejadian itu belum benar-benar puncaknya karena Yerusalem belum hancur karena Zedekia diangkat oleh Nebukadnezar untuk memerintah atas Yehuda dan ia pro-Babel. Namun ketika Zedekia berusaha meloloskan diri, tetapi ia tertangkap dan semua anaknya dibunuh, ia sendiri dibutakan dan diangkut ke Babel dan Yerusalem dihancurkan, dibakar habis dan disama ratakan dengan tanah tahun 587 sM. itulah pembuangan kedua.
Dari keterangan diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa masyarakat Yehuda merasa bahwa Yahwe telah pergi meninggalkan mereka atau “diceraikan olah Yahwe” dan mereka seakan-akan dibiarkan dalam keadaan sangat menderita. Yerusalem yang diyakini sebagai tempat kehadiran Allah, karena di sanalah Dia bertakhta. Tapi kini dihancurkan, dibakar dan bahkan disama ratakan dengan tanah. Dalam keadaan demikian mereka mempertanyakan di mana Yahwe saat itu. Sehingga tidak heran ada yang berpikir bahwa Yahwe telah dikalahkan oleh dewa-dewa Babel. Mereka berpikir Allah telah menceraikan mereka, tetapi Allah tidak pernah menceraikan mereka, melainkan semua itu terjadi karena ketidaktaatan mereka.

G. Kitab Maleaki 2:10-15
Maleaki adalah nabi yang tampil setelah Bait Allah selesai dibangun sesudah pembuangan di Babel atau sesudah tahun 518 sM, namun ia bertindak sebelum Ezra dan Nehemia, yaitu sebelum tahun 450 sM di Yerusalam (Blommendaal, 1996, hal 143). Jika kita perhatikan pada masa Maleaki, perkawinan campur merupakan persoalan besar yang terjadi di kalangan Umat Israel, sehingga terjadi kemerosotan iman. Banyak parempuan yang diceraikan oleh suaminya supaya bisa kawin lagi dengan perempuan-perempuan asing, yang dengannya juga mereka beribadah kepada dewa-dewinya. Karena ketika umat Israel yang menikah dengan perempuan asing, mereka juga sekaligus mempraktikkan agama isteri-iaseri asnig itu. Sehingga hal inilah yang menyebabkan nabi mengecam tindakan yang dilakukan oleh umat, karena sesungguhnya Allah membenci “perceraian” yang dilakukan mereka. Menikah dengan perempuan asing otomatis warisan nenek moyang Israel juga berpindah tangan. Tanah yang diwariskan adalah pengenapan perjanjian Allah kepada umat-Nya Israel, maka tindakan ini sama dengan penghianatan terhadap perjanjian Allah. (Baca G. Von Rad, The Old Testament Library-Deuteronomy-A Commentary (London: SCM Press LDT, 1966 : 150). Ternyata perceraian menurut nabi Maleaki penghianatan atas perjanjian Allak kepada umat-Nya Israel. (bnd. John Stott, Isu-Isu Global-Menantang Kepemimpinan Kristiani-Penilaian Atas Masal sosial dan Moral Kontemporer (terj. G.M.A. Nainggolan), (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1994), hal 370, 376-377.

Ayat 10-12
Ayat 10 mengawali perikop ini dengan frasa “satu bapa”. Jones mengatakan bahwa kata “bapa” menunjuk kepada Abraham dan nenek moyang umat Israel yang lainnya. Selanjutnya dilanjutkan dengan frasa “satu Allah”. Ini ingin menunjukan bahwa baik Abraham dan nenek moyang mereka yang lain itu setia kepada Allah. Namun mengapa sekarang mereka tidak setia, dan malah menjadi penghianat. Nabi Maleaki melihat tindakan penghianatan yang dilakukan Israel itu adalah bukti bahwa mereka menyangkal Allah yang menciptakan manusia. Penghiananat itu dilanjutkan pada ayat 11 yang mengatakan perbuatan itu adalah kekejian. Dalam bahasa Ibraninya adalah “weto’ebah”, RSV menterjemahkan “Abomination”. Kata ini berkaitan erat dengan perbuatan-perbuatan atau barang-barang yang dibenci oleh Allah, misalnya berhala-berhala, pelanggaran etis seperti perkawinan campur itu sendiri. Kemudian ditutup dengan ayat 12, bahwa yang berbuat demikian harus dilenyapkan dari komunitas. (baca Pieter A. Verhoef, The New International Commentary On The Old Testament, The Books Of Haggai And Maleachi (Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company), 1988 : 262; bnd Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab, Kitab Nabi Maleaki (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985 : 38-42.)

Ayat 13-16
Bagian ini dimulai dengan perbuatan ibadah yang dilakukan umat Israel, namun hatinya tidak tertuju kepada Allah, dikatakan “kamu menutupi mezbah Tuhan dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan”. Artinya adalah sekalipun mereka menangis, merintih dalam doa saat mempersembahkan korban di Mezbah, Tuhan tidak akan mendengarkan mereka. Mengapa? ayat 14 memberi penjelasan, karena mereka “tidak setia pada isteri masa muda”. Isteri masa muda menunjuk kepada isteri pertama yang ditetapkan Allah menjadi teman sekutu dan seperjanjian. Artinya ketika seseorang menikah ia berjanji untuk setia sehidup semati. Perjanjian itu tidak hanya menyangkut manusia kepada manusia, tetapi lebih jauh lagi, yaitu kepada Tuhan. Karena Dia adalah Allah yang tidak ada duanya, yang menciptakan dan menjadikan mereka satu. Dengan kata lain perjanjian pernikahan itu didasarkan pada perjanjian Tuhan kepada umat-Nya (ayat 15). Oleh sebab itu perceraian dilarang oleh nabi Maleaki. Ayat 16 menutupnya dengan frasa “Sebab Aku membenci perceraian” dalam bahasa Ibraninya “Dia membenci”. Namun kebanyakan ahli tafsir seperti terjemahan LAI, mungkin supaya lebih tajam karena diungkapkan oleh Allah sendiri. Jadi perikop ini memberi informasi bahwa perceraian adalah salah satu bukti pemberontakan atau ketidak setiaan kepada perjanjian Allah.

Kesimpulan teologis dan relevansinya bagi orang percaya:
Dari pembahasan di atas memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama hampir tidak menyinggung masalah perceraian. Namun tidak berarti itu diabaikan, melainkan mungkin karena perceraian bukanlah masalah pokok saat itu. Dengan demikian, kemungkinan juga hukum-hukum yang melarang perceraian itu belum ada saat itu. Karena jika kita bertolak dari Ul. 24:1-4 maka perlindungan terhadap perempuanlah yang menjadi pokok utama dari hukum tersebut (lht. G. von Rad, 1956: 22; Raymond Borwn, 1993: 227-229; P.C. Craigie, 1976: 304-305; Wright, 2000 : 182). Sedangkan dalam kitab Yesaya 50:1 dan Yeremia 3:8 menunjuk pada masalah pembuangan, yaitu Israel dibuang ke Babel berarti diceraikan oleh Allah.
Maka saya menyimpulkan bahwa Perjanjian Lama satu suara mengatakan (sepakat) tidak mengijinkan perceraian. Artinya mutlak bahwa Allah tidak mengijinkan perceraian. Namun perlu diketahui bahwa perceraian merupakan fakta yang tidak dapat disangkal. Memang ada beberapa ahli yang mengijinkan tapi “kekecualian”. Karl Barth menyebutnya dengan istilah "possible impossibility", yaitu sesuatu yang pada hakikatnya tidak mungkin, tetapi dalam kenyataannya menjadi mungkin, bahkan banyak terjadi. Eka Darmaputera mengatakan adalah kesalahan jika “kekecualian” dianggap sebagai “aturan umum”. Namun saya tetap mengatakan bahwa “perceraian” adalah perkawinan yang gagal serta tragedi yang tidak dikehendaki oleh Allah dan penyimpangan dari maksud ideal Allah dan pembrontakan terhadap janji ilahi yang mulia. Maka ada beberapa alasan mengapa percerain itu dilarang :

a. Perceraian adalah tidak terdaftar dalam rencana Allah,
b. Pelanggaran terhadap perjainjian suci Allah atas pernikahan,
c. Penyimbangan dari maksud ideal ilahi atau tujuan Allah,
d. Tindakan penghianatan dan pemberontakan terhadap janji-Nya (bnd. Mal. 2:16);
e. Ketidak setiaan pada perintah Allah (Ezra 10:10).
f. Serta merendahkan harkat dan martabat atau nilai dan hak sesama ciptaan-Nya.

KEPUSTAKAAN
Barth Marie - Claire, Tafsiran Alkitab-Kitab Nabi Yesaya 40-55 (Jakarta: BPK Gunung Mulia) 1983.
Blommendaal J., Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia) 1996
Borwn Raymond, The Message Of Deuteronomy-The Bible Speaks Today, Leicester, England Downers Grove, Illionis (USA: Inter-Varsity Press) 1993.
Bright John, A History of Israel. (London : SCM Press Ltd.) 1962.
Browning, W. R. F., Kamus Alkitab (A Dictionary of the Bible) terj. Dr, Lim Khiem Yang (Jakarta: BPK Gunung Mulia) 2007.
Brueggemann Walter, A Commentary On Jeremiah-Exile & Homecoming (USA: Wm. B. Eerdmans Publishing Com. Grand Rapids, Michigan/ Cambridge, U.K.) 1998.
Cairns Ian, International Theological Commentary-Deuteronomy-Word And Pressence, (Wm. B. Eermans Publishing Company) 1992.
Cliens, The New Century Bible Commentary, Ezra, Nehemiah, Esther (Marshall, Morgan & Scott Publ. LTD. London: Wm. B. Eermans), 1992.
Craigie P.C., The International Commentary On The Old Testament-The Book Of Deuteronomy, (USA: Wm.B Eerdmans, Publishing Company Grand Rapids, Mich) 1976.
Darmawijaya, Warta Nabi Masa Pembuangan Dan Sesudahnya (Yogyakarta: Kanisius Lembaga Biblika Indonesia) 1990.
Eissfeldt, Otto. The Old Testament : An Introduction. (terj. Peter R. Ackroyd. New York & Evanston : Harper & Row Publishers) 1965.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini – jilid 2 (M-Z), Jakarta: (Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF) 2004.
Fohrer G., History Of Israelite Religion, translited by: David E. Green (London: S.P.C.K) 1981.
Groenen, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama, (Edisi Baru) (Yaoyakarta: Kanisius) 2005.
Holladay, William L. Jeremiah I : A Commentary on the Book of the Prophet Jeremiah Chapter 1-25 (Philadelphia : Fortress Press) 1986.
House Paul R., Old Testament Theology, USA: (IntterVarsity Press), 1998.
Interpreter’s Bible-Vol. II (New York: Abingdon Cokesbury Press) 1953.
Ludji, Barnabas. Pemahaman Dasar Perjanjian Lama Vol. 1 (Jakarta: Bina Media Informasi), 2009.
Manley G. T., The Book Of The Low- Studies In The Date Of Deuteronomy, (London: The Tyndale Press), 1957.
Motyer J. Alec, The Prophecy Of Isaiah-An Introducation & Commentary (USA: InterVersity Press) 1993.
Muilenburg James, The Terminology Of Adversity In Jeremiah, (Translating & Understanding The Old Testament), ed: Harry Thomas Fank and William L. Reed (Nashiville: Abingdon) 1970.
Napel, Henk ten. Jalan Yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1990.
Paterson, Robert M. Tafsiran Alkitab, Kitab Nabi Maleaki (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1985.
Preuss Horst D., Theology Of The Old Testament-Vol.2 (USA: T&T Clark Edinburgh)1996.
Rad Gerhand von, Studies In Deuteronomy-Studies In Bibical Theology No.9,(London: SCM Press LTD) 1956.
Rad Gerhand Von, The Old Testament Library-Deuteronomy-A Commentary (London: SCM Press LDT) 1966.
Rops, Daniel. Daily Life In Palestina At The Time Of Christ (London), 1962.
Sitopu Elisamark, Teo-politik Yeremia dan Hananya-Studi Eksegese Yeremia 28:1-17 Cipanas: 2008.
Stott R.W John, Isu-Isu Global-Menantang Kepemimpinan Kristiani-Penilaian Atas Masal sosial dan Moral Kontemporer - terj. G.M.A. Nainggolan (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF) 1994.
Stott R.W John, Chtistian Counter-Cultute (Downers Grove, I: Intervarsity Press) 1978.
The Interpreter’s Dictionary Of The Bible – An Illustrated Encyclopedia A-D / Vol. 1, (New York: Abingdon Press) 1962.
Theological Wordbook Of The Old Testament-Vol. 1, (R. Laird Harris, Editor, Gleason L. Acher, Jr., Associate Editor and Bruc K. Waltke, Associate Editor, (UAS: Moody Press-Chicago) 1984.
The Jewish Encyclopedia 12 (New York), tanpa tahun
Thompson J.A., Deuteronomy-An Introduction & Commentary (London: Inter-Versity Press), 1974.
Tremper Longman III, New International Biblical Commentary-Jeremiah, Lamentations, (USA: Hendrickson Biblical Commrntary), 2008.
VanGemeren Willeam A. (Editor umum), New International Dictionary Of Old Testament Theology & Exegeisi-Vol. 2, (Zondervan, Grand Rafids, Michigan) 1997.
Vaux Roland de, Ancient Israel-Its Life and Institutions, (translated: JOHN McHUGH), (Darton, Longman & TODD London) 1968.
Verhoef, Pieter A. The New International Commentary On The Old Testament, The Books Of Haggai And Maleachi (Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company), 1988.
Vriezen C. TH., Agama Israel Kuno (Jakarta: BPK Gunung Mulia) 2006
Wahono Wismoady, Di Sini Kutemukan, (Jakarta: BPK Gunung Mulia) 2004.
Watts John D.W., Word Biblical Commentary-Isaiah 34-66-Vol. 25, (USA: Work Books, Publisher. Waco, Texas) 1987.
Weiden, Wim Van der, MSF. Mgr. I. Suharyo, Pengantar Kitab Suci Perjanjian Lama – Lembaga Biblika Indonesia (Yogyakarta: Kanisius) 2000.
Wenham J.W., Our Lord’s View Of The Old Testament (London: The Tyndale Press), 1953.
Wolff Hans Walter, Anthropology Of The Old Testament-Second Printing (SCM Press Ltd, London & Forteress Press, Philadelphia) 1975.
Wright Christopher, Hidup Sebagai Umat Allah-Etika Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia) 2000.

Selasa, 09 Februari 2010

BERFILSAFAT: LANGKAH AWAL

BERFILSAFAT: LANGKAH AWAL

Oleh: Sugiman
A. Pendahuluan

Harus diakui bahwa para filsuf tidak mengandalkan metode ilmiah, “dengan demikian mereka harus mengantungkan diri pada cara-cara penelusuran dan pertimbangan rasional lainnya”. Artinya bagi mereka metode ilmiah bukanlah satu-satunya untuk mencari kebenaran, tetapi juga yang lainnya. Oleh sebab itu, ditawarkan sarana-sarana untuk menangani masalah-masalah yang muncul dalam perkenalan pertama kali dengan filsafat. Untuk itu harus kita sikapi dan perlakukan seperti seorang sahabat baik, setahap-demi setahap hingga kita dapat memahami butiran pada setiap bagiannya. Dalam paper ini akan dibahas berfilsafat adalah langkah awal, yang mencakup persiapan untuk berfilsafat, klaim macam apakah yang diajukan? dan apa maksudnya kata kunci?

B. Pembahasan
1. Persiapan untuk berfilsafat
Sebelum berfilsafat, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan.
a. Pertama, ada empat sikap batin untuk mendukung komunikasi secara aktif:
• Memiliki keberanian untuk menguji secara kritis hal-hal yang kita yakini;
• Bersedia membuat atau mengajukan hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal terhadap perntayaan filsafat;
• Bertujuan untuk mencari kebenaran di atas kepuasan karena “menang” atau kecewa karena “kalah” dalam perdebatan.
• Mampu memisahkan kepribadian seseorang dari materi diskusi.
b. Kedua, berfilsafat adalah keterampilan yang harus dikembangkan dengan praktik, lebih mirip keterampilan seorang ahli bedah atau pembalap daripada kemampuan seorang programer komputer.
c. Ketiga, kita akan serentak belajar filsafat dan berfilsafat. Dengan demikian kita tidak menjadi “tangan kedua”, karena kebiasaan berpikir kritis kita akan membentuk sebuah pemahaman yang menjadi milik pribadi dan tentu tidak dibakukan (terbuka).
d. Keempat, dalam berfilsafat seseorang tidak berpegang pada pendafat sndiri saja.
e. Kelima, jangan mencampuradukan antara berfilsafat secara produktif dan praktik psikologi.
f. Keenam, filsafat memiliki dua sisi, yang kritis dan konstruktif. Untuk itu dibutukan dua alasan: pertama, belajar menganalisis berbagai sudut pandang filsafat orang lain sebelum berspekulasi teoritis sendiri. Kedua, kritik pun dapat bersifat konstuktif. Artinya suatu kerangka pandangan baru akan muncul dengan sendirinya serentak dengan proses analisa yang kita lakukan dengan kritis dan berdisiplin.
g. Ketujuh, sewaktu mengkritisi klaim-klaim filsafat, usahakan mengukur seberapa kuat kritik anda. Dengan kata lain biarkan argumentasi kita yang berbicara, maka ini adalah salah satu latihan yang sangat baik dari pada mencoba meruntuhkan sebuah terori dengan beberapa argumen tertentu yang sebenarnya hanya memerlukan sedikit modifikasi pada teori tersebut.

2. Klaim macam apakah yang diajukan?
Adalah sangat perlu atau penting untuk kita diketahui yang dilakukan oleh para pilsuf. Pertama-tama yang mereka harus lakukan adalah menentukan secara tepat tesis yang diajukan supaya tahu bagaimana mengujinya. Karena kita tidak dapat menilai sebuah karya seni sama dengan menilai suatu hipotesis ilmiah. Oleh sebab itu, berikut akan dijelaskan beberapa macam klaim atau pernyataan:

a. Apakah klaimnya Empiris?
Klaim empiris adalah pengetahuan mencakup keyakinan-keyakinan yang mana kebenaran dan kesalahannya dibuktikan berdasarkan pengalaman. Keyakinan yang didasarkan pada pengalaman ada dua jenis: Yang ditentukan melalui pengalaman langsung atau dengan membuat generalisasi dari data-data yang diamati dan ditentukan melalui percobaan dengan menggunakan hipotesis. Berdasarkan fakta-fakta dari hasil pengamatan atau pencobaan, maka itu juga dikatakan empiris. Namun ada sejumlah klaim, yang bagi para pemula kelihatannya bersifat empiris, tapi ketika diadakan penelitian lebih jauh hal itu tidak dapat dibuktikan. Contohnya “Setiap kejadian memiliki sebab”. Dengan demikian jika tesis “setiap kejadian memiliki sebab” tidak dapat digolongkan sebagai klaim empiris karena tidak dapat dibuktikan.

b. Apakah klaimnya Apriori?
Klaim apriori adalah kebenaran dan kesalahannya tidak ditentukan oleh pengalaman atau eksperimen, melainkan hanya dapat diketahui dengan rasio atau intuisi intelektual. Jadi sifatnya adalah niscaya, yakni berisi keyakinan-keyakinan tentang sesuatu yang pasti atau tidak mungkin. Contoh 2+2 = 4. Keyakinan ini tidak dapat dibuktikan salah oleh pengalaman, dan tidak bisa diubahkan oleh apa yang kita pelajaran sesudahnya. Ada beberapa jenis-jenis klaim spriori:

• Definisi. Salah satu jenis klaim apriori adalah pernyataan yang secara eksplisit menyatakan sebuah makna istilah, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contoh, “segi tiga memiliki tiga sisi” atau “bujangan adalah laki-laki yang belum menikah”.
• Pernyataan yang kebenarannya (niscayanya) langsung tampak dari makna kata-kata kunci. Misalnya: “tidak mungkin John seorang baptis yang ateis” niscaya benar, ketika kita memahami arti kata “baptis” dan “ateis”. Ini adalah salah satu bentuk lain klaim apriori.
• Tautologi. Ini juga adalah salah satu jenis klaim apriori yang relatif sempit, yang kebenarannya niscaya berkaitan erat dengan bentuk logisnya sendiri atau prinsip-prinsip penyimpulan logis. Apapun muatan yang terkandung di dalamnya, tida ada relevansinya dengan kebenarannya niscaya klaim tersebut. Contoh: “3+3 = 6”, “jika A = B, B = C, maka A = C, dan tanah terdiri dari cacing atau tidak” (P atau bukan P).
• Klaim Apriori Sintetis. Ini adalah salah satu jenis klaim yang khusus, menarik dan kontroversial! Ada empat hal yang perlu diingat tentang klaim apriori sintetis: pertama, seperti klaim-klaim apriori yang lain, yang mana kebenarannya terlepas dari dari pengalaman, yaitu melalui intuisi rasional secara langsung. Kedua, pengingkaran terhadap klaim apriori tidak mengakibatkan kontradiksi-diri, dan karena itu disebut sintesis, bukan analitis. Ketiga, tidak seperti klaim analitis (bersifat analisis), kebenaran niscaya klaim apriori sintetis tidak bergantung pada pada bentuk logis atau kata-kata kuncinya. Dan yang keempat adalah tidak seperti klaim analitis, klaim apriori sintetis kelihatannya memberikan informasi tentang kenyataan di dunia, bukan sekedar tentang cara kita mendefinisikan kata-kata tertentu.

c. Apakah klaimnya Normatif?
Kita telah melihat klaim empiris dan apriori yang sama-sama menyatakan fakta dan memberikan informasi mengenai apa yang menjadi pokok permasalahannya. Di sinilah letak perbedaannya dengan klaim normatif (“pertimbangan nilai”). Pada hakikatnya, klaim normatif merupakan pedoman sikap dan tingkah laku. Oleh sebab itu, orang yang mengajukan klaim ini ia sebenarnya merekomendasikan tentang suatu sikap atau tindakan tertentu yang diambilnya. Contoh: “Semit adalah orang baik”, “setiap orang harus menjaga dirinya sendiri” dll. Dengan kata lain, klaim normatif adalah mengariskan apa yang seharusnya, bukan sekedar apa yang diyakini.

3. Apa maksudnya kata kunci?
Menjernihkan pengertian adalah salah satu tugas utama para filsuf. Sebelum kita dapat menentukan benar tidaknya dan memadai tidaknya sebuah tesis filsafat, kita harus terlebih dahulu memahami tesis tersebut. Dalam bagian ini akan disajikan dua metode terpenting untuk menjernihkan pengertian.

A. Contoh model dan contoh perbatasan
• Contoh model dapat berperan strategis dalam upaya menjernihkan suatu pengertian. Contoh model menggambarkan makna yang esensial dari suatu konsep. Misalnya, Martin Luther King adalah model dari konsep tentang tokoh pembela hak-hak sipil kulit hitam yang anti kekerasan. Contoh model sering berfungsi sebagai titik tolak untuk menjernihkan suatu konsep. Hal ini dapat dilakukan dengan mendefinisikan ciri-ciri pokoknya, dan dari ciri-ciri itulah kita dapat menyusun definisi yang baik. Di samping sebagai titik tolak perumusan, contoh model juga berfungsi sebagai pasak penguat bagi sebuah definisi.
• Contoh perbatasan digunakan untuk menegaskan batas-batas kemungkinan penerapan sebuah konsep. Contoh perbatasan sangatlah membantu kita ketika kita ragu-ragu mengenai jangkauan atau cakupan suatu konsep walaupun kita mengetahui makna intinya. Kadang-kadang contoh perbatasan perlu diciptakan jika memang tidak ada contoh kasus yang nyata.



B. Menguji definisi
Strategi kedua untuk menjernihkan pengertian, yakni mengembangkan definisi yang memadai. Menguji suatu definisi (konotatif) banyak bergantung pada jenis definisinya. Meskipun ada berbagai macam definisi, kita hanya memusatkan perhatian pada tiga jenis, yaitu:
• Definisi refortif menyatakan makna (atau makna-makna) suatu konsep menurut pemakaiannya dalam bahasa kita. Definisi ini memberikan apa yang secara umum dipahami sebagai makna dari konsep tertentu. Sebuah definisi dapat tetap disebut refortif meskipun menguraikan istilah teknis dan khusus yang umumnya hanya dipahami oleh kalangan tertentu. Dalam mendefinisi sebuah konsep, kita menyatakan ciri-ciri pokok yang harus dimiliki oleh sesuatu agar dapat menjadi contoh bagi konsep yang dimaksud.

Ada sebuah cara sederhana untuk menilai memadai tidaknya suatu definisi refortif, yaitu “contoh-balik”. Contoh ini adalah sebuah fakta yang dianggap membuktikan kesalahan suatu klaim, dalam hal ini klaim definisi.

• Definisi reformatif bertujuan memperbaiki definisi yang sudah ada, dengan maksud memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai makna dari konsep yang dipersoalkan. Orang yang mengajukan definisi reformatif tidak terlalu mempedulikan bagaimana pemahaman orang lain, melainkan lebih menekankan kebenaran persoalannya. Namun, soal benarnya definisi tersebut harus diuji berdasarkan alasan-alasan yang diajukan. Kadangkala definisi reformatif hanya lebih menekankan salah satu makna yang lain.

• Definini stipulatif adalah definisi yang tidak sekedar memberikan makna yang sudah ada ataupun mencoba memperbaikinya, melainkan memberikan makna pada suatu istilah yang baru pertama kalinya diperkenalkan atau memberikan makna baru bagi suatu istilah lama. Secara umum, kita tidak dapat secara langsung mendukung ataupun menentang sebuah definisi stipulatif, selain memastikan apakah definisi itu menyampaikan maksud pengarangnya dengan jelas, karena memang tidak ada patokan untuk menguji sejauh mana definisi ini memadai atau tidak. Definisi ini tidak benar atau salah. Ia harus dilihat, seringkali dalam konteknya yang utuh, lebih sebagai suatu usulan yang mungkin memiliki kegunaan tertentu.

C. Kesimpulan
Dalam pencarian kebenaran metode ilmiah bukanlah satu-satunya, tetapi juga bisa menggunakan cara-cara penelusuran dan pertimbangan rasional lainnya”. Namun jangan bersikap seperti melihat seekor macan di hutan yang sedang kelaparan, tetapi perlakukan seperti seorang sahabat baik, bacalah hingga mendapat gambaran umum untuk memahami butir-butir pokoknya, tentu juga dengan bimbingan orang lain yang sudah akrab bergaul dengannya. Asalkan tidak berharap untuk sukses secara instan dalam strategi berpikir kritis. Pertama-tama, bacalah hingga mendapat gambaran umum mengenai butir-butir pokoknya. Kemudian diperlukan juga seorang pembimbing dan jangan berharap untuk sukses secara instan dalam strategi berpikir kritis. Karena bagian ini hanya sebagai langkah awal yang membantu dalam berfilsafat.

Sebelum berfilsafat, ada empat sikap batin yang perlu diperhatikan untuk mendukung komunikasi secara aktif: memiliki keberanian untuk menguji secara kritis hal-hal yang kita yakini; bersedia membuat hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal terhadap perntayaan filsafat; bertujuan untuk mencari kebenaran di atas kepuasan karena “menang” atau kecewa karena “kalah” dalam perdebatan serta mampu memisahkan kepribadian seseorang dari materi diskusi.

Berfilsafat merupakan keterampilan yang harus dikembangkan dengan praktik, membiasakan diri berpikir kritis sehingga tidak menjadi “tangan kedua”. Ia tidak berpegang pada pendapat sendiri; tidak mencampuradukan antara berfilsafat secara produktif dan praktik psikologi; filsafat memiliki dua sisi, yang kritis dan konstruktif. Adalah penting untuk diperhatikan juga sebagai langkah awal berfilsafat bahwa dalam menanggapi klaim-klaim filsafat dengan membiarkan argumentasi kita yang berbicara.

Dalam berfilsafat kita tidak bisa memberkan penilaian yang sama kepada karya seni dan hipotesis ilmiah. Oleh sebab itu, seperti telah dijelaskan di atas, bahwa klaim seperti apa yang diajukan, yang diantaranya mencakup klaim empiris: pengetahuan mencakup keyakinan-keyakinan yang mana kebenaran dan kesalahannya dibuktikan berdasarkan pengalaman; klaim apriori: kebenaran dan kesalahannya tidak ditentukan oleh pengalaman atau eksperimen, melainkan hanya dapat diketahui dengan rasio atau intuisi intelektual; dan klaim normatif adalah klaim yang pada hakikatnya mengariskan apa yang seharusnya, bukan sekedar apa yang diyakini.

Yang terakhir adalah memperhatikan kata-kata kunci seperti: Contoh model yang dapat berperan strategis dalam upaya menjernihkan suatu pengertian; Contoh perbatasan yang digunakan untuk menegaskan batas-batas kemungkinan penerapan sebuah konsep. Yang terakhir adalah menguji definisi-definisi demi kebenaran baki itu definisi refortif yang menyatakan makna suatu konsep menurut pemakaiannya dalam bahasa kita, selanjutnya definisi reformatif yang bertujuan memperbaiki definisi yang sudah ada, dengan maksud memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai makna dari konsep yang dipersoalkan , dan definini stipulatif yaitu definisi yang tidak sekedar memberikan makna yang sudah ada ataupun mencoba memperbaikinya, melainkan memberikan makna pada suatu istilah yang baru pertama kalinya diperkenalkan atau memberikan makna baru bagi suatu istilah lama.

Keterampilan dan pemahaman kita akan berkembang ketika membiasakan diri dengan berlatih dalam menerapkan dan mengajikan pertanyaan-pertanyaan kritis pada persoalan-persoalan tertentu demi sebuah kebenaran itu sendiri.

“Yesus Pelaku Kasih Yang Radikal” Matius 12:1-21

Oleh: Sugiman
Pengantar
Secara umum para ahli tafsir PB mengatakan, bahwa Injil Matius ditulis sekitar tahun 80-an M (abad pertama) di Antiokhia-Siria. Artinya sesudah Bait Allah di Yerusalem dihancurkan oleh tentara Romawi pada tahun 70 M. Saat itu banyak orang Yahudi yang meninggal akibat peperangan pada masa itu. Hancurnya Bait Allah di Yerusalem berarti hancurnya pusat kehidupan religius, sosial, politik dan ekonomi orang Yahudi. Jika tahun 80-an, berarti jemaat Kristen telah berdiri sekitar 50 tahun setelah kematian Yesus dan sekitar 10/15 tahun setelah Yerusalem dihancurkan. Berkuasanya kerajaan Yunani-Romawi, menjadikan hidup orang Kristen-Yahudi menderita. Hare dalam bukunya “Jewish Presecution Of Christian” mengatakan bahwa orang Kristen saat itu mengalami penganiayaan dari bangsa-bangsa lain. Mungkin inilah yang menyebabkan penulis Matius mengutip pernyataan Yesus ketika mengecam beberapa kota (lht. 11:20-24). Kehidupan orang Kristen-Yahudi saat itu membentuk kelompok-kelompok untuk bisa bertahan hidup. Perhatikan ungkapan “marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (11:28). Ungkapan ini memperlihatkan betapa menderitanya orang Kristen saat itu, namun serentak dengan itu penulis juga memperlihatkan kepedulian dan belaskasihan Yesus kepada semua orang. Masalah lain yang dihadapi oleh orang Kristen-Yahudi adalah mengenai penganiayan yang tersebar luas denagn memanfaatkan kesempatan ini. Kelompok orang-orang Yahudi yang masih hidup, terutama para pemimpin agama yang berhasil meloloskan diri, seperti ahli-ahli Taurat yang mulai membedakan secara tajam aliran yang benar dan yang sesat termasuk di antaranya adalah orang Farisi. Atau yang biasa disebut kelompok “Law Observant”. Inilah yang melatarbelakangi penulis Matius mengangkat masalah pertentangan antara Yesus dan orang Farisi atau penolakan orang Farisi terhadap Yesus. Namun di sisi yang lebih khusus adalah Matius ingin memperlihatkan bahwa Yesus adalah pelaku kasih yang radikal. Itu terbukti ketika kita memperhatikan ungkapan berbahagia dalam khotbah di bukit, muzijat-muzijat yang dilakukan Yesus, pengutusan para murid, kecaman atas beberapa kota, ajakan kepada mereka yang letih lesu dan berbeban berat serta perkataan-Nya bahwa “Manusia jauh lebih berharga dari pada domba” (12:12). Oleh sebab itu, saya memberi tema Matius 12:1-21 adalah “Yesus Pelaku Kasih Yang Radikal”.

Pembahasan Teks Matius 12:1-21
Teks Matius 12:1-21 pastilah sebuah respons atau reaksi dari mereka yang merasa tersaingi dan yang tidak suka pada pengajaran dan perbuatan Yesus. Perhatikan kalau orang bersaing apapun caranya pasti dilakukan. Jika hanya sebatas bersaing secara sportif untuk mencapai sesuatu demi kebaikan itu adalah wajar. Namun persaingan akan menjadi tidak wajar jika disertai maksud negatif untuk mencelakakan orang lain. Tetapi yang lebih berbahaya adalah ketika seseorang merasa tersaingi. Kenapa? Karena mereka yang merasa tersaingi biasanya mengalami konflik dengan dirinya-sendiri atau tidak bisa menerima dirinya-sendiri.
Dalam bagian ini penulis Matius memperlihatkan sebuah perdebatan panjang antara Yesus dan orang Farisi tentang hari. Perdebatan ini tentu sangat panjang, paling tidak ada 3 setting (tempat) yang berbeda dalam teks ini, yaitu di di ladang Gandum (12:1-8), di Bait Allah (12:9-15a) dan di luar Bait Allah (12:15b-21). Maka teks ini juga dibagi dalam 3 bagian:
1. Ayat 1-8 : berisi perdebatan Yesus dan orang Farisi tentang perbuatan murid - murid-Nya pada hari Sabat.
2. Ayat 9-15a : mengenai boleh tidaknya menyembuhkan orang pada hari Sabat dan rencana kejahatan orang Farisi pada Yesus.
3. Ayat 15b-21 : respons orang banyak terhadap pengajaran Yesus dan penjelasan mengenai Yesus yang disejajarkan dengan Hamba Tuhan yang ada dalam Yesaya 42:1-4.

1. Matius 12:1-8
Dalam ayat 3 dan 5 kita menemukan frasa “tidakkah kamu baca”. Frasa ini mengindikasikan, bahwa bagi Yesus orang Farisi tidak mengerti isi hari Sabat yang sebenarnya. Tidak mengerti dalam arti tidak melakukan Sabat itu sendiri. Sehingga tidak menutup kemungkinan jika hari Sabat sering dibebankan hanya kepada orang lemah saja, makanya belas kasihan terabaikan. Hari Sabat yang adalah anugerah yang kudus yang diberikan Allah, namun diubah oleh ahli-ahli Taurat dan orang Farisi sehingga menjadi suatu tugas yang berat. H. Danby dalam bukunya “The Misnah” mengatakan ada 39 macam pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat, salah satunya adalah memetik Gandum seperti yang dilakukan oleh murid-murid Yesus. Yesus menjawab kritikan orang Farisi dengan mengutip dua cerita yang cukup kuno, yaitu tentang Daud bersama pasukannya yang sedang kelaparan dan makan roti meja sajian yang sebenarnya tidak boleh dimakan. Tetapi karena mereka sangat kelaparan sehingga dimakan (lht. (1 Sam. 21). Cerita ini Matius kutip dari Mark, tetapi Matius menghilangkan nama Imam Agung Abyatar dari cerita Mark 2:26 yang adalah Abimelekh. Kemudian kutipan cerita kedua yang tidak ada dalam Markus tentang imam-imam yang bekerja di Bait Allah pada hari Sabat namun tidak bersalah. Kedua cerita yang dikutip Yesus sebagai alasan yang sangat kuat untuk mebenarkan dan menyamakan perbuatan murid-murid-Nya dengan Daud dan imam-imam. Bagi Yesus, jika Daud beserta rombongan dan para imam boleh, mengapa Dia tidak?
Dalam ayat 6 Yesus mengatakan bahwa “ada yang melebihi Bait Allah”. Sekarang kita mau melihat seberapa penting Bait Allah bagi orang Israel? Bait Allah adalah melambangkan kehadiran Allah ditengah-tengah umat-Nya. Oleh sebab itu, ketika Bait Allah dihancurkan, maka kehidupan religius, sosial, politik dan ekonomi mereka juga hancur, sehingga tidak heran banyak orang yang putus harapan. Di Bait Allah mereka mendengarkan Firman Allah, mereka berkumpul, mempersembahkan segala bentuk korban persembahan dan di sana juga mereka bisa berdoa, beribadah untuk berkomunikasi dengan Allah. Sehingga ketika Yesus mengatakan bahwa diri-Nya melebihi Bait Allah, maka sebenarnya Yesus ingin mengatakan Allah hadir di dalam Dia, tetapi kenapa kamu tidak mau mendengarkan Aku? Sangat sulit untuk diterima bagi orang Yahudi. Yang ada hanya Yesus dianggap sebagai pemberontak. Yesus mengatakan kepada mereka, “jika memang kamu mengerti maksud Firman tentu kamu tidak mengabaikan “Belas kasihan dan bukan persembahan” (12: 7).
Kemudian ayat 8 Yesus mengatakan bahwa “Anak Manusia adalah Tuhan atas hati Sabat”. Dalam PL sebutan “Anak Manusia” disebut Ben-Adam yang paralel dengan Bar-nasya dalam bahasa Aram, yang biasa digunakan untuk orang dan bukan untuk gelar. Biasanya bila seorang guru yang ingin bercerita memulainya dengan “ada seorang anak manusia”. Itu mengindikasikan, bahwa Yesus menggunakan sebutan “Anak Manusia” tidak sebagai gelar melainkan untuk menunjukan bahwa Ia lebih manusiawi. E.F. Scott dalam bukunya “The Kingdom And The Messiah” mengatakan bahwa sebutan “Anak Manusia” yang digunakan Yesus bertujuan untuk menyatakan bahwa Diri-Nya adalah wakil seantero manusia, kerena di dalam Dia-lah manusia menemukan puncak atau model yang sempurna, baik sebagai pelaku kasih maupun sebagai manusia sejati. Selain itu “Anak Manusia” juga memperlihatkan bahwa Yesus memahami, merasakan apa yang dirasakan oleh manusia.
Selanjutnya frasa “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” juga memperlihatkan bahwa Yesus tidak tergantung pada hari Sabat, karena di dalam hidup Yesuslah esensi dari Sabat. Jika demikian apa sebenarnya hari sabat itu dan bagaimana umat Israel memahaminya dalam PL? Dan apa yang dirayakan mereka pada hari Sabat? Bagi orang Israel hari Sabat adalah hari perhentian yang dikhususkan atau dikuduskan Allah. Karena itu, hari yang khusus atau dikuduskan maka Sabat harus dirayakan pada hari itu juga dan tidak pada hari lain. Pada masa pembuangan dan sesudah pembuangan, hari Sabat merupakan salah satu ciri atau karakter penting dari agama Yahudi. Yang dirayakan pada hari itu adalah sebuah anugerah Allah, yaitu kehidupan, kesukacitaan, kemerdekaan, kebebasan dari segala bentuk eksploitasi baik yang bersifat eksploitasi kemanusiaan; eksploitasi ekonomis dan sebagainya. Pada hari Sabat itulah umat mengalami sebagian dari kesukaan sorgawi, kehadiran kerajaan Allah dan kehidupan zaman mesianis yang sempurna. Oleh sebab itu, dalam teologi Yahudi hari Sabat merupakan 1/20 dari zaman mesianis. Pada hari itu umat Allah harus memakai pakaian pesta sebagaimana seseorang menyambut kedatangan seorang pengantin. Serta pada hari itu juga umat Allah harus makan manna-makanan yang lezat. Pada hari itu seseorang tidak boleh menindas dan membunuh apapun. Karena itu yang dirayakan bukan hari itu sendiri, melainkan isi dari hari itu. Kesukaan, kehidupan, kemerdekaan dan kedamaian sorgawi yang dirayakan pada hari Sabat itu diharapkan berkelanjutan pada hari-hari yang lain. Karena itu Yesus mengatakan “Anak Manusia adalah Tuhan atas hati Sabat”. Artinya Yesus ingin mengatakan bahwa Akulah Sabat itu dan inti Sabat itu ada pada pemberitaan, kehidupan, perbuatan, kematian dan kebangkitan Yesus. Yang paling penting bagaimana orang menghayati isi dan makna Sabat itu dalam kehidupan sehari-harinya.

2. Matius 12:9-15a
Dalam bagian yang kedua ini terjadi perubahan suasana, yaitu yang tadinya di ladang gandum menjadi di Bair Allah. Suasana di ladang dengan gandum ke Bait Allah pastilah bukan terjadi pada hari itu juga. Dari mana kita tahu? Lukas 6:6 memberi informasi bahwa Yesus masuk di Bait Allah di sini adalah pada hari Sabat yang lain. Dengan demikian, berarti teks ini mengalami pemadatan, yang seharusnya terjadi dalam beberapa hari kemudian dipadatkan seperti kejadian dalam satu hari oleh penulis Matius. Pertanyaan orang Farisi kepada Yesus adalah bersifat jebakan, yaitu dengan satu tujuan untuk mempersalahkan Dia, dari frasa itu, kata yang digunakan “kategorezosin” yang juga berarti menuduh. Artinya pertanyaan yang disengaja untuk untuk menuduh Yesus. Pada masa sekarang ini juga tidak sedikit orang yang suka mencari-cari kelemahan, kekurangan orang lain untuk menjatuhkan dia. Jadi siapa yang suka mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain untuk menjatuhkan dia, maka itulah model orang Farisi moderen. Yesus mengungkapkan pernyataan yang sangat radikal kepada orang Farisi dalam ayat 12, “Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba”? Artinya jika binatang saja kita kasihani, mengapa engkau tidak bisa mengasihi sesamamu manusia.

3. Matius 12:15b-21
Setelah Yesus menyembuhkan tangan orang yang mati sebelah, penulis Matius mengatakan “banyak orang yang mengikuti Yesus”. Tetapi mengapa Yesus melarang dengan keras memberitahukan siapa Dia, (Matius 12:16). Kemungkinan, supaya banyak orang tidak percaya berdasarkan apa kata orang, tetapi mengenal dan menemui Dia secara pribadi. Kemudian dilanjutkan pada ayat yang ke 17: “supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya”. Perhatikan frasa “supaya genaplah” kata yang digunakan adalah “plerote” dari kata “plero, yang berarti memenuhi, mengisi atau membuat penuh”. Kata ini muncul sebanyak 16 kali dalam Injil ini. Jika kita melihat bentuk dari kata “plerote” itu sendiri adalah bentuk pasif, maka terjemahnnya adalah dipenuhi, digenapi atau dibuat penuh. Oleh siapa? Oleh Allah di dalam diri Yesus. Penulis Matius menempatkan Yesus sebagai bukti pengenapan atas janji-janji atau nubuat para Nabi dalam Perjanjian Lama. Penulis Matius menyamakan keberadaan Yesus sebagai hamba Tuhan yang digambarkan dalam Yesaya 42:1-4. Pada bagian ini sangat jelas dasar atau landasan kasih yang radikal yang dilakukan oleh Yesus adalah kasih Bapa-Nya. Ayat 18-21 ingin mengambarkan kasih Allah yang sangat besar kepada umat-Nya, maka penulis Matius mengutip perkataan Yesaya untuk memperlihatkan kasih Yesus adalah bersifat radikal, sama dengan kasih “hamba Tuhan” yang tertulis dalam Yesaya 42:1-4. Kasih-Nya yang tidak ada batasnya kepada semua orang. Dikatakan pada ayat yang ke 20, “buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya. Ini menunjukan betapa besar kasih Yesus kepada manusia, bahkan mereka yang diasingkan, dikucilkan, ditindas, dianiaya dan bahkan yang hampir mati pun diterima-Nya dengan kasih. Kenapa? Karena manusia berharga di mata-Nya, Yesus mengatakan bukankah manusia lebih berharga dari pada domba?. Dengan demikian ayat yang ke 21 menutupnya, bahwa pada-Nyalah bangsa-bangsa akan bergarap.

Kesimpulan:
Kasih memperbaiki pemahaman yang keliru seperti pemahaman orang Farisi yang diperbaiki Yesus; kasih itu tidak takut terhadap ketidak benaran, kasih itu tidak mencari-cari kesalahan, kelemahan dan kekurangan orang lain untuk menjatuhkannya, dan kasih juga mengubah titik menjadi koma. Apa yang tidak mungkin, menjadi mungkin karena kasih. Kasih inilah yang dilakukan Yesus, karena manusia berharga di mata-Nya. Pertanyaannya bagaimana dengan kita? Apakah kita salah satu dari orang Farisi itu, yang suka atau sengaja mencari-cari kesalahan, kelemahan atau kekurangan otang lain untuk menjatuhkan dia? Maka jawablah dalam hati kita Amin..................