Jumat, 02 Juli 2010

PERANAN AJARAN DAN PELAYANAN DALAM KEESAAN GEREJA

Dalam doa-Nya Yesus tidak hanya memperlihatkan sebuh teladan, tetapi lebih jauh supaya para murid hidup bersekutu dengan semua orang. Seluruh hidup, ajaran dan karya-Nya difokuskan untuk melayani semua orang. Artinya, ajaran dan pelayanan harus memberikan efek dan dampak yang membawa persekutuan, damai sejahtera, hidup dalam keadilan dan kebenaran, terlebih supaya umat Tuhan dan gereja-Nya hidup dalam kesatuan di dalam kasih-Nya. Maka dalam paper ini berusa menjawab sebuah pertanyaan besar tersebut, yaitu “Peranan Ajaran dan Pelayanan Dalam Kesaan Gereja”.

Pembahasan
1. Pentingnya memahami ajaran dan pelayanan Tuhan Yesus
a). Ajaran Tuhan Yesus
Dalam PL yang diterjemahkan dengan “ajaran” adalah dari kata leqakh artinya, yang diterima. Dalam bahasa Inggris : “teaching” (Ul 32:2); gift of persuasion (Ams 7:21); dan insight (Yes 29:24). Dalam PB ada dua kata yang diterjemahkan “ajaran” adalah “didaskalia” dan “didache”, yang artinya mencakup bagi pekerjaan pengajar, maupun isi dari ajaran itu sendiri. Dalam pengajaran Tuhan Yesus, Dia selalu menggunakan “didache”, yang mana Yesus tidak hanya mengajar, tetapi juga melakukannya dengan setia. Penulis Yohanes mengatakan bahwa ajaran Yesus itu berasal dari Allah (Yoh 7:16-17).

b). Pelayanan Tuhan Yesus
Dalam PB ada empat istilah yang diterjemahkan: “pelayanan atau melayani” : “diakoneo”, “douleo”, “leitourgeo”, dan “latreuo”. (a). “Diakoneo” artinya menyediakan makanan di meja untuk majikan. (b). “Douleo” artinya pekerjaan yang dilakukan oleh seorang hamba (budak) atau “doulos”. (c). “Leitourgeo” artinya bekerja untuk kepentingan rakyat atau kepentingan umum. Penulis surat Ibrani menyebut Yesus sebagai “leitourgos” (Ibr 8:2). Oleh sebab itu, kita dituntut untuk menjadi “leitourgia” atau menjadi pelayan bagi semua orang (Flp 2). (d). “Latreuo” artinya pemujaan kepada Allah atau “religious service, dan worship (of God)”. Penggunaan yang sangat mencolok adalah dalam Roma 12:1, yaitu di mana Paulus berpesan kepada jemaat di Roma supaya mempersembahkan tubuh kita sebagai yang logikh.n latrei,an artinya “persembahan yang pantas”. Artinya, melayani berarti menyangkut sebuah “kualitas”.

Yesus dalam hidup, ajaran dan karya Yesus telah memperlihatkan sebuah kualitas pelayanan tertinggi yang dikerjakan untuk Bapa yang mengutus-Nya. Oleh sebab itu, melayani semua orang adalah fukus utama bagi Yesus. Penulis Injil Matius dan Markus sangat jelas mencatat dan mengemukakan moto hidup Yesus, yaitu “Anak Manusia datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mat 20:28 dan Mrk 10:45). Demikian juga dengan penulis Injil Yohanes menuliskan mengenai doa Tuhan Yesus yang merindukan supaya semua orang hidup dalam kesatuan dan bersekutu sama seperti Dia dan Bapa adalah satu (Yoh 17:22). Doa Tuhan Yesus tidak hanya berhenti ketika mereka bersatu, tetapi lebih jauh lagi, yaitu “di mana Dia berada di situ juga mereka ada bersama-sama dengan Dia, dan itulah eksistensi gereja yang ideal (17:24). Abineno menyebut eksistensi itu sebagai ciri-ciri dan norma-norma lain yang menentukan keberadaan gereja di dunia yang majemuk. Misi Yesus jelas, yaitu untuk mepersatukan umat-Nya, bahkan Dia rela mati di kayu salib untuk semuanya itu. Sungguh sangat mahal harga sebuah tugas dan tanggung jawab untuk kesatuan. Gereja mula-mula di abad pertama memahami dengan sangat kompleks antara “ajaran” dan “melayani”. Mereka menyadari bahwa hidup yang melayani bukan adalah bukan lagi hidup untuk diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain juga, terlebih untuk Tuhan. Jadi jelas, bahwa pemahaman itu didasarkan pada hidup, pengajaran dan karya Yesus orang Nazaret itu. Dalam terang inilah Leonard Hale mengatakan, bahwa jika kita diringkaskan hidup, pengajaran dan karya Yesus hanya satu kata, yaitu MELAYANI. Gereja yang hidup adalah gereja yang melayani. John Stott menyebutkan bahwa paling sedikit ada empat ciri mengenai gereja yang hidup, yaitu “gereja yang belajar”, “gereja yang mengasihi”, “gereja yang beribadah”, dan “gereja yang memberitakan Injil”. Keempat ciri itu disebutnya sebagai pokok-pokok visi Allah untuk gereja-Nya. Apa maksudnya keempat ciri gereja yang hidup itu:?

a). Gereja yang belajar adalah gereja yang bertekun kepada pengajaran para rasul (Kis 2:42), kebenaran merupakan pokok utama yang dikerjakan sesuai pimpinan Roh Kudus. Roh Kudus adalah Roh Kebenaran, oleh sebab itu gereja harus tunduk di bawah pimpinan dan pengamatan Tuhan.
b). Gereja yang mengasihi adalah gereja yang bersekutu, sehingga dalam persekutuan itu orang percaya saling berbagi bersama, “segala kepunyaan mereka adalah kepunyaan bersama” (Kis 2:44-45). Kemurahan hati telah dan selalu menjadi ciri umat Allah.
c). Gereja yang beribadah adalah gereja yang melayani. Mereka bertekun untuk “memecahkan roti” dan berdoa bersama. Bahkan dikatakan, “mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah (Kis 2:46). Dan
d). Gereja yang memberitakan Injil adalah gereja yang tidak hanya duduk diam dalam rumah ibadah, berdoa dan mengasihi sesama saja, tetapi juga memberitakan Kabar Baik itu kepada semua orang atau bermisi untuk semua orang. Maka misi itu merupakan implikasi dari pendengaran, persekutuan dan ibadah dengan Tuhan.

Dari penjelasan di atas maka jelaslah, bahwa gereja tidak hanya untuk dirinya saja, tetapi gereja juga untuk orang lain. Dengan demikian, melalui pemberitaan atau ajaran dan pelayanan gereja memperlihatkan kemuliaan Kristus, dan bukan untuk organisasi, suku, ras bahasa yang cenderung mementingkan dirinya, tetapi milik semua orang sebagai ciptaan Allah. Artinya, gereja bukanlah rencana ilahi tambahan, dan gereja juga bukan kecelakaan sejarah. Tetapi gereja adalah komunitas baru milik Allah. Gereja tidak kurang dari tubuh Kristus, karena gereja adalah umat Allah, yang telah dan sedang dibentuk Allah dan melalui pembentukan itu Allah bertindak sepanjang sejarah untuk mencapai rencana-Nya, yaitu semua umat manusia dipersatukan di dalam terang kasih-Nya. Jika gereja tidak mengikuti jejak-jejak Yesus, yaitu melayani semua orang, maka gereja itu adalah mati dan tidak ada artinya selain dipotong (bnd. cerita Yesus adalah Pokok Anggur yang benar Yoh 15).

2. Pentingnya Sejarah Gerakan Oikumenis
Harus kita diakui, bahwa sejarah juga adalah bagian yang sangat penting untuk dipertimbangkan sebelum maju menuju kepada keesaan gereja. Fungsi sejarah di sini adalah sebagai batu loncatan, yaitu menjadikan kegagalan-kegagalan yang telah lewat, yang telah dialami bersama sebagai guru yang mendidik untuk menjadi lebih baik. Dengan kata lain tidak mengulangi kesalahan-kesalahan sama, tetapi biarlah kita maju satu langkah dari pengalaman sejarah yang sedikit banyak, tanpa disadari atau tidak semuanya itu memberikan metode-metode untuk mengatasi masalah-masalah yang sama, yang akan mengagalkan terjadinya keesaan gereja. Namun, sejarah menjadi juga tidak akan berguna jika tidak membicarakan pengalaman atau penghayatan iman. Oleh sebab itu, pada bagian ini kita akan melihat terlebih dahulu ke masa lampau untuk dipelajari sebelum tergesa-gesa melangkahkan kaki untuk menuju keesaan yang lebih baik.

Christian De Jonge mengatakan, bahwa pada zaman reformasi gereja Katolik-Roma pertama kali diperhadapkan dengan ancaman perpecahan secara besar-besaran, yaitu sejak skhisma dengan gereja Ortodoks Yunani tahun 1054. Kemudian berbagai usaha dilakukan untuk mencari titik temu, yang didorong oleh pertimbangan-pertimbangan politik demi kesatuan kaum Kristen terhadap ancaman Turki. Usaha-usaha ini menghasilkan pembicaraan-pembicaraan agama di Leipzig (1539), Hagenau (1540), Worms (1540), dan Regensburg (1541) di wilayah kekaisaran Jerman dan colloquium di Poissy (1561 di Prancis, tetapi persatuan tidak tercapai, dan usaha-usaha ini berlanjut sampai abad ke-17 dan ke-18. Adapun usaha-usaha itu: pertama, mencari titik temu dalam warisan gereja kuno, dan yang kedua adalah untuk merumuskan semacam daftar pasal-pasal iman yang dianggap azasi untuk iman Kristen, yang harus diterima secara mutlak, sedangkan pasal-pasal iman yang dianggap tidak azasi tidak boleh menjadi alasan untuk perpecahan orang-orang Kristen. Tetapi kedua cara itu pun gagal, karena yang pertama dianggap terlalu intelektualitas dan yang kedua gereja-gereja belum matang.

Tidak berhenti sampai di situ, tetapi terus dicari titik temu untuk mempersatukan gereja-gereja. Di Edinburgh didirikan International Missionary Councili dan bergabung dengan Dewan Gereja-gereja sedunia, yang dibicarakan adalah mengenai hubungan gereja muda dan gereja tua. Sehingga Gereja-gereja tua dan gereja-gereja muda mulai saling mengakui sebagai “partners in obedience”, yang sama-sama berhadapan dengan tugas mengabarkan Injil di seluruh dunia. Dalam hal inilah gereja-gereja tua dan gereja muda semakin menyadari bahwa mereka sama-sama bagian dari gereja oikumenis, gereja sedunia dan diperhadapkan dengan tugas yang sama, yaitu mengabarkan berita pengharapan kepada seluruh dunia. Demikian juga dengan gerakan Faith And Order (1910-1937) di Edinburgh juga untuk membicarakan soal-soal yang dihadapi bersama di bidang pekabaran Injil. Semua hal yang mempersulit pembicaraan ini dihindari, seperti tentang iman dan tata gereja, hal-hal yang membedakan gereja-gereja. Tujuannya adalah untuk menuju kepada keesaan gereja. Demikian juga dengan peranan dari Gerakan Life And Work tahun 1919-1937, yang tidak kalah pentingnya dalam usaha menuju keesaan gereja . Dari penjelasan di atas, maka gereja jangan melupakan tahapan-tahapan yang dilakukan di masa lampau, tetapi biarlah gereja bisa belajar untuk melangkah selangkah lebih maju dari apa yang dialami di belakang. Sehingga semakin hari, gereja semakin memenuhi tuntutan Tuhan Yesus dalam doa-Nya, yang menginginkan gereja-gereja-Nya menjadi satu (lih. Yoh 17:21).

3. Pentingnya keesaan gereja
Rasul Paulus menggambarkan hakikat dari kesatuan gereja adalah sama seperti tubuh manusia yang terdiri atas banyak anggota, tetapi saling mendukung, menghargai, memahami dan menerima (1 Kor 12:12-31; Rm 12:3-8). Demikianlah hendaknya juga gereja-gereja sebagai anggota tubuh Kristus. Gereja adalah persekutuan orang percaya dan Kristus sendiri yang menjadi kepalanya. Penekanan kepada “persekutuan” mangandung nilai persekutuan anggota dari satu tubuh, baik pada tingkat lokal maupun universal. Frasa “tubuh Kristus” nampak dalam kesatuan yang serba berbeda, namun dalam manifestasinya bahwa kepelbagaian itu justru merupakan kekuatan dan kekayaan Allah. Dalam hal ini Eddy Paimoen mengatakan, bahwa “kesatuan dalam kepelbagaian dan dan kepelbagaian dalam kesatuan”, menunjukkan keberadaan yang satu tidak terpisahkan dari yang lain, meskipun saling berbeda. Perbedaan posisi dan tugas dalam tubuh Kristus akan menyebabkan saling kebergantungan dari seluruh anggota tubuh. Maka, jika keberadaan dari tubuh Kristus yang berbeda, bila dapat berfungsi sesuai dengan keberadaannya akan menimbulkan interaksi timbal balik yang kondusif.
Abineno mengatakan, bahwa kesatuan gereja dan ajaran yang benar itu tidak bisa dilepaskan satu sama lain. hal itu menjadi jelas jika kita kaitkan dengan doa Tuhan Yesus yang menginginkan adanya kesatuan murid-murid yang menyatakan dirinya dalam ketaatan Anak kepada Bapa. Demikian juga dengan kesatuan gereja, yaitu seberapa jauh mereka melakukan apa yang Bapa dan Anak perintahkan kepada mereka (lih. Abineno, Oikumene, 1984: 17-18; bnd. Yoh 17:17-23). Dalam Lima Dokumen Keesaan Gereja menagaskan, bahwa keesaan berarti membaharui, membangun dan mempersatukan gereja. Mengapa membaharui, membangun, dan mempersatukan gereja itu penting?:

a). Karena perintah Tuhan Yesus, bahkan Dia mendoakan umat-Nya supaya bersatu sama seperti Dia dan Bapa adalah satu (Yoh 17:21).
b). Untuk membentuk gereja Kristen yang Esa, terutama gereja-gereja yang ada di Indonesia, dan itu merupakan bagian dari tugas dan panggilan gereja yang harus dijalankan untuk melihat seluruh Indonesia sebagai satu wilayah kesaksian dan pelayanan bersama.
c). Untuk membangun suatu persekutuan harmonis yang diperbaharui. Iman tercermin dalam kasih dan solidaritas kemanusiaan, menuju kesatuan dan persatuan.
d). Untuk membangun sebuah persekutuan yang saling topang-menopang; untuk meruntuhkan tembok-tembok pemisah dan dinding penyekat buatan manusia yang didasarkan atas perbedaan kelamin, kelas, sosial-ekonomi, ras suku, bahasa dan asal; membebaskan diri dari keterbatasan-keterbatasan lingkungan masing-masing dan bersama-sama memasuki konteks yang baru sehingga gereja juga bisa bertumbuh sesuai dengan perkembangan zaman.
e). Untuk menghindarkan gereja dari bahaya keterpencilan dan bahaya ikut-ikutan bagi gereja-gereja di tengah-tengah arus pembangunan negara dan bangsa yang selalu berubah-ubah. Oleh sebab itu, membaharui, membangun dan mempersatukan dirinya di bawah bimbingan Roh Kudus.

4. Arti membarui, membangun, dan mempersatukan gereja
Membarui, membangun dan mempersatukan gereja, berarti: pertama-tama, menguji keadaan gereja, termasuk bentuk-bentuk pengungkapan ibadahnya, dan seluruh warganya di bawah bimbingan Roh Kudus, untuk melihat sampai di mana keadaan gereja itu sesuai atau tidak sesuai dengan kehendak Tuhan bagi gereja seperti yang diungkapkan dalam Firman Allah; dan sekaligus menilai sampai di mana keadaan gereja itu sepadan atau tidak dengan tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Selanjutnya, yaitu mengupayakan secara realistis dengan pimpinan kuasa Roh Kudus tentang pembaharuan-pembaharuan dan pertumbuhan agar keadaan gereja menjadi lebih sesuai dengan kehendak Tuhan seperti yang diungkapkan dalam Firman Tuhan dan menjadi lebih sepadan dengan tugas panggilan bersama yang dihadapi oleh gereja-gereja di tengah-tengah masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang sedang membangun. Untuk lebih spesifik lagi dalam memahaminya, mari kita menguraikannya secara lebih mendalam:
(a). Membarui gereja adalah tugas panggilan orang-orang percaya yang terus-menerus. Karena bagaimana pun, sebagai tubuh yang hidup dari Kristus, gereja harus berusaha menempatkan diri di bawah sorotan Firman Tuhan, atau sama dengan seseorag yang selalu bersedia mengadakan pertobatan di bawah terang Firman Tuhan. Selanjutnya kita tahu, bahwa gereja juga terlibat dalam perkembangan sejarah, baik sejarah gereja itu sendiri maupun sejarah bangsa Indonesia, bangsa-bangsa lain. Oleh sebab itu, gereja juga harus ikut membentuk sejarah itu, supaya tidak ditinggalkan oleh perkembangan sejarah. Hal lain lagi adalah bahwa gereja juga memuat pengertian pembaruan dalam pemikiran teologi, gaya hidup dan pola kelembagaan gereja secara kreatif dan terus-menerus, berada di bahawah bimbingan Roh Kudus.

(b). Membangun gereja pada dasarnya adalah memenuhi apa yang tertulis dalam Efesus 4:13-16, yaitu “pembangunan tubuh Kristus, yang di mana kita melewati sebuah proses untuk mencapai kesatuan iman dan pengetahuan yang benar tentang Anak Allah, kedewasaan penuh dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus, sehingga kita tidak lagi mudah diombang-ambingkan oleh ajaran-ajaran yang berkeliaran di sekeliling kita; oleh permainan palsu manusia yang berusaha menyesatkan karena kelicikan mereka, tetapi dengan teguh kita berpegang pada kebenaran di dalam kasih Kristus yang adalah kepala. (lih.1 Kor 12:12-31; Rm 12:3-8). Artinya, daripada-Nyalah seluruh tubuh, yang rapi tersusun dan diikat menjadi satu oleh pelayanan, yang melayani sesuai karunia-karunia yang dimiliki dan membangun diri dalam kasih Kristus. Membangun gereja sebagai “pertumbuhan Tubuh Kristus” tidak terbatas oleh budaya, tetapi nilai-nilai positif budaya, pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman modern juga untuk memperkuat dan tidak melemahkan gereja sebagai “Tubuh Kristus”. Dalam hal ini, kita harus memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap pertumbuhan gereja sebagai tahap untuk membangun gereja (Ef 4:15-16). Roh Kudus dapat memakai manusia sebagai alat-Nya melalui gereja yang terpanggil, yang menggunakan segala karunianya untuk terus bertumbuh dan membangun dirinya. Lima Dokumen Keesaan Gereja menuliskan lebih lanjut, bahwa pertumbuhan gereja pada hakikatnya bersifat ganda, yaitu intensif dan ekstensif. Intensif dalam arti peningkatan kualitas iman sehingga tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran palsu, permainan licik manusia yang berusaha menyesatkan (Ef 4:14). Dan ekstensif berarti pertumbuhan orang-orang percaya dan pertumbuhan gerek gereja dan jangkauan yang menyebar ke seluruh penjuru dunia (Kis 1:8). Ini berarti bahwa dalam rangka pembangunan dan pertumbuhan gereja, pembinaan seluruh warga gereja menjadi mutlak penting, sehingga tidak seorang pun yang terlupakan.

(c). Mempersatukan gereja berarti memenuhi doa Tuhan Yesus yang tertulis dalam Yohanes 17:21, yaitu menampakan keesaan yang telah ada dalam rencana Tuhan, sehingga dapat dilihat oleh dunia sebagai kesaksian. Dengan demikian, gereja-gereja yang ada di Indonesia harus mewujudkan keesaan. Misalnya bisa dimulai di kalangan kehidupan suku-suku dan daerah-daerah tertentu, kemudian mewujud-nyatakan keesaan itu, sehingga memperlihatkan sesuatu yang sangat berbeda dengan keesaan yang ditawarkan oleh dunia. dengan kata lain, bahwa keesaan gereja tidak sama dengan keesaan dunia. keesaan gereja adalah keesaan yang sama seprti keesaan Allah dalam Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Artinya, ada sebuah persekutuan, pelayanan dan kasih yang harmonis. Dengan demikian, gereja bisa memahami dan menjalankan tugas panggilan bersama, dan menempatkan segala anugerah dan karunia yang telah diterima dari Tuhan di dalam kerangka keesaan yang lebih besar sebagai kesaksian di tengah-tengah bangsa Indonesia. Artinya, di dalam kerangka itu ada jaminan di mana keanekaragaman bisa bersatu di dalam kasih-Nya. Tugas dan panggilan gereja untuk mempersatukan gereja-gereja di Indonesia biasanya menggunakan pendekatan yang lahir dari pergumulan situasi kita di Indonesia, seperti: (1). Identitas masing-masing tetap di hormati, tetapi yang lebih pentingdan utama adalah dilihat sebagai identidas bersama sebagai gereja Kristen yang tinggal dan bersekutu di dalam Kristus; (2). Setiap gereja pasti memiliki sejarahnya masing-masing, oleh sebab itu setiap gereja harus menghormatinya. Tetapi yang lebih utama adalah kits mrlihatnya sebagai sejarah bersama; (3). Selanjutnya, tugas panggilan masing-masing gereja, juga tetap harus saling menghormati antara gereja yang satu dengan yang lainnya. Tetapi yang lebih penting dan utama adalah bagaimana kita melihat semuanya itu sebagai tugas panggilan bersama (4). Demikian juga dengan kewenangan untuk mengatur hidup masing-masing tetap dihormati, tetapi dilihat sebagai kewenangan bersama untuk mengatur kehidupan bersama; (5). Terakhir adalah tentang pengembangan teologi, daya dan dana dalam rangka tugas panggilan masing-masing tetap dihormati, tetapi semuanya itu juga harus dilihat sebagai tugas panggilan bersama di seluruh Indonesia. Dari kelima hal di atas secara konkret dan terungkap dalam kebersamaan di tingkat lokal dan wilayah. Dalam terang inilah, Lima Dokumen Keesaan Gereja menyatakan, bahwa pentingnya peranan wilayah PGI-Setempat dalam proses mempersatukan gereja-gereja yang ada di Indonesia. Tentu tidak terlepas dari landasan kesatuan bangsa dan negara Indonesia, yaitu Pancasila dan UUD 1945, yang mencamin kesatuan, kedamaian, kesejahteraan dan hidup berdampingan dengan orang lain.

Kesimpulan
Dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa gereja harus menjunjung tinggi Pemahaman Bersama tentang Iman Kristen:
(1). Tuhan Allah adalah Esa (Ul 6:4), tidak ada Allah selain Dia (Kel 20:3; Ul 5:7), yang berbicara kepada manusia baik melalui para nabi-Nya dan terlebih hadir di dalam Yesus Kristus (Ibr 1:1-2) dan Dia juga Allah yang Maha hadir melalui Roh Kudus-Nya, yang bekerja di dalam dunia dan di dalam gereja-Nya yang memerdekakan manusia dari hukum dosa hukuman maut (Rm 8:2; 2 Kor 3:17).
(2). Allah adalah pencipta Alam semesta, langit dan bumi serta segenap isinya, baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan, adalah milik dan ciptaan Allah (Kej 1-2; Maz 24:1-2; 89:12; Yes 44:24; Yer 27:5; Kol 1:16).
(3). Manusia diciptakan Allah menurut gambar atau citra-Nya (Kej 1:26-27), yaitu baik laki-laki maupun perempuan diciptakan-Nya dengan martabat yang sama (Kej 1:27), dan dikaruniai tugas atau mandat yang sama untuk beranak cucu dan memenuhi bumi serta menguasai, mengusahakan dan memelihara seluruh ciptaan-Nya (Kej 1:26-28). Manusia diciptakan Allah dalam kebebasan, sehingga dalam kekebasannya itu ia harus bertanggung jawab kepada Allah (Kej 2:16-17). Namun ternyata manusia menyalahgunakan kebebasannya, yaitu ingin menyamakan dirinya dengan Allah, sehingga membuat dia diusir dari Taman Eden karena pemberontakannya kepada Allah (Kej 3:1-7; 11:1-9). Tetapi Allah tetap mengasihi manusia, karena mereka adalah segambar dengan-Nya. Artinya Allah tidak mengkehendaki mereka binasa, melainkan supaya mereka diselamatkan (Yoh 3:16; bnd. Kej 6:8).
(4). Setiap gereja harus percaya, bahwa Allah tetap mengasihi manusia dan mengaruniakan keselamatan kepadanya, sehingga Dia rela memberikan Anak Tunggal-Nya untuk menebus manusia, yaitu Yesus Kristus (Yoh 3:16; Kis 16:31). Karena pelanggaran manusia manusialah Yesus mati di kayu salib, dan Dia telah mengangkat manusia kembali ketika Dia bangkit, sehingga manusia dibangkitkan dan dibenarkan di hadapan Allah (Rm 4:25). Sehingga kita melihat di sini, bahwa di Dalam Kristus Yesus Allah mewujudkan rencana penyelamatan-Nya (Ef 1:9-10).
(5). Karya penyelamatan Allah di dalam Yesus Kristus terhadap dunia dan segala isinya membuktikan “hadirnya Kerajaan Allah” (Mrk 1:15) yang akan mendapatkan pemenuhannya dalam “langit baru dan bumi baru” (2 Ptr 3:13; Why 21:1). Artinya, melalui kehadiran Kerajaan Allah itu juga kehidupan manusia telah diperbaharui, sehingga ia telah menjadi ciptaan yang baru, yang harus hidup secara baru pula.
(6). Setiap gereja harus percaya, bahwa kehadirannya di dalam dunia adalah sebagai alat untuk menghadirkan Kerajaan Allah”. Sehingga melalui Roh Kudus-Nya umat-Nya dari segala bangsa, suku, kaum dan bahasa berhimpun di dalam suatu kesatuan, yaitu gereja, yang di mana Kristus sebagai Kepala (Ef 4:3-16). Gereja ditempatkan oleh Tuhan di dalam dunia supaya melaksanakan tugas panggilannya dalam konteks sosial-politik, ekonomi, dan budaya tertentu. Allah menjadikan gereja sebagai suatu persekutuan yang mengaku satu tubuh, satu Roh dalam ikatan damai sejahtera, satu pengharapan, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua (Ef 4:4-6).
(7). Setiap gereja harus percaya bahwa alkitab yang terdiri dari PL dan PB adalah kesaksian yang menyeluruh mengenai Allah yang menyelamatkan diri, kehendak dan kerya penciptaan, pemeliharaan dan penyelamatan-Nya kepada manusia dan juga mengenai jawaban manusia terhadap-Nya.

MENDAKWA ALLAH? CATATAN TENTANG TEODISEA

1. Masalah Teodisea
Apa sebabnya Allah mengizinkan adanya kejahatan dan penderitaan dalam dunia, yang kita percayai ciptaan-Nya? Mengapa keadilan Allah mesti dibenarkan di hadapan manusia? Jika Allah secara hakiki adalah mahatahu, mahakuasa, mahaadil, mahabaik, dan mahakasih, seperti yang telah disepakati oleh tradisi filsafat dengan agama-agama teistik. Tetapi mengapa masih ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat menciptakan tanpa menyiksa? Apakah Allah tidak dapat menciptakan alam semesta tanpa penderitaan? Apa Allah tidak dapat atau tidak mau? Leahy mengatakan, mengapa penderitaan di dunia “semakin melimpah”. Jika Allah tidak mahakuasa, berarti Ia bukan Allah.

2. Penjelasan-Penjelasan Yang Tidak Memadai
Beberapa penjelasan yang tidak memadai:
(a). Penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa-dosa yang bersangkutan. Penjelasan ini tidak menjawab mengapa anak yang baru lahir menderita penyakit yang sangat nyeri. (b). Melalui penderitaan Allah mencoba mutu manusia; hanya manusia yang bertahan yang bertahan dalam penderitaan yang pantas untuk menerima kebahagiaan abadi di surga. Allah mengetahui hati setiap orang. Apalagi Allah mengasihi setiap manusia, tetapi mengapa Allah tidak memberikan kebahagiaan abadi kepada manusia tanpa ada pencobaan? Atau apakah pencobaan merupakan syarat untuk orang masuk surga? Sungguh sulit diterima jawaban seperti ini. (c). Penderitaan akan lebih daripada diimbangi oleh ganjaran di surga. Bukankah Allah mahakasih dan mahabaik, tetapi apakah Dia menuntut “pembayaran” yang begitu kejam dari orang-orang yang ingin masuk surga? (d). Penderitaan memurnikan hati, jadi bernilai secara moral. Penjelasan ini memperlihatkan, bahwa kekejaman Allah. (e). Dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya lebih baik daripada yang tidak ada penderitaannya. (f). Manusia tidak seimbang dengan Allah; karena itu ia tinggal menerima saja apa yang terjadi sebagai kehendak Allah dengan tak perlu bertanya, apalagi berprotes.

3. Konsistensi Allah
Louis Leahy mendekati masalah teodisea adanya keburukan dalam dua langkah. Pertama, Leahy sependapat dengan Leibnis, bahwa Allah tidak mungkin menciptakan dunia tanpa adanya keburukan. Khususnya mengenai masalah moral (“dosa”). Tetapi, Leahy menunjukan bahwa adanya keburukan secara tidak terelakan berkaitan dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang hakiki bagi segala ciptaan. Kedua, secara hakiki, segala makhluk ciptaan adalah terbatas adanya, maka tidak mungkin dibentuk paham “makhluk sempurna” atau “tanpa kekurangan”. Keburukan dan dosa yang dialami manusia adalah keburukan yang Allah diijinkan berlangsung, karena keterbatasan segala ciptaan, maka keburukan itu tidak dapat terhindarkan tetapi Allah menguatkan atau menopang kekuatan manusia. Allah tidak dapat menciptakan alam dan manusia tanpa membuka kemungkinan terjadinya keburukan, kejahatan dan dosa, dengan demikian, tidak berarti Allah tidak mahakuasa. Yang pasti Allah tidak mungkin menciptakan hal-hal yang bertentangan dengan diri-Nya sendiri atau yang dapat mengurangi kemahakuasaan-Nya, melainkan sebaliknya berakar dari konsistensi Allah dalam keberadaan-Nya. Allah memberikan kebebasan kepada segala ciptaan-Nya (Dia “menghormati kemandirian makhluk”), untuk kebaikannya. Oleh sebab itu, Leahy menyimpulkan, bahwa “Dengan menghendaki kebaikan itu, Allah tidak dapat tidak memungkinkan kejahatan”.

4. Filsafat Menyerah
Banyaknya kejahatan dan penderitaan yang terjadi, seperti kekejaman, siksaan yang luar biasa terjadi, bahkan penyakit yang menyiksa bayi hingga meninggal. Mengapa Allah biarkan? Mengapa Allah tidak terus menerus turut campur tangan untuk mencegah jangan sampai makhluknya menderita? Inilah masalah teodisea yang sebenarnya. Berhadapan dengan gunung kejahatan dan penderitaan itu filsafat menyerah, karena penderitaan tidak lagi dapat dipecahkan oleh filsafat. Karena filsafat diam atau menyerah, maka agamalah yang dapat membuka cakrawala baru. Karena filsafat hanya dapat menunjukan pada sebuah syarat: masalah penderitaan hanya dapat dipecahkan apabila kita percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian.
5. Filsafat Menyerah dan Tidak
Schmidt mendekati masalah teodisea dengan dua langkah: pertama adalah melalui filsafat, dan kedua adalah masuk ke wilayah teologi. Schmidt mengikuti pemikiran Jorg Splett yang bertolak dari rumusan Boethius (480-524) dengan dua pertanyaan singkat untuk menyelesaikan masalah teodisi. (1). Apabila ada Allah, dari mana hal-hal buruk? Jawaban: “Saya tidak tahu”. Tugas filsafat bukanlah mencari macam-macam argumen mengapa Allah yang baik dapat membiarkan kengerian dan malapetaka berlangsung, melainkan untuk membongkar ketidakberhasilan filsafat. Oleh sebab itu, filsafat menyerah, dan memilih diam ketimbang menjawab, karena masalah teodisea tidak dapat dipecahkan. (2). Kalau tidak ada Allah, dari mana kebaikan?. Masalah teodisea dapat dipecahkan dengan pertanyaan ini, karena satu fakta yang juga tidak dapat disangkal, yaitu bahwa ada pengalaman akan kebaikan yang sungguh-sungguh, yang tidak mungkin dijelaskan tanpa Allah, itulah refleksi filsafat. Jadi ada dua unsur dalam argumen ini, (a). Fakta adanya kebaikan, dan (b). Kebaikan yang dialami. Jadi Allah ada dan Allah adalah baik seratus persen, baik secara mutlak dan tanpa ragu-ragu sedikit. Ternyata filsafat tidak mampu menjawab masalah teodisea, inilah yang mengantar filsafat ke ambang iman.

6. Solidaritas Allah
Schmidt mengatakan, ketika Yesus disalib, Ia berteriak: AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mk 15:34) adalah kata-kata permulaan Mazmur 22, di mana Yesus membuka protes kepada Allah. Yesus tidak hanya memprotes, tetapi juga sekaligus mendoakan Mazmur. Orang Kristen percaya, bahwa Yesus adalah ingkarnasi Allah sendiri. Dalam Yesus Allah sendiri menderita. Sangkalan mengerikan terhadap kesatuan Ilahi antara kemahakuasaan dan kemahabaikan dipatahkan oleh Allah sendiri, oleh sebab itu Ia membiarkan diri-Nya dikenai oleh kejahatan yang radikal. Tusukan tombak ke jantung Yesus (Yoh 19:34) menikam Allah sendiri. Dengan demikian Yesus di salib memberikan pada manusia keberanian untuk mempercayakan diri kepada Allah, untuk percaya bahwa Allah, meskipun tetap tidak dapat dipahami, mengetahui betul segala keburukan dan penderitaan dan menjamin bahwa segala apa akan menjadi baik dan setres tangisan tidak percuma.


Tanggapan Kritis
Masalah teodisea adalah pokok bahasan yang tidak habis-habisnya dibicarakan hingga dewasa ini. Banyak buku, artikel dan media cetak lainnya hasil karya manusia untuk memberi jawab atas masalah teodisea. Namun tetap saja menghasilkan jawaban-jawaban yang relatif dan tidak memuaskan. Maka, tepat apa yang dikatakan oleh Adrianus Sunarko, bahwa tidak satu pun buku, juga kitab suci, dogma dan kuasa mengajar (gereja), teologi yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan: “Mengapa Allah, untuk sampai pada keselamatan harus melalui jalan berliku yang mengerikan; mengapa harus ada penderitaan mereka yang tak bersalah? Mengapa harus ada salah dan dosa”? . Filsafat berusaha menjelaskan dari sudut rasio, mengenai mengapa penderitaan dan kejahatan melimpah dalam dunia ciptaan Allah? Sedangkan teologi melihatnya dari modus pengharapan dan bukan dari modus pengetahuan.
Menurut saya baik dari sudut pandang filsafat maupun teologi sama-sama mempunyai kelemahan dalam memberikan jawaban atas masalah teodisea. Maksudnya, filsafat selalu mengandalkan kemampuan rasio, sehingga cenderung menolak keberadaan Allah. Sedangkan teologi cenderung menghindari kemampuan rasio, sehingga cenderung juga menghasilkan jawaban-jawaban yang tidak memuaskan atau tidak memadai seperti yang dikatakan Frans Magnis-Suseno di atas. Biasanya kombinasi akan lebih menghasilkan jawaban yang cukup memuaskan. Artinya, rasio tidak boleh dilepaskan dari iman karena keduanya adalah satu kesatuan, yakni ada batas-batas yang tidak bisa dijelaskan dengan rasio, tetapi mampu dijelaskan iman.
Adrianus Sunarko, mengemukakan sebuah pernyataan menarik yang patut dipertimbangkan, yaitu “Problem teodisea hanya akan muncul bila Allah dipahami secara personal-dialogal dan masing-masing orang diakui martabatnya sebagai pribadi yang mempunyai nilai pada dirinya sendiri” (Adrianus, 208). Karena menurutnya problem ini tidak muncul di kalangan mereka yang menganut paham dualisme. Artinya, penderitaan menjadi masalah ketika berada di tengah-tengah kenyamanan. Jika penderitaan itu berada di arena penderitan, maka itu tidak akan menjadi masalah.
Harold S. Kushner mengusulkan jawaban yang lain atas masalah teodisea, yaitu “Barangkali bukan Tuhan yang menyebabkan penderitaan kita, tetapi barangkali penderitaan itu terjadi karena alasan-alasan tertentu di luar kehendak Tuhan”. Artinya, Tuhan tidak dapat melakukan segalanya sesuai keinginan kita, tetapi Tuhan dapat melakukan banyak hal penting yang kita butuhkan. Hanya karena keegoisan kitalah yang membuat kita menangis melihat keinginan kita tidak terpenuhi seperti kenyamanan yang dirasakan seseorang yang berada di luar penderitaan dan kejahatan.
Sebuah ungkapan teologis yang sangat mendalam dari Pengkhotbah 3:11 mengatakan: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir”. Artinya, keterbatasan manusia sebagai makhluk ciptaan terlihat dengan jelas ketika ia berusaha memahami persoalan-persoalan yang berada di luar kehendaknya. Maka, tidak ada alasan untuk menyangkali keterbatasan manusia. Memang pernyataan ini juga mengandung sifat relatif jika hanya dilihat dari sudut keterbatasan yang ada pada diri manusia itu sendiri. Bahayanya adalah manusia menghindari rasionalisme dan cenderung melakukan pembenaran atas keterbatasanya. Adalah penting dan harus diingat, bahwa mempertanyakan di mana Allah ketika melihat penderitaan dan kejahatan yang melimpah di dunia ciptaan-Nya tidak berarti kita menolak Allah, melainkan ketika kita bertanya di mana Allah? Maka saat itu sebenarnya kita tidak sedang menyangkal keberadaan-Nya. Frans Magnis-Suseno mengatakan, bahwa orang yang mengajukan protes kepada Allah sebenarnya saat itu juga sekaligus ia mengakui dan menerima keberadaan Allah yang tidak dapat dipahami (Frans Magnis-Suseno, 245).