Rabu, 24 November 2010

PLURALITAS AGAMA: KRISIS KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA DI INDONESIA

Oleh: Sugiman

Kerukunan umat agama merupakan pergumulan bangsa Indonesia dari jaman ke jaman, yang masih belum terpecahkan, yang menguras waktu, emosi dan pemikiran. Banyak buku, artikel yang dihasilkan oleh mereka yang memiliki hati nurani, dan dialog-dialog bagi mereka yang menyadari bahwa dirinya manusia, yang peduli dengan nilai-nilai kehidupan di dalam keluarga yang harmonis, suasana damai dan sejahtera di bumi Indonesia yang majemuk. Sungguh masalah kerukunan antar agama dalam rumah tangga negara Republik Indonesia yang majemuk tidak ada habis-habisnya diperbincangkan melalui berbagai media, dialog untuk mencari titik temu yang diharapkan, tetapi tetap saja ada yang menyalakan “api”, dan menyiramkan bensin serta memanfaatkannya.
Masih melekat di ingatan kita mengenai peristiwa yang terjadi selama bulan Oktober hingga Desember 1992, peristiwa isu lemak babi, pembakaran kitab suci antarsekolah, pelemparan dan pembakaran gereja. Selanjutnya, peristiwa Cikampek (12/4/1996), Bogor (14/4/1996); Surabaya (9/6/1996), Situbondo (10/10/1996). Selanjutnya, peristiwa Tasikmalaya (26-27/12/1996), peristiwa kerusuhan Ambon (19/1/1999-Januari 2000), banyak orang yang meninggal karena membela agamanya (Islam vs Kristen). Selanjutnya, kerusuhan Maluku tahun 1999 juga tidak terlepas dari masalah agama. Bahkan mereka menyebut kelompoknya sebagai “Laskar Jihad” yang siap membantu perang saudara antara umat Islam dan Kristen di sana. Selanjutnya, peristiwa penyerangan HKBP Rajeg, Kutabumi, Tangerang (2/9/2007), peristiwa HKBP Bekasi Minggu (12/9/2010) pukul 17:05 ditayangkan di RCTI, yang diserang oleh kelompok Islam yang menggunakan kopiah putih sebagai lambang kesucian. Pendetanya dipukul, jemaatnya ditusuk dan disertai dengan pelemparan batu kepada rumah ibadah. Peristiwa ini juga tidak terlepas dari masalah kemajemukan agama, sekali pun SBY menyatakan supaya tidak dikaitkan dengan agama. Semuanya itu adalah bentuk-bentuk kekerasan, penindasan yang menyangkut SARA. Semua itu juga adalah fakta-fakta yang harus diakui dengan jujur dari hati nurani yang terdalam, bahwa perbedaan agama salah satu faktor penyebab umatanya. Artinya ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya: seperti faktor sosial-politik, ekonomi, budaya dan agama atau keyakinan yang tidak sama. Dari bukti-bukti yang ada memperlihatkan, bahwa agama Kristen (Katolik, Protestan, Pentakosta dll) adalah agama yang sangat sering menjadi objek kekerasan dan penindasan dari kelompok mayoritas. Hal itu menjadi sangat jelas diperlihatkan melalui perusakan tempat-tempat ibadah umat Kristiani (gedung-gedung Gereja), Yayasan-yayasan Kristen dan hingga gedung-gedung sekolah umat Kristen. Misalnya peristiwa yang masih hangat ketika HKBP PTI Bekasi pada 8 Agustus 2010 diserang masa yang berjumlah sekitar 450 orang. Gedung Gereja dilempari dengan batu, pendeta dan jemaatnya dikejar hingga terjadi pemukulan dan penusukan terhadap pendeta Luspida Simanjuntak. Semuanya itu adalah bentuk-bentuk penindasan dan penolakan terhadap eksistensi umat Kristiani, khususnya di Indonesia. Tidak puas jika hanya merusak, maka harus disertai tindakan-tindakan kekerasan yang menyebabkan pertumpahan darah, dan bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Ini adalah tindakan-tindakan yang tidak manusiawi, yang tidak perlu dipelihara turun-temurun. Tetapi itulah realita yang ada. Kemajemukan agama dianggap sebagai ancaman yang mendatangkan malapetaka atau bencana.

Beberapa penyebab konflik
Ada beberapa penyebab yang harus diperhatikan dengan seksama:
1. Miskinnya ilmu dan sempitnya pemikiran tentang agama. Miskinnya ilmu pengetahuan membuat seseorang tidak bisa berpikir kritis terhadap ajakan-ajakan kejahatan, sehingga mudah terpropokasi oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Demikian juga dengan sempitnya pemahaman tengan agama. Agama seharusnya dipahami sebagai konsep pembebasan, bukan pemusnahan, kekerasan dan penindasan.
2. Konsep atau pemikiran yang menganggap hanya agamaku yang benar (truth only). Saya yakin bahwa semua agama mendasarkan pengajarannya pada kebenaran Tuhan Yang Esa. Namun demikian, kekeliruan dalam memahami kebenaran Tuhan pun tidak terhindarkan. Mengapa? Karena cenderung menutup diri dan hanya melihat nilai-nilai kebenaran itu dari satu sudut pandang saja, yaitu agamanya. Akibatnya ia cenderung menyalahkan, menghakimi, menjelek-jelekan dan menganggap agama yang lain salah total.
3. Rendahnya inisiatif untuk berkomunikasi atau berdialog atau berinteraksi dengan orang-orang yang ada di lingkungan kita hidup (tidak rama lingkungan). Keramahan dalam menyapa, berinteraksi secara sadar bahwa kita hidup di dalam sutu komunitas adalah hal yang sangat penting untuk tetap memelihara keharmonisan hidup di dalam rumah tangga Indonesia yang majemuk.
4. Kesenjangan sosial politik dan ekonomi. Misalnya besarnya peran yang dilakukan kelompok minoritas, entah itu dalam bidang politik maupun ekonomi juga dapat menjadi pemicu terjadinya konflik.
5. Kelancaran dalam pembangunan tempat-tempat ibadah. Misalnya, penganut Islam membangun Mesjid dan lama sekali jadinya, tetapi tiba-tiba umat Kristen membangun Gereja dan langsung berdiri, atau sebaliknya. Hal seperti ini juga salah satu penyebab terjadinya konflik.
6. Sikap keegoisan yang tinggi dan tidak adanya toleransi seorang terhadap yang lain. Hidup bernegara adalah seperti hidup di dalam keluarga, yaitu di mana orang tua harus bersikap ramah kepada semua anak-anaknya. Sehingga tidak ada yang dianggap anak kandung dan anak tiri tetapi semuanya diperhatikan dan diperlakukan dengan adil.
7. Mengasihi setengah hati. Misalnya salah seorang (baik Kristen maupun Islam) melakukan misi atau dakwah agama dengan memberi iming-iming, seperti menyekolahkan, memberi hadiah dan lain-lain dengan harapan supaya ia masuk agama Kristen atau masuk Islam. Menurut saya itu adalah kasih yang tidak tulus atau mengasihi setengah hati.

Beberapa Solusi/ Usulan Jalan Keluar:
Ternyata begitu banyak dan rumitnya permasalahan yang ada dalam kehidupan beragama di Indonesia ini. Bila dibiarkan tentu menimbulkan keguncangan, hancurnya dan lemahnya. Untuk mengatasi atau meminimalisir terjadinya konflik yang berkepanjangan, maka ada beberapa jalan keluar yang diusulkan:
1. Memperluas cakrawala (terbuka). Sudah seharusnya kita melihat bahwa ajaran agama bukanlah ilmu yang tertutup, yang hanya bisa dipelajari oleh para penganutnya. Dengan kata lain, hendaknya setiap umat bisa mempelajari agama lain, yang bisa menuntun kita untuk melihat nilai-nilai kebenaran dari berbagai sudut pandang. Sehingga tidak mudah mempunyai persepsi yang salah dan menuduhkan hal-hal yang tidak sebenarnya. Mempelajari dan memahami agama lain adalah hal yang sangat penting guna memperluas wawasan keagamaan. Mempelajari dan memahami ajaran-ajaran dasar agama lain tidak berarti menganut dan meyakininya, karena itu masalah pribadi yang tidak bisa dipaksakan.
2. Agama seharusnya dipahami sebagai konsep pembebasan, yaitu di mana pemahaman agama seseorang harus memberi dampak yang positif, menghidupkan, mengobati yang yang sakit, membalut yang terluka, memberi makan yang kelaparan, membebaskan yang tertindas, memperjuangkan keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan yang mendasar. Artinya, seseorang seharusnya memperlihatkan ciri-ciri agama yang dianutnya. Misalnya seorang Kristen memperlihatkan ciri hidup Kristus yang sangat manusiawi dari manusia. Karena kehidupan Kristen didasarkan pada hidup, pengajaran dan karya Yesus, yaitu MELAYANI.
3. Menyadari bahwa pluralitas di Indonesia merupakan suatu fakta yang tidak bisa dihindari dan harus diakui. Karena itu, pluralitas keagamaan harus diterima sebagai kekayaan ilmu yang menuntut kita untuk mempelajarinya. Pluralitas hendaknya dipahami sebagai jejak awal menuju proses globalisasi di suatu Negara dan sebagaimana globalisasi tak mungkin dielakkan dalam dunia modern. Karena itu, kalau ilmu pengetahuan umum saja kita pelajari, lalu mengapa kita engan dan menutup diri untuk mempelajari agama lain. Karena dengan mempelajari nilai-nilai kebenaran yang agung akan menjadi pondasi yang kokoh tempat kita berpijak untuk hidup di dalam kemajemukan itu sendiri.
4. Menghindari pemanfaatkan agama sebagai alat untuk meningkatkan dan “membenarkan” pertikaian. Karena dengan menggunakan agama sebagai label pembenaran tindakan kejahatan, maka sama halnya kita menjadi penghianat terhadap ajaran agama tentang kebenaran, pengampunan, belaskasihan dan pembebasan manusia dari ekploitasi. Abd A’la mengatakan, bahwa dalam agama Islam, pluralitas agama dipahami sebagai realitas yang harus ditanggapi secara positif melalui dialog dan kerja sama untuk menemukan kebenaran yang universal.
5. Pluralitas agama seharusnya ditumbuhkembangkan di era globalisasi untuk menuju Negara yang bekerja sama dan sebagai akses potensial untuk pengembangan paham keagamaan holistik.
6. Memahami pluralitas agama sebagai pemurni keimanan dan ketakwaan kita kepada Tuhan. Misalnya, jika kita hanya mengasihi seseorang karena dia satu agama dengan kita adalah hal yang biasa-biasa saja. Karena tidak semua orang bisa mengasihi seseorang yang beragama lain dari dirinya. Oleh sebab itu, seharusnya pluralitas agama menentang kita untuk membuktikan kasih yang murni sebagaimana Tuhan mengasihi kita dengan tidak memandang status keagamaan, suku, warna kulit dan bahasa, tetapi karena kita manusia. Jika setiap orang fokus melihat pada manusianya, maka tidak akan ada dia suku ini, suku itu, agama ini dan agama itu, tetapi karena dia manusia.
7. Agama harus manusiawi. Karena banyak agama yang melihat Tuhan yang transenden, jauh dan samar-samar, sehingga yang dibicarakan hanya surga dan lupa bahwa dia masih hidup di dunia yang penuh kekerasan, kejahatan dan penderitaan. Seharusnya agama sebagai agen-agen perdamaian, keadilan, ketentraman dan keamanan. Artinya, kita harus membawa segala sesuatu yang kita bayangkan dan kita pikirkan di surga dan dihadirkan di dalam dunia supaya dapat dirasakan oleh semua orang.

Penutup
Kerukunan hidup umat beragama di Indonesia hanya mungkin terjadi jika dibangun di atas dasar atau fondasi iman yang sejati juga, yang menghasilkan ketulusan, keikhlasan dan kejujuran yang mendalam. Agama harus berfungsi sebagai sumber kedamaian, pembebasan dan keamanan, bukan sebagai sumber sengketa, penindasan, kekerasan, peperangan dan kekacauan. Oleh sebab itu, tidak cukup kita hanya mengatakan kita beragama dan beriman, sementara tindakan atau perbuatan kita tidak menunjukan identitas kita sebagai orang yang beragama dan beriman. Karena pada dasarnya iman bukanlah sesuatu yang abstrak, tetapi sesuatu yang nyata, konkret dalam perilaku dan sikap hidup sehari-hari. Dengan demikian kita membangun negara Indonesia sebagai negara yang bersatu, kokoh, berdaulat, punya harga diri, adil, dan makmur; bukan negara yang saling mencakar, berkelahi, saling membakar tempat ibadah, jatuh-menjatuhkan hanya karena perbedaan agama. Karena perbedaan agama membuat negara Indonesia kacau balau, berkelahi di sana sini, saling mencakar dan sebagainya, maka itu menunjukan bahwa Indonesia bukanlah negara bergama dan rendahnya moralitas umat beragama di Indonesia.