Jumat, 02 Juli 2010

MENDAKWA ALLAH? CATATAN TENTANG TEODISEA

1. Masalah Teodisea
Apa sebabnya Allah mengizinkan adanya kejahatan dan penderitaan dalam dunia, yang kita percayai ciptaan-Nya? Mengapa keadilan Allah mesti dibenarkan di hadapan manusia? Jika Allah secara hakiki adalah mahatahu, mahakuasa, mahaadil, mahabaik, dan mahakasih, seperti yang telah disepakati oleh tradisi filsafat dengan agama-agama teistik. Tetapi mengapa masih ada penderitaan? Apakah Allah tidak dapat menciptakan tanpa menyiksa? Apakah Allah tidak dapat menciptakan alam semesta tanpa penderitaan? Apa Allah tidak dapat atau tidak mau? Leahy mengatakan, mengapa penderitaan di dunia “semakin melimpah”. Jika Allah tidak mahakuasa, berarti Ia bukan Allah.

2. Penjelasan-Penjelasan Yang Tidak Memadai
Beberapa penjelasan yang tidak memadai:
(a). Penderitaan adalah hukuman Allah atas dosa-dosa yang bersangkutan. Penjelasan ini tidak menjawab mengapa anak yang baru lahir menderita penyakit yang sangat nyeri. (b). Melalui penderitaan Allah mencoba mutu manusia; hanya manusia yang bertahan yang bertahan dalam penderitaan yang pantas untuk menerima kebahagiaan abadi di surga. Allah mengetahui hati setiap orang. Apalagi Allah mengasihi setiap manusia, tetapi mengapa Allah tidak memberikan kebahagiaan abadi kepada manusia tanpa ada pencobaan? Atau apakah pencobaan merupakan syarat untuk orang masuk surga? Sungguh sulit diterima jawaban seperti ini. (c). Penderitaan akan lebih daripada diimbangi oleh ganjaran di surga. Bukankah Allah mahakasih dan mahabaik, tetapi apakah Dia menuntut “pembayaran” yang begitu kejam dari orang-orang yang ingin masuk surga? (d). Penderitaan memurnikan hati, jadi bernilai secara moral. Penjelasan ini memperlihatkan, bahwa kekejaman Allah. (e). Dilihat sebagai keseluruhan, dunia yang ada penderitaannya lebih baik daripada yang tidak ada penderitaannya. (f). Manusia tidak seimbang dengan Allah; karena itu ia tinggal menerima saja apa yang terjadi sebagai kehendak Allah dengan tak perlu bertanya, apalagi berprotes.

3. Konsistensi Allah
Louis Leahy mendekati masalah teodisea adanya keburukan dalam dua langkah. Pertama, Leahy sependapat dengan Leibnis, bahwa Allah tidak mungkin menciptakan dunia tanpa adanya keburukan. Khususnya mengenai masalah moral (“dosa”). Tetapi, Leahy menunjukan bahwa adanya keburukan secara tidak terelakan berkaitan dengan keterbatasan dan ketidaksempurnaan yang hakiki bagi segala ciptaan. Kedua, secara hakiki, segala makhluk ciptaan adalah terbatas adanya, maka tidak mungkin dibentuk paham “makhluk sempurna” atau “tanpa kekurangan”. Keburukan dan dosa yang dialami manusia adalah keburukan yang Allah diijinkan berlangsung, karena keterbatasan segala ciptaan, maka keburukan itu tidak dapat terhindarkan tetapi Allah menguatkan atau menopang kekuatan manusia. Allah tidak dapat menciptakan alam dan manusia tanpa membuka kemungkinan terjadinya keburukan, kejahatan dan dosa, dengan demikian, tidak berarti Allah tidak mahakuasa. Yang pasti Allah tidak mungkin menciptakan hal-hal yang bertentangan dengan diri-Nya sendiri atau yang dapat mengurangi kemahakuasaan-Nya, melainkan sebaliknya berakar dari konsistensi Allah dalam keberadaan-Nya. Allah memberikan kebebasan kepada segala ciptaan-Nya (Dia “menghormati kemandirian makhluk”), untuk kebaikannya. Oleh sebab itu, Leahy menyimpulkan, bahwa “Dengan menghendaki kebaikan itu, Allah tidak dapat tidak memungkinkan kejahatan”.

4. Filsafat Menyerah
Banyaknya kejahatan dan penderitaan yang terjadi, seperti kekejaman, siksaan yang luar biasa terjadi, bahkan penyakit yang menyiksa bayi hingga meninggal. Mengapa Allah biarkan? Mengapa Allah tidak terus menerus turut campur tangan untuk mencegah jangan sampai makhluknya menderita? Inilah masalah teodisea yang sebenarnya. Berhadapan dengan gunung kejahatan dan penderitaan itu filsafat menyerah, karena penderitaan tidak lagi dapat dipecahkan oleh filsafat. Karena filsafat diam atau menyerah, maka agamalah yang dapat membuka cakrawala baru. Karena filsafat hanya dapat menunjukan pada sebuah syarat: masalah penderitaan hanya dapat dipecahkan apabila kita percaya bahwa ada kehidupan setelah kematian.
5. Filsafat Menyerah dan Tidak
Schmidt mendekati masalah teodisea dengan dua langkah: pertama adalah melalui filsafat, dan kedua adalah masuk ke wilayah teologi. Schmidt mengikuti pemikiran Jorg Splett yang bertolak dari rumusan Boethius (480-524) dengan dua pertanyaan singkat untuk menyelesaikan masalah teodisi. (1). Apabila ada Allah, dari mana hal-hal buruk? Jawaban: “Saya tidak tahu”. Tugas filsafat bukanlah mencari macam-macam argumen mengapa Allah yang baik dapat membiarkan kengerian dan malapetaka berlangsung, melainkan untuk membongkar ketidakberhasilan filsafat. Oleh sebab itu, filsafat menyerah, dan memilih diam ketimbang menjawab, karena masalah teodisea tidak dapat dipecahkan. (2). Kalau tidak ada Allah, dari mana kebaikan?. Masalah teodisea dapat dipecahkan dengan pertanyaan ini, karena satu fakta yang juga tidak dapat disangkal, yaitu bahwa ada pengalaman akan kebaikan yang sungguh-sungguh, yang tidak mungkin dijelaskan tanpa Allah, itulah refleksi filsafat. Jadi ada dua unsur dalam argumen ini, (a). Fakta adanya kebaikan, dan (b). Kebaikan yang dialami. Jadi Allah ada dan Allah adalah baik seratus persen, baik secara mutlak dan tanpa ragu-ragu sedikit. Ternyata filsafat tidak mampu menjawab masalah teodisea, inilah yang mengantar filsafat ke ambang iman.

6. Solidaritas Allah
Schmidt mengatakan, ketika Yesus disalib, Ia berteriak: AllahKu, AllahKu, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Mk 15:34) adalah kata-kata permulaan Mazmur 22, di mana Yesus membuka protes kepada Allah. Yesus tidak hanya memprotes, tetapi juga sekaligus mendoakan Mazmur. Orang Kristen percaya, bahwa Yesus adalah ingkarnasi Allah sendiri. Dalam Yesus Allah sendiri menderita. Sangkalan mengerikan terhadap kesatuan Ilahi antara kemahakuasaan dan kemahabaikan dipatahkan oleh Allah sendiri, oleh sebab itu Ia membiarkan diri-Nya dikenai oleh kejahatan yang radikal. Tusukan tombak ke jantung Yesus (Yoh 19:34) menikam Allah sendiri. Dengan demikian Yesus di salib memberikan pada manusia keberanian untuk mempercayakan diri kepada Allah, untuk percaya bahwa Allah, meskipun tetap tidak dapat dipahami, mengetahui betul segala keburukan dan penderitaan dan menjamin bahwa segala apa akan menjadi baik dan setres tangisan tidak percuma.


Tanggapan Kritis
Masalah teodisea adalah pokok bahasan yang tidak habis-habisnya dibicarakan hingga dewasa ini. Banyak buku, artikel dan media cetak lainnya hasil karya manusia untuk memberi jawab atas masalah teodisea. Namun tetap saja menghasilkan jawaban-jawaban yang relatif dan tidak memuaskan. Maka, tepat apa yang dikatakan oleh Adrianus Sunarko, bahwa tidak satu pun buku, juga kitab suci, dogma dan kuasa mengajar (gereja), teologi yang dapat memberikan jawaban atas pertanyaan: “Mengapa Allah, untuk sampai pada keselamatan harus melalui jalan berliku yang mengerikan; mengapa harus ada penderitaan mereka yang tak bersalah? Mengapa harus ada salah dan dosa”? . Filsafat berusaha menjelaskan dari sudut rasio, mengenai mengapa penderitaan dan kejahatan melimpah dalam dunia ciptaan Allah? Sedangkan teologi melihatnya dari modus pengharapan dan bukan dari modus pengetahuan.
Menurut saya baik dari sudut pandang filsafat maupun teologi sama-sama mempunyai kelemahan dalam memberikan jawaban atas masalah teodisea. Maksudnya, filsafat selalu mengandalkan kemampuan rasio, sehingga cenderung menolak keberadaan Allah. Sedangkan teologi cenderung menghindari kemampuan rasio, sehingga cenderung juga menghasilkan jawaban-jawaban yang tidak memuaskan atau tidak memadai seperti yang dikatakan Frans Magnis-Suseno di atas. Biasanya kombinasi akan lebih menghasilkan jawaban yang cukup memuaskan. Artinya, rasio tidak boleh dilepaskan dari iman karena keduanya adalah satu kesatuan, yakni ada batas-batas yang tidak bisa dijelaskan dengan rasio, tetapi mampu dijelaskan iman.
Adrianus Sunarko, mengemukakan sebuah pernyataan menarik yang patut dipertimbangkan, yaitu “Problem teodisea hanya akan muncul bila Allah dipahami secara personal-dialogal dan masing-masing orang diakui martabatnya sebagai pribadi yang mempunyai nilai pada dirinya sendiri” (Adrianus, 208). Karena menurutnya problem ini tidak muncul di kalangan mereka yang menganut paham dualisme. Artinya, penderitaan menjadi masalah ketika berada di tengah-tengah kenyamanan. Jika penderitaan itu berada di arena penderitan, maka itu tidak akan menjadi masalah.
Harold S. Kushner mengusulkan jawaban yang lain atas masalah teodisea, yaitu “Barangkali bukan Tuhan yang menyebabkan penderitaan kita, tetapi barangkali penderitaan itu terjadi karena alasan-alasan tertentu di luar kehendak Tuhan”. Artinya, Tuhan tidak dapat melakukan segalanya sesuai keinginan kita, tetapi Tuhan dapat melakukan banyak hal penting yang kita butuhkan. Hanya karena keegoisan kitalah yang membuat kita menangis melihat keinginan kita tidak terpenuhi seperti kenyamanan yang dirasakan seseorang yang berada di luar penderitaan dan kejahatan.
Sebuah ungkapan teologis yang sangat mendalam dari Pengkhotbah 3:11 mengatakan: “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir”. Artinya, keterbatasan manusia sebagai makhluk ciptaan terlihat dengan jelas ketika ia berusaha memahami persoalan-persoalan yang berada di luar kehendaknya. Maka, tidak ada alasan untuk menyangkali keterbatasan manusia. Memang pernyataan ini juga mengandung sifat relatif jika hanya dilihat dari sudut keterbatasan yang ada pada diri manusia itu sendiri. Bahayanya adalah manusia menghindari rasionalisme dan cenderung melakukan pembenaran atas keterbatasanya. Adalah penting dan harus diingat, bahwa mempertanyakan di mana Allah ketika melihat penderitaan dan kejahatan yang melimpah di dunia ciptaan-Nya tidak berarti kita menolak Allah, melainkan ketika kita bertanya di mana Allah? Maka saat itu sebenarnya kita tidak sedang menyangkal keberadaan-Nya. Frans Magnis-Suseno mengatakan, bahwa orang yang mengajukan protes kepada Allah sebenarnya saat itu juga sekaligus ia mengakui dan menerima keberadaan Allah yang tidak dapat dipahami (Frans Magnis-Suseno, 245).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar