Selasa, 09 Februari 2010

BERFILSAFAT: LANGKAH AWAL

BERFILSAFAT: LANGKAH AWAL

Oleh: Sugiman
A. Pendahuluan

Harus diakui bahwa para filsuf tidak mengandalkan metode ilmiah, “dengan demikian mereka harus mengantungkan diri pada cara-cara penelusuran dan pertimbangan rasional lainnya”. Artinya bagi mereka metode ilmiah bukanlah satu-satunya untuk mencari kebenaran, tetapi juga yang lainnya. Oleh sebab itu, ditawarkan sarana-sarana untuk menangani masalah-masalah yang muncul dalam perkenalan pertama kali dengan filsafat. Untuk itu harus kita sikapi dan perlakukan seperti seorang sahabat baik, setahap-demi setahap hingga kita dapat memahami butiran pada setiap bagiannya. Dalam paper ini akan dibahas berfilsafat adalah langkah awal, yang mencakup persiapan untuk berfilsafat, klaim macam apakah yang diajukan? dan apa maksudnya kata kunci?

B. Pembahasan
1. Persiapan untuk berfilsafat
Sebelum berfilsafat, ada beberapa hal yang perlu untuk diperhatikan.
a. Pertama, ada empat sikap batin untuk mendukung komunikasi secara aktif:
• Memiliki keberanian untuk menguji secara kritis hal-hal yang kita yakini;
• Bersedia membuat atau mengajukan hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal terhadap perntayaan filsafat;
• Bertujuan untuk mencari kebenaran di atas kepuasan karena “menang” atau kecewa karena “kalah” dalam perdebatan.
• Mampu memisahkan kepribadian seseorang dari materi diskusi.
b. Kedua, berfilsafat adalah keterampilan yang harus dikembangkan dengan praktik, lebih mirip keterampilan seorang ahli bedah atau pembalap daripada kemampuan seorang programer komputer.
c. Ketiga, kita akan serentak belajar filsafat dan berfilsafat. Dengan demikian kita tidak menjadi “tangan kedua”, karena kebiasaan berpikir kritis kita akan membentuk sebuah pemahaman yang menjadi milik pribadi dan tentu tidak dibakukan (terbuka).
d. Keempat, dalam berfilsafat seseorang tidak berpegang pada pendafat sndiri saja.
e. Kelima, jangan mencampuradukan antara berfilsafat secara produktif dan praktik psikologi.
f. Keenam, filsafat memiliki dua sisi, yang kritis dan konstruktif. Untuk itu dibutukan dua alasan: pertama, belajar menganalisis berbagai sudut pandang filsafat orang lain sebelum berspekulasi teoritis sendiri. Kedua, kritik pun dapat bersifat konstuktif. Artinya suatu kerangka pandangan baru akan muncul dengan sendirinya serentak dengan proses analisa yang kita lakukan dengan kritis dan berdisiplin.
g. Ketujuh, sewaktu mengkritisi klaim-klaim filsafat, usahakan mengukur seberapa kuat kritik anda. Dengan kata lain biarkan argumentasi kita yang berbicara, maka ini adalah salah satu latihan yang sangat baik dari pada mencoba meruntuhkan sebuah terori dengan beberapa argumen tertentu yang sebenarnya hanya memerlukan sedikit modifikasi pada teori tersebut.

2. Klaim macam apakah yang diajukan?
Adalah sangat perlu atau penting untuk kita diketahui yang dilakukan oleh para pilsuf. Pertama-tama yang mereka harus lakukan adalah menentukan secara tepat tesis yang diajukan supaya tahu bagaimana mengujinya. Karena kita tidak dapat menilai sebuah karya seni sama dengan menilai suatu hipotesis ilmiah. Oleh sebab itu, berikut akan dijelaskan beberapa macam klaim atau pernyataan:

a. Apakah klaimnya Empiris?
Klaim empiris adalah pengetahuan mencakup keyakinan-keyakinan yang mana kebenaran dan kesalahannya dibuktikan berdasarkan pengalaman. Keyakinan yang didasarkan pada pengalaman ada dua jenis: Yang ditentukan melalui pengalaman langsung atau dengan membuat generalisasi dari data-data yang diamati dan ditentukan melalui percobaan dengan menggunakan hipotesis. Berdasarkan fakta-fakta dari hasil pengamatan atau pencobaan, maka itu juga dikatakan empiris. Namun ada sejumlah klaim, yang bagi para pemula kelihatannya bersifat empiris, tapi ketika diadakan penelitian lebih jauh hal itu tidak dapat dibuktikan. Contohnya “Setiap kejadian memiliki sebab”. Dengan demikian jika tesis “setiap kejadian memiliki sebab” tidak dapat digolongkan sebagai klaim empiris karena tidak dapat dibuktikan.

b. Apakah klaimnya Apriori?
Klaim apriori adalah kebenaran dan kesalahannya tidak ditentukan oleh pengalaman atau eksperimen, melainkan hanya dapat diketahui dengan rasio atau intuisi intelektual. Jadi sifatnya adalah niscaya, yakni berisi keyakinan-keyakinan tentang sesuatu yang pasti atau tidak mungkin. Contoh 2+2 = 4. Keyakinan ini tidak dapat dibuktikan salah oleh pengalaman, dan tidak bisa diubahkan oleh apa yang kita pelajaran sesudahnya. Ada beberapa jenis-jenis klaim spriori:

• Definisi. Salah satu jenis klaim apriori adalah pernyataan yang secara eksplisit menyatakan sebuah makna istilah, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Contoh, “segi tiga memiliki tiga sisi” atau “bujangan adalah laki-laki yang belum menikah”.
• Pernyataan yang kebenarannya (niscayanya) langsung tampak dari makna kata-kata kunci. Misalnya: “tidak mungkin John seorang baptis yang ateis” niscaya benar, ketika kita memahami arti kata “baptis” dan “ateis”. Ini adalah salah satu bentuk lain klaim apriori.
• Tautologi. Ini juga adalah salah satu jenis klaim apriori yang relatif sempit, yang kebenarannya niscaya berkaitan erat dengan bentuk logisnya sendiri atau prinsip-prinsip penyimpulan logis. Apapun muatan yang terkandung di dalamnya, tida ada relevansinya dengan kebenarannya niscaya klaim tersebut. Contoh: “3+3 = 6”, “jika A = B, B = C, maka A = C, dan tanah terdiri dari cacing atau tidak” (P atau bukan P).
• Klaim Apriori Sintetis. Ini adalah salah satu jenis klaim yang khusus, menarik dan kontroversial! Ada empat hal yang perlu diingat tentang klaim apriori sintetis: pertama, seperti klaim-klaim apriori yang lain, yang mana kebenarannya terlepas dari dari pengalaman, yaitu melalui intuisi rasional secara langsung. Kedua, pengingkaran terhadap klaim apriori tidak mengakibatkan kontradiksi-diri, dan karena itu disebut sintesis, bukan analitis. Ketiga, tidak seperti klaim analitis (bersifat analisis), kebenaran niscaya klaim apriori sintetis tidak bergantung pada pada bentuk logis atau kata-kata kuncinya. Dan yang keempat adalah tidak seperti klaim analitis, klaim apriori sintetis kelihatannya memberikan informasi tentang kenyataan di dunia, bukan sekedar tentang cara kita mendefinisikan kata-kata tertentu.

c. Apakah klaimnya Normatif?
Kita telah melihat klaim empiris dan apriori yang sama-sama menyatakan fakta dan memberikan informasi mengenai apa yang menjadi pokok permasalahannya. Di sinilah letak perbedaannya dengan klaim normatif (“pertimbangan nilai”). Pada hakikatnya, klaim normatif merupakan pedoman sikap dan tingkah laku. Oleh sebab itu, orang yang mengajukan klaim ini ia sebenarnya merekomendasikan tentang suatu sikap atau tindakan tertentu yang diambilnya. Contoh: “Semit adalah orang baik”, “setiap orang harus menjaga dirinya sendiri” dll. Dengan kata lain, klaim normatif adalah mengariskan apa yang seharusnya, bukan sekedar apa yang diyakini.

3. Apa maksudnya kata kunci?
Menjernihkan pengertian adalah salah satu tugas utama para filsuf. Sebelum kita dapat menentukan benar tidaknya dan memadai tidaknya sebuah tesis filsafat, kita harus terlebih dahulu memahami tesis tersebut. Dalam bagian ini akan disajikan dua metode terpenting untuk menjernihkan pengertian.

A. Contoh model dan contoh perbatasan
• Contoh model dapat berperan strategis dalam upaya menjernihkan suatu pengertian. Contoh model menggambarkan makna yang esensial dari suatu konsep. Misalnya, Martin Luther King adalah model dari konsep tentang tokoh pembela hak-hak sipil kulit hitam yang anti kekerasan. Contoh model sering berfungsi sebagai titik tolak untuk menjernihkan suatu konsep. Hal ini dapat dilakukan dengan mendefinisikan ciri-ciri pokoknya, dan dari ciri-ciri itulah kita dapat menyusun definisi yang baik. Di samping sebagai titik tolak perumusan, contoh model juga berfungsi sebagai pasak penguat bagi sebuah definisi.
• Contoh perbatasan digunakan untuk menegaskan batas-batas kemungkinan penerapan sebuah konsep. Contoh perbatasan sangatlah membantu kita ketika kita ragu-ragu mengenai jangkauan atau cakupan suatu konsep walaupun kita mengetahui makna intinya. Kadang-kadang contoh perbatasan perlu diciptakan jika memang tidak ada contoh kasus yang nyata.



B. Menguji definisi
Strategi kedua untuk menjernihkan pengertian, yakni mengembangkan definisi yang memadai. Menguji suatu definisi (konotatif) banyak bergantung pada jenis definisinya. Meskipun ada berbagai macam definisi, kita hanya memusatkan perhatian pada tiga jenis, yaitu:
• Definisi refortif menyatakan makna (atau makna-makna) suatu konsep menurut pemakaiannya dalam bahasa kita. Definisi ini memberikan apa yang secara umum dipahami sebagai makna dari konsep tertentu. Sebuah definisi dapat tetap disebut refortif meskipun menguraikan istilah teknis dan khusus yang umumnya hanya dipahami oleh kalangan tertentu. Dalam mendefinisi sebuah konsep, kita menyatakan ciri-ciri pokok yang harus dimiliki oleh sesuatu agar dapat menjadi contoh bagi konsep yang dimaksud.

Ada sebuah cara sederhana untuk menilai memadai tidaknya suatu definisi refortif, yaitu “contoh-balik”. Contoh ini adalah sebuah fakta yang dianggap membuktikan kesalahan suatu klaim, dalam hal ini klaim definisi.

• Definisi reformatif bertujuan memperbaiki definisi yang sudah ada, dengan maksud memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai makna dari konsep yang dipersoalkan. Orang yang mengajukan definisi reformatif tidak terlalu mempedulikan bagaimana pemahaman orang lain, melainkan lebih menekankan kebenaran persoalannya. Namun, soal benarnya definisi tersebut harus diuji berdasarkan alasan-alasan yang diajukan. Kadangkala definisi reformatif hanya lebih menekankan salah satu makna yang lain.

• Definini stipulatif adalah definisi yang tidak sekedar memberikan makna yang sudah ada ataupun mencoba memperbaikinya, melainkan memberikan makna pada suatu istilah yang baru pertama kalinya diperkenalkan atau memberikan makna baru bagi suatu istilah lama. Secara umum, kita tidak dapat secara langsung mendukung ataupun menentang sebuah definisi stipulatif, selain memastikan apakah definisi itu menyampaikan maksud pengarangnya dengan jelas, karena memang tidak ada patokan untuk menguji sejauh mana definisi ini memadai atau tidak. Definisi ini tidak benar atau salah. Ia harus dilihat, seringkali dalam konteknya yang utuh, lebih sebagai suatu usulan yang mungkin memiliki kegunaan tertentu.

C. Kesimpulan
Dalam pencarian kebenaran metode ilmiah bukanlah satu-satunya, tetapi juga bisa menggunakan cara-cara penelusuran dan pertimbangan rasional lainnya”. Namun jangan bersikap seperti melihat seekor macan di hutan yang sedang kelaparan, tetapi perlakukan seperti seorang sahabat baik, bacalah hingga mendapat gambaran umum untuk memahami butir-butir pokoknya, tentu juga dengan bimbingan orang lain yang sudah akrab bergaul dengannya. Asalkan tidak berharap untuk sukses secara instan dalam strategi berpikir kritis. Pertama-tama, bacalah hingga mendapat gambaran umum mengenai butir-butir pokoknya. Kemudian diperlukan juga seorang pembimbing dan jangan berharap untuk sukses secara instan dalam strategi berpikir kritis. Karena bagian ini hanya sebagai langkah awal yang membantu dalam berfilsafat.

Sebelum berfilsafat, ada empat sikap batin yang perlu diperhatikan untuk mendukung komunikasi secara aktif: memiliki keberanian untuk menguji secara kritis hal-hal yang kita yakini; bersedia membuat hipotesis-hipotesis tentatif dan memberikan tanggapan awal terhadap perntayaan filsafat; bertujuan untuk mencari kebenaran di atas kepuasan karena “menang” atau kecewa karena “kalah” dalam perdebatan serta mampu memisahkan kepribadian seseorang dari materi diskusi.

Berfilsafat merupakan keterampilan yang harus dikembangkan dengan praktik, membiasakan diri berpikir kritis sehingga tidak menjadi “tangan kedua”. Ia tidak berpegang pada pendapat sendiri; tidak mencampuradukan antara berfilsafat secara produktif dan praktik psikologi; filsafat memiliki dua sisi, yang kritis dan konstruktif. Adalah penting untuk diperhatikan juga sebagai langkah awal berfilsafat bahwa dalam menanggapi klaim-klaim filsafat dengan membiarkan argumentasi kita yang berbicara.

Dalam berfilsafat kita tidak bisa memberkan penilaian yang sama kepada karya seni dan hipotesis ilmiah. Oleh sebab itu, seperti telah dijelaskan di atas, bahwa klaim seperti apa yang diajukan, yang diantaranya mencakup klaim empiris: pengetahuan mencakup keyakinan-keyakinan yang mana kebenaran dan kesalahannya dibuktikan berdasarkan pengalaman; klaim apriori: kebenaran dan kesalahannya tidak ditentukan oleh pengalaman atau eksperimen, melainkan hanya dapat diketahui dengan rasio atau intuisi intelektual; dan klaim normatif adalah klaim yang pada hakikatnya mengariskan apa yang seharusnya, bukan sekedar apa yang diyakini.

Yang terakhir adalah memperhatikan kata-kata kunci seperti: Contoh model yang dapat berperan strategis dalam upaya menjernihkan suatu pengertian; Contoh perbatasan yang digunakan untuk menegaskan batas-batas kemungkinan penerapan sebuah konsep. Yang terakhir adalah menguji definisi-definisi demi kebenaran baki itu definisi refortif yang menyatakan makna suatu konsep menurut pemakaiannya dalam bahasa kita, selanjutnya definisi reformatif yang bertujuan memperbaiki definisi yang sudah ada, dengan maksud memberikan penjelasan yang lebih baik mengenai makna dari konsep yang dipersoalkan , dan definini stipulatif yaitu definisi yang tidak sekedar memberikan makna yang sudah ada ataupun mencoba memperbaikinya, melainkan memberikan makna pada suatu istilah yang baru pertama kalinya diperkenalkan atau memberikan makna baru bagi suatu istilah lama.

Keterampilan dan pemahaman kita akan berkembang ketika membiasakan diri dengan berlatih dalam menerapkan dan mengajikan pertanyaan-pertanyaan kritis pada persoalan-persoalan tertentu demi sebuah kebenaran itu sendiri.

“Yesus Pelaku Kasih Yang Radikal” Matius 12:1-21

Oleh: Sugiman
Pengantar
Secara umum para ahli tafsir PB mengatakan, bahwa Injil Matius ditulis sekitar tahun 80-an M (abad pertama) di Antiokhia-Siria. Artinya sesudah Bait Allah di Yerusalem dihancurkan oleh tentara Romawi pada tahun 70 M. Saat itu banyak orang Yahudi yang meninggal akibat peperangan pada masa itu. Hancurnya Bait Allah di Yerusalem berarti hancurnya pusat kehidupan religius, sosial, politik dan ekonomi orang Yahudi. Jika tahun 80-an, berarti jemaat Kristen telah berdiri sekitar 50 tahun setelah kematian Yesus dan sekitar 10/15 tahun setelah Yerusalem dihancurkan. Berkuasanya kerajaan Yunani-Romawi, menjadikan hidup orang Kristen-Yahudi menderita. Hare dalam bukunya “Jewish Presecution Of Christian” mengatakan bahwa orang Kristen saat itu mengalami penganiayaan dari bangsa-bangsa lain. Mungkin inilah yang menyebabkan penulis Matius mengutip pernyataan Yesus ketika mengecam beberapa kota (lht. 11:20-24). Kehidupan orang Kristen-Yahudi saat itu membentuk kelompok-kelompok untuk bisa bertahan hidup. Perhatikan ungkapan “marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu” (11:28). Ungkapan ini memperlihatkan betapa menderitanya orang Kristen saat itu, namun serentak dengan itu penulis juga memperlihatkan kepedulian dan belaskasihan Yesus kepada semua orang. Masalah lain yang dihadapi oleh orang Kristen-Yahudi adalah mengenai penganiayan yang tersebar luas denagn memanfaatkan kesempatan ini. Kelompok orang-orang Yahudi yang masih hidup, terutama para pemimpin agama yang berhasil meloloskan diri, seperti ahli-ahli Taurat yang mulai membedakan secara tajam aliran yang benar dan yang sesat termasuk di antaranya adalah orang Farisi. Atau yang biasa disebut kelompok “Law Observant”. Inilah yang melatarbelakangi penulis Matius mengangkat masalah pertentangan antara Yesus dan orang Farisi atau penolakan orang Farisi terhadap Yesus. Namun di sisi yang lebih khusus adalah Matius ingin memperlihatkan bahwa Yesus adalah pelaku kasih yang radikal. Itu terbukti ketika kita memperhatikan ungkapan berbahagia dalam khotbah di bukit, muzijat-muzijat yang dilakukan Yesus, pengutusan para murid, kecaman atas beberapa kota, ajakan kepada mereka yang letih lesu dan berbeban berat serta perkataan-Nya bahwa “Manusia jauh lebih berharga dari pada domba” (12:12). Oleh sebab itu, saya memberi tema Matius 12:1-21 adalah “Yesus Pelaku Kasih Yang Radikal”.

Pembahasan Teks Matius 12:1-21
Teks Matius 12:1-21 pastilah sebuah respons atau reaksi dari mereka yang merasa tersaingi dan yang tidak suka pada pengajaran dan perbuatan Yesus. Perhatikan kalau orang bersaing apapun caranya pasti dilakukan. Jika hanya sebatas bersaing secara sportif untuk mencapai sesuatu demi kebaikan itu adalah wajar. Namun persaingan akan menjadi tidak wajar jika disertai maksud negatif untuk mencelakakan orang lain. Tetapi yang lebih berbahaya adalah ketika seseorang merasa tersaingi. Kenapa? Karena mereka yang merasa tersaingi biasanya mengalami konflik dengan dirinya-sendiri atau tidak bisa menerima dirinya-sendiri.
Dalam bagian ini penulis Matius memperlihatkan sebuah perdebatan panjang antara Yesus dan orang Farisi tentang hari. Perdebatan ini tentu sangat panjang, paling tidak ada 3 setting (tempat) yang berbeda dalam teks ini, yaitu di di ladang Gandum (12:1-8), di Bait Allah (12:9-15a) dan di luar Bait Allah (12:15b-21). Maka teks ini juga dibagi dalam 3 bagian:
1. Ayat 1-8 : berisi perdebatan Yesus dan orang Farisi tentang perbuatan murid - murid-Nya pada hari Sabat.
2. Ayat 9-15a : mengenai boleh tidaknya menyembuhkan orang pada hari Sabat dan rencana kejahatan orang Farisi pada Yesus.
3. Ayat 15b-21 : respons orang banyak terhadap pengajaran Yesus dan penjelasan mengenai Yesus yang disejajarkan dengan Hamba Tuhan yang ada dalam Yesaya 42:1-4.

1. Matius 12:1-8
Dalam ayat 3 dan 5 kita menemukan frasa “tidakkah kamu baca”. Frasa ini mengindikasikan, bahwa bagi Yesus orang Farisi tidak mengerti isi hari Sabat yang sebenarnya. Tidak mengerti dalam arti tidak melakukan Sabat itu sendiri. Sehingga tidak menutup kemungkinan jika hari Sabat sering dibebankan hanya kepada orang lemah saja, makanya belas kasihan terabaikan. Hari Sabat yang adalah anugerah yang kudus yang diberikan Allah, namun diubah oleh ahli-ahli Taurat dan orang Farisi sehingga menjadi suatu tugas yang berat. H. Danby dalam bukunya “The Misnah” mengatakan ada 39 macam pekerjaan yang dilarang pada hari Sabat, salah satunya adalah memetik Gandum seperti yang dilakukan oleh murid-murid Yesus. Yesus menjawab kritikan orang Farisi dengan mengutip dua cerita yang cukup kuno, yaitu tentang Daud bersama pasukannya yang sedang kelaparan dan makan roti meja sajian yang sebenarnya tidak boleh dimakan. Tetapi karena mereka sangat kelaparan sehingga dimakan (lht. (1 Sam. 21). Cerita ini Matius kutip dari Mark, tetapi Matius menghilangkan nama Imam Agung Abyatar dari cerita Mark 2:26 yang adalah Abimelekh. Kemudian kutipan cerita kedua yang tidak ada dalam Markus tentang imam-imam yang bekerja di Bait Allah pada hari Sabat namun tidak bersalah. Kedua cerita yang dikutip Yesus sebagai alasan yang sangat kuat untuk mebenarkan dan menyamakan perbuatan murid-murid-Nya dengan Daud dan imam-imam. Bagi Yesus, jika Daud beserta rombongan dan para imam boleh, mengapa Dia tidak?
Dalam ayat 6 Yesus mengatakan bahwa “ada yang melebihi Bait Allah”. Sekarang kita mau melihat seberapa penting Bait Allah bagi orang Israel? Bait Allah adalah melambangkan kehadiran Allah ditengah-tengah umat-Nya. Oleh sebab itu, ketika Bait Allah dihancurkan, maka kehidupan religius, sosial, politik dan ekonomi mereka juga hancur, sehingga tidak heran banyak orang yang putus harapan. Di Bait Allah mereka mendengarkan Firman Allah, mereka berkumpul, mempersembahkan segala bentuk korban persembahan dan di sana juga mereka bisa berdoa, beribadah untuk berkomunikasi dengan Allah. Sehingga ketika Yesus mengatakan bahwa diri-Nya melebihi Bait Allah, maka sebenarnya Yesus ingin mengatakan Allah hadir di dalam Dia, tetapi kenapa kamu tidak mau mendengarkan Aku? Sangat sulit untuk diterima bagi orang Yahudi. Yang ada hanya Yesus dianggap sebagai pemberontak. Yesus mengatakan kepada mereka, “jika memang kamu mengerti maksud Firman tentu kamu tidak mengabaikan “Belas kasihan dan bukan persembahan” (12: 7).
Kemudian ayat 8 Yesus mengatakan bahwa “Anak Manusia adalah Tuhan atas hati Sabat”. Dalam PL sebutan “Anak Manusia” disebut Ben-Adam yang paralel dengan Bar-nasya dalam bahasa Aram, yang biasa digunakan untuk orang dan bukan untuk gelar. Biasanya bila seorang guru yang ingin bercerita memulainya dengan “ada seorang anak manusia”. Itu mengindikasikan, bahwa Yesus menggunakan sebutan “Anak Manusia” tidak sebagai gelar melainkan untuk menunjukan bahwa Ia lebih manusiawi. E.F. Scott dalam bukunya “The Kingdom And The Messiah” mengatakan bahwa sebutan “Anak Manusia” yang digunakan Yesus bertujuan untuk menyatakan bahwa Diri-Nya adalah wakil seantero manusia, kerena di dalam Dia-lah manusia menemukan puncak atau model yang sempurna, baik sebagai pelaku kasih maupun sebagai manusia sejati. Selain itu “Anak Manusia” juga memperlihatkan bahwa Yesus memahami, merasakan apa yang dirasakan oleh manusia.
Selanjutnya frasa “Anak Manusia adalah Tuhan atas hari Sabat” juga memperlihatkan bahwa Yesus tidak tergantung pada hari Sabat, karena di dalam hidup Yesuslah esensi dari Sabat. Jika demikian apa sebenarnya hari sabat itu dan bagaimana umat Israel memahaminya dalam PL? Dan apa yang dirayakan mereka pada hari Sabat? Bagi orang Israel hari Sabat adalah hari perhentian yang dikhususkan atau dikuduskan Allah. Karena itu, hari yang khusus atau dikuduskan maka Sabat harus dirayakan pada hari itu juga dan tidak pada hari lain. Pada masa pembuangan dan sesudah pembuangan, hari Sabat merupakan salah satu ciri atau karakter penting dari agama Yahudi. Yang dirayakan pada hari itu adalah sebuah anugerah Allah, yaitu kehidupan, kesukacitaan, kemerdekaan, kebebasan dari segala bentuk eksploitasi baik yang bersifat eksploitasi kemanusiaan; eksploitasi ekonomis dan sebagainya. Pada hari Sabat itulah umat mengalami sebagian dari kesukaan sorgawi, kehadiran kerajaan Allah dan kehidupan zaman mesianis yang sempurna. Oleh sebab itu, dalam teologi Yahudi hari Sabat merupakan 1/20 dari zaman mesianis. Pada hari itu umat Allah harus memakai pakaian pesta sebagaimana seseorang menyambut kedatangan seorang pengantin. Serta pada hari itu juga umat Allah harus makan manna-makanan yang lezat. Pada hari itu seseorang tidak boleh menindas dan membunuh apapun. Karena itu yang dirayakan bukan hari itu sendiri, melainkan isi dari hari itu. Kesukaan, kehidupan, kemerdekaan dan kedamaian sorgawi yang dirayakan pada hari Sabat itu diharapkan berkelanjutan pada hari-hari yang lain. Karena itu Yesus mengatakan “Anak Manusia adalah Tuhan atas hati Sabat”. Artinya Yesus ingin mengatakan bahwa Akulah Sabat itu dan inti Sabat itu ada pada pemberitaan, kehidupan, perbuatan, kematian dan kebangkitan Yesus. Yang paling penting bagaimana orang menghayati isi dan makna Sabat itu dalam kehidupan sehari-harinya.

2. Matius 12:9-15a
Dalam bagian yang kedua ini terjadi perubahan suasana, yaitu yang tadinya di ladang gandum menjadi di Bair Allah. Suasana di ladang dengan gandum ke Bait Allah pastilah bukan terjadi pada hari itu juga. Dari mana kita tahu? Lukas 6:6 memberi informasi bahwa Yesus masuk di Bait Allah di sini adalah pada hari Sabat yang lain. Dengan demikian, berarti teks ini mengalami pemadatan, yang seharusnya terjadi dalam beberapa hari kemudian dipadatkan seperti kejadian dalam satu hari oleh penulis Matius. Pertanyaan orang Farisi kepada Yesus adalah bersifat jebakan, yaitu dengan satu tujuan untuk mempersalahkan Dia, dari frasa itu, kata yang digunakan “kategorezosin” yang juga berarti menuduh. Artinya pertanyaan yang disengaja untuk untuk menuduh Yesus. Pada masa sekarang ini juga tidak sedikit orang yang suka mencari-cari kelemahan, kekurangan orang lain untuk menjatuhkan dia. Jadi siapa yang suka mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang lain untuk menjatuhkan dia, maka itulah model orang Farisi moderen. Yesus mengungkapkan pernyataan yang sangat radikal kepada orang Farisi dalam ayat 12, “Bukankah manusia jauh lebih berharga dari pada domba”? Artinya jika binatang saja kita kasihani, mengapa engkau tidak bisa mengasihi sesamamu manusia.

3. Matius 12:15b-21
Setelah Yesus menyembuhkan tangan orang yang mati sebelah, penulis Matius mengatakan “banyak orang yang mengikuti Yesus”. Tetapi mengapa Yesus melarang dengan keras memberitahukan siapa Dia, (Matius 12:16). Kemungkinan, supaya banyak orang tidak percaya berdasarkan apa kata orang, tetapi mengenal dan menemui Dia secara pribadi. Kemudian dilanjutkan pada ayat yang ke 17: “supaya genaplah firman yang disampaikan oleh nabi Yesaya”. Perhatikan frasa “supaya genaplah” kata yang digunakan adalah “plerote” dari kata “plero, yang berarti memenuhi, mengisi atau membuat penuh”. Kata ini muncul sebanyak 16 kali dalam Injil ini. Jika kita melihat bentuk dari kata “plerote” itu sendiri adalah bentuk pasif, maka terjemahnnya adalah dipenuhi, digenapi atau dibuat penuh. Oleh siapa? Oleh Allah di dalam diri Yesus. Penulis Matius menempatkan Yesus sebagai bukti pengenapan atas janji-janji atau nubuat para Nabi dalam Perjanjian Lama. Penulis Matius menyamakan keberadaan Yesus sebagai hamba Tuhan yang digambarkan dalam Yesaya 42:1-4. Pada bagian ini sangat jelas dasar atau landasan kasih yang radikal yang dilakukan oleh Yesus adalah kasih Bapa-Nya. Ayat 18-21 ingin mengambarkan kasih Allah yang sangat besar kepada umat-Nya, maka penulis Matius mengutip perkataan Yesaya untuk memperlihatkan kasih Yesus adalah bersifat radikal, sama dengan kasih “hamba Tuhan” yang tertulis dalam Yesaya 42:1-4. Kasih-Nya yang tidak ada batasnya kepada semua orang. Dikatakan pada ayat yang ke 20, “buluh yang patah terkulai tidak akan diputuskan-Nya dan sumbu yang pudar nyalanya tidak akan dipadamkan-Nya. Ini menunjukan betapa besar kasih Yesus kepada manusia, bahkan mereka yang diasingkan, dikucilkan, ditindas, dianiaya dan bahkan yang hampir mati pun diterima-Nya dengan kasih. Kenapa? Karena manusia berharga di mata-Nya, Yesus mengatakan bukankah manusia lebih berharga dari pada domba?. Dengan demikian ayat yang ke 21 menutupnya, bahwa pada-Nyalah bangsa-bangsa akan bergarap.

Kesimpulan:
Kasih memperbaiki pemahaman yang keliru seperti pemahaman orang Farisi yang diperbaiki Yesus; kasih itu tidak takut terhadap ketidak benaran, kasih itu tidak mencari-cari kesalahan, kelemahan dan kekurangan orang lain untuk menjatuhkannya, dan kasih juga mengubah titik menjadi koma. Apa yang tidak mungkin, menjadi mungkin karena kasih. Kasih inilah yang dilakukan Yesus, karena manusia berharga di mata-Nya. Pertanyaannya bagaimana dengan kita? Apakah kita salah satu dari orang Farisi itu, yang suka atau sengaja mencari-cari kesalahan, kelemahan atau kekurangan otang lain untuk menjatuhkan dia? Maka jawablah dalam hati kita Amin..................

AJARAN ETIS PAULUS TENTANG PEREMPUAN DALAM 1 TIMOTIUS 2:8-15

Oleh: Sugiman
Pendahuluan
Surat 1 Timotius 2:8-15 adalah salah satu perikop Alkitab yang sering digunakan atau dikutip oleh gereja-gereja tertentu yang dijadikan dasar sebagai pembatas antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam kepemimpinan gereja itu sendiri. Memang harus diakui, tidak semua gereja demikian. Namun hingga saat ini pun hal itu masih menjadi perdebatan, misalnya perempuan tidak boleh naik mimbar, tidak boleh menjadi pemimpin atau “mengatur” laki-laki. Alasannya adalah, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, oleh sebab itu muncullah “teori peminisme”. Maka dalam paper ini kita akan melihat mengenai ajaran etis Paulus tentang perempuan dalam 1 Tim 2:8-15.

Pembahasan
a) Latar belakang historis
Siapa penulisnya 1 Timotius dan kapan ditulis, ternyata masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Ada pendapat, surat ini ditulis oleh Paulus di Makedonia (1 Tim 1:3) sekitar tahun 63 M, yaitu setelah dia dibebaskan dari tahanan di Roma atau antara tahun 60 dan 64 . Ahli yang lain berkisar antara tahun 60 dan 64 M. Namun Walter Lock, membantah karena menurutnya bukti-bukti yang diajukan di atas tidak mencukupi untuk memastikan Paulus sebagai penulisnya. Dilihat dari strukturnya, tema-tema yang dibahas, gaya bahasanya dan pemikiran dalam isi surat juga tidak berurutan secara teratur serta seperti surat-surat Paulus yang otentik. Linguistik yang berbeda dengan surat-surat Paulus yang lainnya kecuali surat pastoral. Misalnya ada frasa “pistos o logos” (1 Tim 1:15; 3:1; 4:9; 2 Tim 2:11; Titus 3:8); dari segi ungkapan teologis penggunaan kata “epiphaneia” artinya “penyataan” dari kata kerja epiphane. KJV, NIV dan RSV menterjemahkannya dengan “appearing, appearance, epiphany” (1 Ti 6:14; 2 Tim 1:10; 4:1, 8; Tit 2:13). Kata epiphane tidak hanya untuk kedatangan Yesus kembali, tetapi juga untuk kehadiran-Nya di dunia. Jika demikian bagaimana kita dapat menjelaskannya? Paling tidak ada tiga alasan untuk menjelaskan perbedaan di atas: pertama, para ahli berpendapat bahwa bukan Paulus sendiri yang menulisnya melainkan sekertarisnya (amanuensis) sehingga agak bebas dan berbeda dengan tulisan-tulisan Paulus terdahulu; kedua, pendapat mayoritas bahwa surat ini memakai nama Paulus sebagai nama samaran (pseudonim), dengan maksud untuk menyembunyikan identitas penulis yang sebenarnya. Cara demikian adalah lazim saat itu, dan kemungkinan penulisnya pernah ditolak oleh masyarakat atau jemaat, maka supaya pemikirannya bisa diterima, ia mengunakan nama Paulus. Otoritas Paulus dipakai untuk membantu para pemimpin jemaat lokal mengatasi penyusupan bidat-bidat di dalam jemaat itu sendiri; ketiga, merupakan pendapat minoritas, (termasuk di antaranya adalah Howard Marshall), bahwa surat ini bersifat allonium, artinya mereka ditulis oleh orang lain, bukan penulis yang dinyatakan di dalam surat (Paulus). Pertanyaannya, apakah ini bertujuan untuk “mengelabui” pembacanya? Kami rasa tidak, karena yang disampaikannya adalah ajaran Paulus yang telah diadaptasikan oleh “kelompok Paulus” sesudah kematiannya. Maksud dari kelompok Paulus ini atau murid-muridnya yang setia atau rekan sekerjanya bukan untuk mengelabui, tetapi untuk menyediakan materi inti ajaran Paulus dalam bentuk yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan jemaat-jemaat saat itu dalam menghadapi bahaya ajaran sesat.
Walter L. Liefeld mungutip pendapat D.N. Berdot pada tahun 1703 dan diikuti oleh Paul Anton mengatakan bahwa surat 1 Timotius tidak ditujukan kepada jemaat, melainkan secara pribadi yaitu kepada Timotius dalam rangka memberi tanggung jawab untuk mengembalakan jemaat dan mengangkat gembala-gembala jemaat, terutama untuk menghadapi ancaman ajaran sesat yang telah mempengaruhi jemaat. Karena bagaimana pun juga Timotius sangat dekat dengan Paulus. Jadi tujuan dari surat pastoral ini adalah untuk menguatkan para pemimpin jemaat dalam menghadapi guru-guru palsu dengan ajaran sesatnya yang telah menyusup ke dalam jemaat dan menganggu ketenangan. Jemaat membutuhkan tuntunan dan harus ditolong. Oleh sebab itu, harus mengajarkan ajaran yang benar, hidup dalam kekudusan dan tata gereja yang kokoh. Indikasinya adalah kemungkinan yang terpengaruh oleh ajaran sesat yang menyusup di dalam jemaat itu adalah sebagian dari para pemimpin. Tujuan lain adalah perlunya gereja meneruskan tradisi pengajaran Paulus. Dengan demikian kita melihat bahwa surat 1 Timotius memuat tiga tema umum yang walaupun tidak dalam urutan yang sistematis:
1. Ajaran yang benar dan yang salah
Ajaran yang benar dan yang salah ini dibahas dalam tiga bahasan yang tidak berurutan: pertama dalam 1Tim1:3-20 disebutkan beberapa ajaran sesat dengan ciri-ciri dari pengajarannya, yaitu membahas (a). “Dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya” (1:3-4); (b). Mengenai ajaran yang menyimpang dari “kasih, hati nurani yang murni dan iman yang tulus ikhlas” (1:5); dan (c). Pengajaran hukum Taurat yang tanpa pengertian (1:6-7). Ternyata para guru palsu menggunakan dan berusaha menerapkan hukum Taurat untuk kepentingan sendiri (bnd. 1:8). Maka Injil kebenaran itu adalah berasal dari Allah (1:8-11). Paulus menegaskan esensi yang mendasar dari Injil ini melalui kasaksian hidupnya sebelum ia bertobat dan mengenal Yesus (1:12-14), secara pribadi Paulus telah merasakan penyelamatan Kristus atas hidupnya yang berdosa. Hanya karena kasih dan anugerah-Nya ia diselamatkan-Nya. Bahkan ia merasa bahwa dosanyalah yang paling besar dari semua orang, namun tetap dikasihani oleh-Nya (1:15-17). Kedua, dalam 1 Tim 3:14-4:10 dilanjutkan kembali mengenai ajaran sesat, yaitu menurut asketis dengan melarang orang menikah dan memakan makanan tertentu. Maka Paulus menentang ajaran ini dan mengatakan bahwa semua yang diciptakan oleh Allah adalah baik adanya dan tidak ada yang haram jika diterima dengan ucapan syukur (3:4-5).
2. Perilaku di dalam persekutuan Kristen
Dalam bagian ini sangat menekankan perilaku yang seharusnya bagi orang percaya dalam kehidupan sehari-hari, supaya relasi tetap terjaga dengan baik dalam persekutuan jemaat (4:11-5:2; 5:22b-23; 6:11-14). Perilaku itu mencakup relasi-relasi: (a). Hidup sebagai orang Kristen yang sekaligus menjadi warga negara yang baik, yakni tidak menimbulkan kekacauan, kecurigaan terhadap pemerintah Romawi atau masyarakat yang bukan Kristen (2:1-2). (b). Relasi dalam ibadah jemaat antara laki-laki dan wanita, termasuk diantaranya adalah cara berpakaian (2:8-15). (c). Relasi antara budak dengan tuannya (6:1-2a). (d). Dan yang terakhir adalah relasi Timotius dengan mereka yang seusia dan yang lebih tua darinya (4:11-5:2) (bnd. John Drane, 396). Dari penjelasan di atas menunjukan, betapa pentingnya relasi dan prilaku Kristiani untuk mencerminkan Kekristenan yang sesungguhnya karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya ( lht. 2 Tim 3:10-4:8; bnd. Roma 1:16). Relasi adalah bagian dari kesaksian hidup orang Kristen terhadap semua orang, yang dipancarkan lewat teladan atau prilaku yang baik bagi semua orang yang mereka layani (1 Tim 6:11-21); berani membela kebenaran (2 Tim 2:1-26). Melalui semuanya itu orang lain diberi kesempatan untuk memperoleh “keselamatan, pengetahuan akan kebenaran” dan mengenal-Nya (2:3-7).
3. Mengenai tata Gereja
Ada empat kelompok yang memegang peranan penting dalam komunitas Kristen pada masa itu: (a). Episkopos, yaitu sebagai penilik jemaat; (b). Diakonos atau diaken (c). Janda (chera) (1 Tim 5:3, 4, 5, 6, 9, 15, 16); dan (d). Presbyteros, yaitu penatua. Syarat-syarat bagi penilik jemaat dan diaken adalah mencakup karakter pribadi, kehidupan rumah tangga dan keluarga serta kesaksian imannya dalam kehidupan sebagai umat Kristiani dan warga Negara yang tidak membuat onar atau kerusuhan.
b) Pembahasan teks 1 Timotius 2:8-15 dan pejelasannya
Dalam 2:1-7 Paulus bebricara mengenai doa yang ditujukan kepada kelompok (jemaat), namun di sini, yaitu dalam ayat 8 Paulus membahas doa yang berorientasi di dalam keluarga.
“Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan” (2:8).
Ayat 8 diawali dengan frasa “Oleh karena itu aku ingin”, yang menunjuk kepada kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi ketika berdoa, yaitu mengadahkan tangannya tetapi Allah memalingkan muka-Nya dan tidak mau mendengarkan doanya karena tangan mereka penuh dengan darah (Yes 1:15). Kemungkinan besar mereka yang mengajarkan ajaran yang tidak sehat, adalah suka berdoa dengan mengadahkan tangan yang sia-sia dan hanya bersifat formalitas belaka karena tujuan mereka adalah untuk menyesatkan. Maka dari itu Paulus menambahkan “berdoa dengan tangan yang suci”. Di sini kita melihat ada hal-hal tertentu yang dituntut, yaitu kesungguh-sungguhan dalam berdoa. Frasa “tangan yang suci” menunjuk kepada perbuatan yang seharusnya, yang berkenan dan menjadi berkat bagi semua orang. Nasihat ini terutama ditujukan kepada semua laki-laki yang menjadi pemimpin dalam jemaat pada masa itu. Tujuannya supaya mereka berbeda dengan cara atau kebiasaan berdoa yang kosong. Sedangkan frasa “tanpa marah dan tanpa perselisihan”. Kata yang diterjemahkan LAI: “perselisihan” adalah “dialogismou” dari kata “dialogismos”, yang berarti “pertengkaran atau keraguan”. Ini menunjuk kepada sikap hati yang harus benar-benar tenang, hening saat berdoa. Oleh sebab itu Yesus mengatakan “apabila engkau mempersembahkan persembahan, terlebih dahulu berdamailah dahulu dengan saudaramu” (Mat 5:23, 24).
Bagian selanjutnya adalah ayat 9-15 yang berkenaan dengan kedusukan perempuan dalam jemaat. Untuk memahami teks ini tidak bisa terlepas dari konteksnya, karena erat kaitannya dengan situasi / konteks saat itu. Teks ini ditulis dan disampaikan Paulus untuk melawan kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi yang keliru memahami Taurat. Hukum Taurat dijadikan alat untuk mendukung argumentasi bahwa kedudukan wanita itu lebih rendah, dan hal yang sama juga terjadi dalam agama Yunani. William Barclay mengatakan:
“Dalam kebudayaan Yahudi wanita tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang” (William Barclay, 106)
Dalam Saying of the Fothers, Rabi Josc ben Johanan mengutip sebuah perkataan: “Biarkan rumahmu terbuka lebar-lebar dan orang-orang miskin menjadi anggota keluargamu, serta janganlah terlalu banyak bercakap dengan wanita.” Dikatakan lagi, bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan”.

Jika kita perhatikan ayat 9-10 dimulai dengan kata “Hosautos”, RSV: “also”, KJV: “manner”: “cara, gaya atau sikap” tapi juga bisa dengan “Likewise” LAI: “demikian juga”. Kata “Hosautos” tidak hanya menujuk pada sebuah cara dan sikap yang seharusnya bagi kaum wanita, tetapi lebih jauh lagi, yaitu bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sederajat. Hanya cara mengekpresikannya yang berbeda, yakni laki-laki melalui aktivitas dan wanita melalui penampilannya. Kesederhanan merupakan perilaku, cara atau sikap yang sangat umum pada masa itu. Oleh sebab itu, nasihat ini dilontarkan penulis supaya jangan memakai perhiasan emas dan pakaian yang mahal. Kemungkinan ini ditujukan kepada wanita-wanita kaya yang menggunakan berbagai perhiasan dan mengenakan pakaian yang mahal, kemudian berusaha terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat. Dalam hal ini tidak berarti wanita dilarang menggunakan busana yang indah, perhiasan-perhiasan yang mahal, tetapi yang terpenting adalah keindahan batin atau “berdandan dengan perbuatan baik, seperti layaknya perempuan yang beribadah” (2:10).
Selanjutnya ayat 11-14, dalam bagian ini terlihat sangat tegas, keras dan tajam, bahwa wanita harus berdiam diri, patuh, tidak boleh mengajar, tidak boleh memerintah laki-laki pokoknya harus tunduk, karena wanita yang terlebih dahulu berdosa. Paham demikianlah yang dianut oleh tradisi Yahudi dan Yunani. Mengapa? para ahli mengatakan bahwa di Korintus terdapat kuil Aphrodite yang didiami oleh ribuan imam wanita yang menjadi pelacur suci dan menjajakan diri dilorong-lorong pada malam hari. Demikian juga di Efesus terdapat kuil Diana yang memiliki ratusan imam wanita yang disebut Melissae, yang artinya “kawanan lebah” yang berfungsi dan berprofesi sama dengan wanita-wanita di Korintus. Bagi orang Yahudi, wanita yang layak dalam ibadah jemaat adalah wanita yang harus menundukan diri kepada hukum Taurat, yaitu: penurut, tidak memerintah, berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh, maka itulah wanita yang beribadah. Sedangkan Yunani, wanita terhormat hidup dengan sangat membatasi diri, bahkan ia tinggal ditempat yang tidak seorang pun bisa datang, kecuali suaminya. Sedangkan wanita Kristen saat itu aktif dalam pertemuan umum dan ikut dalam percakapan-percakapan. Oleh sebab itu, gereja dianggap sebagai tempat perlindungan wanita-wanita nakal. Maka kata “seharusnya” di ayat 11 dibenarkan dalam konteks itu, namun tidak boleh dijadikan alasan untuk merendahkan kedudukan perempuan seperti yang tertulis dalam ayat 13-14.
Kembali kita melihat kata “authenteo” dalam ayat 12, yang diterjemahkan “to govern, exercise authority” KJV menterjemahkan “to usurp authority”, namun George W. Knight segera membantah bahwa terjemahan KJV keliru (evidently erroneous), menurut dia yang benar adalah “to have authority” . Tahun 1979 Cathrine C. Kroeger menegaskan bahwa kata “authenteo” berkaitan dengan erotic. Selain itu Osburn menterjemahkannya dengan “to dominate or domineer”. Maka dapat kita katakana bahwa kata “authenteo” berarti memerintah yang melebihi batas normal atau yang tidak sewajarnya, yaitu untuk memerintah dan menguasainya. Sebenarnya ayat 11-14 adalah untuk menentang ajaran-ajaran dan tradisi Yahudi dan Yunani yang berusaha merendahkan kedudukan perempuan. Perhatikan ayat 14 “bukan Adam yang tergoda dan yang pertama jatuh dalam dosa, melainkan Hawa”. Tradisi ini sering dipakai sebagai penguat argument-argumen yang ingin menyatakan bahwa wanita lebih rendah dari laki-laki. Ayat ini pun sering disalahpahami oleh orang-orang Kristen atau sebagian Gereja-gereja Tuhan dewasa ini, terutama gereja-gereja yang melarang dan membatasi aktifitas wanita dalam berjemaat. Bisa dikatakan bahwa ini adalah kekeliruan yang terulang kembali atau kesalahan yang dibenarkan karena kesombongan. Pertanyaannya di mana letak kesombongannya? Jika diperhatikan baik-baik ayat 14 ini, maka kita akan menemukan kesombongan yang dilakukan oleh mereka yang menganggap dirinya tidak berdosa.
Kemudian ayat 15 dengan jelas Paulus mengangkat kedudukan perempuan bahwa ia akan diselamatkan kerena melahirkan anak. Dalam tradisi Yahudi seorang anak adalah pawaris terutama bagi anak laki-laki. Sedangkan dalam kebudayaan Yunani wanita yang tidak mempunyai anak dianggap kena kutukan. Ini bertujuan untuk melawan ajaran yang melarang orang kawin (1 Tim 4:3). Maka jelaslah bagi kita bahwa Paulus tidak sedikit pun bermaksud untuk merendahkan kedudukan wanita dalam bagian teks ini.

Kesimpulan
Dalam memahami teks 1 Timotius 2:8-15 para ahli berpendapat:
“In Paul’s understanding men and women, while equal in value and importance before the Lord, were not regarded as unisex components with swappable function in home and church”.
Dengan demikian kita menyimpulkan bahwa apa yang ada dalam pemahaman atau pikiran Paulus bukanlah untuk memandang kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, melainkan untuk melawan ajaran sesat yang menyusup dalam jemaat Kristen saat itu. Apa saja bentuk atau ciri-ciri ajaran sesat itu: (a). “Dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya” (1:3-4); (b). Ajarannya menyimpang dari “kasih, hati nurani yang murni dan iman yang tulus ikhlas” (1:5); dan (c). Pengajaran hukum Taurat yang tanpa pengertian (1:6-7), serta larangan terhadap perkawinan (3:14-4:10). Untuk memahami teks ini tidak boleh dilepaskan dari konteksnya seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa sebagai wanita yang beribadah bagi tradisi Yahudi adalah wanita tunduk terhadap laki-laki, penurut, tidak memerintah, berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh sesuai dengan hukum Taurat. Sedangkan bagi orang Yunani, wanita terhormat hidup dengan sangat membatasi diri, bahkan ia tinggal ditempat yang tidak seorang pun bisa datang, kecuali suaminya. Di samping untuk menentang ajaran yang memandang rendah kedudukan perempuan, teks ini juga disampaikan untuk menghindari tuduhan-tuduhan yang tidak benar terhadap orang-orang Kristen saat itu.
Alasan lain adalah untuk membuktikan bahwa orang Kristen juga bisa hidup sebagai warga Negara yang baik: tidak menimbulkan kekacauan, kecurigaan terhadap pemerintah Romawi atau masyarakat yang tidak Kristen (2:1-2). Demikian juga relasinya dengan laki-laki terutama dalam hal cara berpakaian (2:8-15), berdandan dengan pantas, sopan dan sederhana (memakai perhiasan yang mahal-mahal sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu. Artinya, kita melihat di sini, yaitu pentingnya relasi dan prilaku Kristiani yang baik serta memahami orang sesuai konteks.
KEPUSTAKAAN

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2001
Budiman, R. Tafsiran Alkitab Surat-Surat Pastoral 1 & 2 Timotius Dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1994.
Campbell, K.M. ed., Marriage And Family In The Biblical World (Downers Grove, IL: InterVarsity), 2003.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru – Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2006
Erdman, Charles R. The Pastoral Episles Of Paul (Philadelphia: The Westminster Press, 1929)
Gorday, Peter. Ancient Christian Commentary On Scriptur – New Testament IX Colossians, 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus, Fhilemon (Dowrner Grove, Illionis: InterVarsity Press, 2000.
Groenen, C. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Hess, R.S. and M. D. Carroll., eds., Family In The Bible (Grand Rapids: Baker), 2003.
Houlden, J.L. The Pelican New Testament Commentaries - The Pastoral Epistles, 1 And 2 Thimoty, Titus (Penguin Books), 1976.
Kostenberger, Andreas J. And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker Academic), 2005.
.with D. Jones, God, Marriage, And Family (Wheaton: Crossway), 2004.
Kroeger, C. C. Ancient Heresies And A Strange Greek Verb, Reformed Journal No. 29 1979.
Liefeld, Walter L. 1 & 2 Timothy, Titus, The NIV Application Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House), 1999.
Lock, Walter. A Critical And Exedetical Commentary On The Pastoral Epistles – I & II Timothy And Titus (Edinburgh: T.& T. Clark, 38 George Street), 1936.
Rolston, Holmes. The Layman’s Bible Commenraty 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus Philemon (Richmond, Virgina: John Knox Press, 1967.
Torrance, David W., Thomas F. Torrance. Calvin’s Commetaries – The Second Epistle Of Paul The Apostel To The Corinthians And The Epistles To Timothy, Titus And Philemon (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company), 1991.

NILAI HIKMAT LEBIH MAHAL DARI EMAS DAN PERAK

NILAI HIKMAT LEBIH MAHAL
DARI EMAS DAN PERAK
(Amsal 8:10-11)
Oleh: Sugiman
Pendahuluan
Pada zaman Perjanjian Lama emas pilihan dan perak sudah dikenal sebagai suatu benda yang bernilai tinggi atau mahal nilainya dan bahkan hingga saat ini. Pada masa raja Salomo dan sesudahnya, terutama pada masa pembuangan di Babilonia emas pilihan yang terbaik dan mahal harganya berasal dari Ofir yang terkenal sebagai tempat penghasil emas murni, permata dan perak yang mahal harganya. Ofir terletak di barat daya Arabia di pantai Afrika Timur laut. Emas Ofir juga sering disebut dalam kitab ( 2 Taw. 8:18; Ayub 22:24; 28:16; Maz. 45:9 dan Yes.13:12; 1 Raj. 9:28Maz. 45:10, Ay.28:16. Emas itu diimpor ke Yehuda pada masa Salomo. Ketika Yehuda terjepit saat Asyur berkuasa pada masa pemerintahan Uzia hingga pada masa raja Hizkia maupun sesudahnya, emas juga menempati posisi yang sangat penting. Banyak raja Yehuda yang membayar upeti kepada Asyur dengan emas yang ada di Bait Suci di Yerusalem. Namun penulis Amsal menyajikan atau memperlihatkan suatu pernyataan yang sangat kontras atau berbeda seperti yang dipahami oleh umat Israel. Ternyata ada yang lebih mahal nilainya emas-emas pilihan atau emas murni dan perak, yaitu hikmat. Oleh sebab itu dalam paper ini akan melihat dan menganalisis mengapa penulis Amsal mengatakan bahwa hikmat lebih mahal nilainya dibandingkan dengan emas dan perak.

Pembahasan
a. Latar Belakang Kitab Amsal
Kitab Amsal adalah suatu kitab yang termasuk dalam kumpulan “sastera hokmah” (hikmat) dalam Perjanjian Lama. Kitab ini berasal dari penulis tertantu di samping kitab hikmat yang lainnya (Ayub dan Pengkhotbah). Sangat penting untuk diketahui bahwa Amsal adalah kumpulan sastera yang mewakili hikmat tradisional. Jika kita mengatakan kitab ini mewakili hikmat tradisional, maka hikmat itu sendiri sudah dikenal secara meluas di dunia Timur Tengah Kuno. Artinya tidak hanya di Israel sastra hikmat ini dikenal tetapi juga di luar Israel, seperto di Babel, Asyur dan bahkan di dunia Mesir kuno, seperti “pengajaran-pengajaran Ani” dan “disiplin Amenemope” (ANET 421-424) yang ditulis sekitar tahun 800 sM. Sastera hikmat (kebijaksanaan) juga merupakan bahagian dari kehidupan rohani dan kebudayaan yang sangat dihargai dan tidak terpisahkan. Oleh sebab itu tidak heran jika kadang-kadang Amsal ini bercorak keduniawian dan kadang-kadang kerohanian. Bangsa-bangsa non-Israel menganggap bahwa hikmat berasal dari para dewanya masing-masing, yang berisikan kesenian, teknik dan ilmu teoritis serta etika. Konsep pemahaman hikmat di Israel dengan bangsa non-Israel jelas memiliki perbedaan yang tajam. Bagi bangsa bangsa non-Israel hikmat adalah berasal dari para dewa, tetapi bagi bangsa Israel hikmat berasal dari YHWH dan Dialah dasar hikmat yang sesungguhnya, maka kata “Takut Akan Tuhan” menjadi sangat penting bagi orang bijaksana di Israel.

b. Siapa Penulisnya dan kapan?
Mengenai siapa penulis kitab Amsal ternyata menjadi perdebatan yang tidak terpecahkan di kalangan para ahli. Hingga saat ini pendapat itu masih bercabang dua. Yang lain mengatakan bahwa penulis kitab ini adalah raja Salomo karena namanya disebutkan sebanyak tiga kali: (1:1, 10:1 dan 25:1). Yang lain lagi mengatakan bukan Salomo penulisnya, karena pengarang kitab ini menggunakan terjemahan Yunani Septuaginta dari kitab-kitab Perjanjian Lama . Artinya pemakaian nama Salomo di atas tidak berarti dia yang menulisnya, tetapi bisa jadi ditulis oleh orang lain pada masa yang lebih kemudian dengan menggunakan nama raja Salomo. Karena cara-cara seperti itu sudah lazim dan biasa diterapkan saat itu. Namun demikianpun tidak berarti kita menyangkal Salomo sebagi penulis sebagian dari kitab ini. Tapi itu pun tidak bisa dipastikan, sebab apakah itu memang berasal dari Salomo atau berasal dari masa Salomo (Blommendaal, 1996 : 154). Sedangkan pasal 1-9 adalah berasal dari masa yang lebih muda atau sesudah pembuangan di Babilonia. Karena pengaruh nabi-nabi besar sangat terasa, seperti Yeremia, Deutero-Yesaya dan lebih khusus lagi Deuteronomium. Karena pasal 1-9 ditambahkan kemudian oleh seseorang yang tidak dikenal, maka nama Salomo yang digunakan hanyalah sebagai samaran supaya pemikirannya yang dituangkan dalam bentuk tulisan dapat diterima oleh pembacanya saat itu. Kemungkinan pengarang kitab Amsal sendiri ditolak dalam komunitasnya dan tidak dipercayaai lagi karena perkataan dan kesaksian hidupnya, yaitu melalui perkataan dan perbuatannya. Oleh sebab itu ia menggunakan nama raja Salomo yang sudah dikenal luas sebagai seorang berhikmat saat, sehingga tanpa ada bantahan dari pembacanya. Ketika orang mendengar nama Salomo, maka siapa yang bisa membantah perkataannya.
Mungkin yang lebih cocok diarahkan kepada Salomo sebagai pengarangnya adalah pasal 10-29 yang berasal dari masa raja-raja, karena memuat tentang penghormatan dan pujian kepada raja-raja (16:10, 12 dst.; 20:8, 26, 28; 21:1; 22:11; 25:2 dst). Lebih jauh lagi bahwa pasal 25 ini dilatarbelakangi kehidupan pertanian (25:13 dst, 23; 27:23dst, 28:3). Weiden mengatakan bahwa kitab Amsal ini terdiri (9) koleksi. Artinya jelas bahwa kitab Amsal tidak disusun sekaligus oleh seseorang atau sekelompok orang, melainkan sedikit demi sedikit dikumpulkan hingga menjadi satu kitab seperti yang kita kenal saat ini. Yang menjadi masalah dalam perdebatan para ahli adalah berkisar “kapan kitab ini ditulis”. Blommendaal (1996:154) mengatakan memang pada umumnya para ahli mengatakan kitb ini berasal dari masa pembuangan di Babilonia. Namun hal ini tidak dapat dibuktikan karena tidak ada bukti-bukti atau petunjuk yang jelas kapan masa penulisannya. Weiden, (1990 :15-17) mengandaikan, kemungkinan penulisnya adalah seorang Yahudi helenis, yang saleh dan setia pada Taurat Yahudi yang hidup di Mesir khususnya di kota Alxanderia. Maka penyusunan kitab ini diperkirakan sesudah diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani, yaitu sesudah tahun 200 sM. Karena pengarang sendiri menggunakan terjemahan Yunani Septuaginta, sehingga isi kitab ini sangat kuat dipengaruhi bahasa Yunani. Inilah yang menjadi alasan bahwa Salomo bukanlah penulisnya, tetapi pemakaian nama Salomo hanyalah sebagai samaran supaya pengajarannya dapat diterima oleh pembacanya saat itu. Selain itu juga ditemukan nama Agur (30:1) dan Lemuel (31: 1, 4), yang kemungkinan bukan dari orang Israel, tetapi dari bangsa sekitar Israel (bnd. Isak Roedi, Catatan kuliah, Cipanas, 2009). Karena pada umumnya sastera hikmat itu sendiri tidak mempunyai hubungan dengan sejarah Israel. Sehingga wajar jika perbuatan-perbuatan besar Allah dalam sejarah Israel tidak dibicarakan dalam kitab ini. Namun ada satu pernyataan bijak yang diungkapkan oleh Blommendaal (1996: 153), yaitu meskipun perbuatan-perbuatan Allah tidak dibicarakan di sini, tetapi yang lebih penting dalam kitab ini adalah bagaimana orang bisa hidup sebagai orang yang baik dan saleh menurut kehendak Allah.

c. Apa itu hikmat?
Menurut Isak Roedi, hikmat adalah keterampilan yang dibutuhkan untuk hidup atau petunjuk praktis untuk hidup sehari-hari. Barnabas Ludji mengatakan “hikmat adalah suatu kualitas intelektual atau pemikiran manusia yang mampu membedakan hikmat manusia dengan segala kebijakannya serta membawa manusia kepada keberhasilan hidup”. Browning mengatakan yang hikmat adalah petunjuk hidup praktis yang menuntun seseorang bisa mengatur hidupnya dengan baik sehingga hidupnya memiliki tujuan yang jelas. Jika kita melihat pengertian dari “hokma” adalah “kemampuan intelektual”. Namun Hikmat tidak identik dengan pengetahuan-intelektual, tetapi mempunyai kaitan dengan kecerdasan intelektual (Ams. 1:4). Karena fokus hikmat tidak terletak di sana (lht. Catatan kuliah studi Amsal, 2009). Lebih jauh Paulus mengatakan bahwa hikmat adalah kebenaran hidup dan itu bukan sesuatu yang abstrak dan juga bukan hanya sekedar tahu tetapi lebih dari itu, yaitu saat melakukan sesuatu (14:4; 31). Menurut Tremper Longman III ( 2007 : 6-7), hikmat adalah kunci untuk bisa berhasi di dalam hidup. Karena banyak konsep hikmat dalam kitab Amsal mirip kecerdasan emosional yang disebut dengan EQ bukan IQ yang berkonotasi langsung dengan kesuksesan di dalam hidup. Hikmat adalah anugerah Allah yang diberikan-Nya kepada manusia untuk mempu menjalani hidup ini sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya. Jika hikmat di katakan sebagai anugerah Allah yang diberikan kepada manusia, maka tidak ada hikmat yang dihasilkan oleh manusia.
Christoph Barth mengatakan bahwa hikmat erat kaitannya dengan karya penyelamatan yang dilakukan Allah atas umat Israel. Para raja yang diangkat-Nya diberikan hikmat supaya mempu melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya, dan mendatangkan syalom (damai sejahtera) atas rakyatnya serta seluruh umat Israel yang terpanggil harus hidup dengan hikmat dan kebijaksanaan. Selain itu, Yesaya 33:6 mengatakan bahwa hikmat (hokhmah) dan pengetahuan (da’at) takut akan YHWH, itulah adalah kekayaan yang menyelamatkan, dan itulah kekayaan Sion. bagi mereka supaya mengajarkan untuk memerintah mereka mengajar mampu memerintah dengan hikmat yang telah diterima, untuk membebaskan atau menyelamatkan umat-Nya dari penindasan, ketidakadilan. Allah ingin mereka mendatangkan damai sejahtera bagi umat-Nya. Oleh sebab itu tidak heran, bahwa banyak para raja atau para pemimpin Israel yang dikecam oleh para nabi Tuhan karena tidak mendatangkan damai sejahtera bagi umat-Nya dan itu jelaslah bukanlah hikmat, sebab hikmat dari Allah tidak pernah bekerja sama dengan ketidakadilan, penindasan, pemerasan, kekerasan dan bentuk kejahatan lainnya.
Dari semua penjelasan di atas dapat kita simpulkan, bahwa hikmat adalah suatu kualitas kecerdasan intelektual yang diberikan Allah kepada manusia, yang lebih tinggi nilainya dari kemampuan intelektual itu sendiri, yang mengatur jalan hidup manusia sehari-hari secara praktis dan terampil, serta yang mambawa manusia kepada keberhasilan hidup untuk kemuliaan-Nya. Hikmat selalu bersahabat dengan kebenaran, berpihak kepada realitas dan mendatangkan benih-benih kehidupan bukan kematian.

d. Ciri-ciri Umum dari Hikmat Israel
Sebelum melihat perbedaan yang sangat tajam antara pengajaran hikmat di Israel dengan pengajaran hikmat dari bangsa-bangsa non-Israel. Maka ada baiknya terlebih dahulu kita melihat apa yang menjadi ciri-ciri dari hikmat Israel:
1. Pengajaran hikmat itu sendiri didasarkan pada “takut akan Tuhan”. Ini tidak hanya sekedar ungkapan, tetapi merupakan inspirasi yang berasal dari Allah yang kemudian terungkap melalui kata-kata orang berhikmat yang hidup takut akan Tuhan. Kata-kata yang keluar memberikan kehidupan bukan kematian, selanjutnya pendengarnya merasa disembuhkan dan bukan dilukai.
2. Pengajaran hikmat itu selalu ditujukan kepada personal (perorangan). Sebutan istilah “anakku” dalam kitab Amsal muncul 23 kali, “anakmu” 3 kali dan “anaknya” juga 3 kali. Sapaan ini begitu pribadi dengan maksud memberikan didikan, disiplin, pengajaran dan binaan supaya menjadi seorang yang “bijak” sejati. Menjadi orang bijak sejati, memang bukanlah perkara yang gampang, tetapi itu adalah sebuah proses supaya seseorang bisa bertanggung jawab secara pribadi atas hidupnya dan mampu memilih jalan hidupnya sendiri.
3. Pengajaran hikmat itu mengingatkan orang untuk membedakan antara dua macam sikap dan perilaku orang yang bertentangan: yang baik dan benar, bijaksana di satu pihak, yang buruk dan salah dan bebal di pihak yang lain. Guru hikmat memberikan petunjuk-petunjuk hidup praktis yang saling terpisah satu sama lain (tidak dirangkai dengan urutan atau sistem yang nyata, melainkan mengajak si murid untuk menimbang, kemudian menarik kesimpulan sendiri. Tetapi dalam pengajaran hikmat itu sendiri juga mengandung tujuan yang khusus.
4. Pengajaran hikmat selalu dikemukakan dengan penuh keyakinan dan wibawa. Dalam proses penyampaian guru hikmat tidak menyampaikan pengeharan atas nama dan wewenang sendiri, karena mereka lebih menghormati seorang raja (Ams. 24:21), namun tidak berarti juga ia mengajarkan apa yang diperintahkan raja. Sebab seorang raja juga harus dipimpin oleh hikmat untuk bisa memimpin dengan baik (8:15; 20:28).
5. Pengajaran hikmat dipersonifikasikan. Ini merupakan suatu usaha untuk menjelaskan pemikiran-pemikiran oran Ibrani yang abstrak dengan pemikiran yang lebih kongkrit. Misalnya: “Ia bersama dengan Allah walaupun ia adalah ciptaan yang diciptakan Allah sebelum segala sesuatu ada. Hal serupa juga terdapat dalam Amsal 8:1-21 dan ayat 32-36; dan Amsal 1:1-20; Amsal 3:13-20. Terkadang hikmat juga dipersonifikasikan sebagai seorang yang berseru-seru dan memperdengarkan suaranya di tempat-tempat yang tinggi, di tepi jalan, dipersimpangan jalan-jalan, di sanalah ia berdiri” (Amsal 8:1, 2).

e. Tradisi Hikmat Israel: Refleksi Yang Melekat Pada Iman Kepada YHWH.
Pada satu pihak, tradisi-tradisi hikmat Israel merupakan refleksi terhadap pengalaman hidup manusia dan di pihak lain merupakan pernyataan illahi yang menuntunnya kepada kebenaran-Nya. Disebut sebagai penyataan illahi karena Israel mendasarkan tradisi hikmatnya pada karya penyelamatan Allah. Oleh sebab itu, dikatakan “permulaan hikmat adalah takut akan Tuhan dan mengenal yang Mahakudus adalah pengertian” (Amsal 9:10). Seperti yang sudah dijelaskan di atas bahwa “Takut Akan Tuhan” adalah menjadi salah satu ciri umum dari pengajaran hikmat di Israel. Kalimat “takut akan Tuhan” itu sendiri menempati posisi yang sangat pentig bagi Israel dan dalam kitab Amsal ada 15 kali kata “takut akan Tuhan” disebutkan (1:7, 29; 2:5; 8:13; 9:10; 10:27; 14:2, 26, 27; 15:16, 33; 16:6; 22:4; 28:14; 31:30). Selanjutnya takut akan Allah hanya satu kali (19:23). Semua itu memperlihatkan, bahwa hikmat yang dipahami umat Israel berbeda dengan hikmat yang dipahami oleh bangsa-bangsa non-Israel. Artinya yang lebih penting adalah tradisi-tradisi itu dikaitkan dengan iman kepada YHWH, sehingga pengkaitan inilah yang menyebabkan tradisi-tradisi hikmat itu mengalami pengaruh dan penekanan yang jauh lebih mendalam. Pemahaman seperti ini ditegaskan Robinson: “karena tradisi hikmat Israel mempunyai arti dan makna yang berbeda dengan tradisi-tradisi hikmat non-Israel. Maka tradisi hikmat tidak lagi dilihat hanya sebagai refleksi atas pengalaman manusiawi belaka, melainkan lebih jauh dari itu, yaitu sebagai penyataan Allah. Di sinilah letak teologis dari hikmat yang dipahami umat Israel. Setiap saat tradisi hikmat itu mengalami perubahan. Perubahan di sini dalam arti kontekstualisasi. Mengapa demikian? Karena pandangan tradisi hikmat sebelum pembuangan berbeda dengan pandangan tradisi hikmat sesudah pembuangan. Perubahan itu tentu terletak pada persoalan tentang arti hidup yang digumuli dalam periode-periode tertantu. Namun semuanya itu tidak pernah terlepas dari penyataan karya penyelamatan yang dilakukan Allah dalam periode-periode tertentu.
Dari apa yang telah dipaparkan secara panjang lebar di atas memperlihatkan beberapa hal yang harus digaris bawahi, yaitu pertama-tama, hikmat di Israel berakar pada takut akan Tuhan. Selanjutnya hikmat yang benar adalah mengakui dan mengenal YHWH Yang Maha Kudus (Amsal 9:10). G. Von Rad bertolak dari Amsal 2:5-8, ia mengatakan bahwa takut akan Allah dan pengenalan akan Allah, merupakan karunia Allah yang mula-mula. Karunia itu berada di luar dunia dan kehidupan manusia. Oleh sebab itu setiap orang yang mendengar berita ini sekaligus juga merupakan penawaran keselamatan yang bersifat pribadi. Maka penawaran itu merupakan saat yang paling berharga dan bahkan menuntut seseorang untuk tidak melewatkannya. Dengan demikian seseorang dituntut harus segera mengambil sebuah keputusan atas tawaran yang berharga itu.




f. Analisis Teks dan Terjemahan Amsal 8:10-11
WTT : Amsal 8:10 “ qehû|-mûsärî we´al-käºsep wedaº`at mëhärûs nibhär ”

• LAI : “Terimalah didikanku, lebih dari pada perak, dan pengetahuan lebih dari pada emas pilihan”.
• Terj. Usulan : Terimalah disiplinku dan bukan perak, dan pengetahuan lebih dari pada emas pilihan.

Kata we´al-käºsep > : “dan bukan perak”, LAI : “lebih dari pada perak”, karena itu menurut saya terjemahan LAI kurang tepat serta melewatkan kata penghubung “we” yang artinya “dan”, yang fungsinya sebagai penghubung antara kata “pengajaran” dan “perak”. RSV dan NIV menterjemahkan we´al-käºsep: “instead of silver”, KJV: “and not silver”. Selanjutnya adalah kata “musari” : “disiplinku, LAI : didikanku”, menurut saya ini juga kurang begitu tepat karena dalam bentuk aslinya ada akhiran ganti. Sedangkan terjemahan LAI akhiran gantinya dihilangkan, sehingga yang diterjemahkan dari kata dasarnya, yaitu “musar” yang tanpa akhiran ganti. Namun meskipun demikian terjemahan itu tetap dipertahankan karena “didikan” itu adalah disiplin khusus, yaitu arti lain dari “musar” ialah “disiplin” si pengajar, sedangkan “pengetahuan” yang ada pada si pengajar bukan miliknya sendiri secara khusus. Artinya “pengetahuan” yang dimiliki itu pun seperti pemberian.

WTT : Amsal 8:11 “ kî-tôbâh hokmâh mippenînîm wekol-hápäsîm lö´ yišwû-bäh “
• LAI : “Karena hikmat lebih berharga dari pada permata, apa pun yang diinginkan orang, tidak dapat menyamainya.”
• Terj. Usulan : Karena hikmat lebih baik (lebih berharga) dari permata, dan segala kesenangan yang diinginkan orang tidak dapat menyamainya.
Terjemahan LAI tetap mengabaian preposisi “we”: “dan”. Padahal jika penghubung itu dihilangkan maka kalimat itu putus secara mendadak. Meskipun tidak terlalu berpengaruh pada terjemahan itu sendiri. Sedangkan selebihnya tetap dipertahankan.

g. Tafsiran Amsal 8:10-11

Ayat 10.
Perikop ini dimulai dengan kata “terimalah”, yang merupakan sebuah perintah dari guru hikmat yang mendorong para murid untuk menerima disiplinnya. Kemudian perintah itu lebih dipertajam lagi dengan kata “dan bukan”. Tujuannya: untuk memperlihatkan betapa tingginya nilai hikmat yang diajarkannya, yaitu lebih tinggi dari nilai “perak” (ay.10a). Kemudian tawaran itu semakin meningkat yang nilainya lebih tinggi dari “perak”, yaitu “emas pilihan” (emas murni) (ay.10b). Namun ternyata baik “perak” maupun “emas pilihan” tidak bisa mengatasi nilai hikmat yang ditawarkan. Pertanyaannya adalah kenapa demikian? Karena dasar dari pengajaran hikmatnya adalah “Takut Akan Tuhan”. Baik perak maupun emas merupakan logam mulia yang paling tinggi nilainya. Emas sangat digemari, pada masa Salomo membangun Bait Allah, emas dipakai pada alat-alat yang paling utama di kemah Suci (Kel. 25). Namun sayang semua itu tidak ada nilainya bila dibandingkan dengan hikmat yang Allah berikan. Yeremia 6:29-30 menggambarkan Israel sebagai perak yang ditolak karena tidak setia dan taat kepada Allah. Perintah itu merupakan suatu larangan supaya si murid tidak salah pilih, tetapi benar-benar melihat bahwa tawaran itu sebagai anugerah Allah yang mulia, yang nilainya lebih tinggi dari perak dan emas pilihan. Itu adalah sebuah kesempatan, jika diabaikan maka anugerah yang berharga itu akan lewat dan tidak akan pernah kembali lagi.

Ayat 11.
Pada ayat 10 kita telah melihat bahwa bentuk “perintah” yang diiringi dengan bentuk “larangan”, yang merupakan kalimat motif untuk menjelaskan alasan bagi dorongan yang diberikan kepada si murid. Artinya ayat 11 ini merupakan alasan untuk memberi jawab atas apa yang dituliskan penulis kitab Amsal pada ayat 10. Namun sangat penting untuk digaris bawahi, yaitu guru hikmat sama sekali tidak bermaksud untuk merendahkan nilai perak, emas pilihan dan permata, tetapi untuk memperlihatkan bahwa nilai hikmat jauh lebih tinggi nilainya dibandingkan nilai perak, emas pilihan dan permata, walaupun barang-barang itu amat berharga. Karena tingginya nilai hikmat tersebut, maka penulis Amsal mengkongkritkan hikmat yang masih abstrak dengan sebuah kalimat pendek pada ayat 11b, yaitu “dan segala kesenangan yang diinginkan orang tidak dapat menyamainya”. Karena dasar hikmat yang sejati adalah “Takut Akan Tuhan”, maka tidak ada kesenangan dan kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan orang yang hidup dengan “Takut Akan Tuhan”, sebab segala sesuatu bersumber pada-Nya.

Kesimpulan
Hikmat adalah suatu kualitas kecerdasan intelektual yang diberikan Allah kepada manusia sebagai petunjuk praktis untuk menjalani hidup sehari-hari, serta membawa manusia kepada keberhasilan hidup atau sebagai kunci keberhasilan yang sesuai dengan kehendak Allah. Oleh sebab itu, kata “Takut Akan Tuhan” menempati posisi yang sangat sentral (utama). Takut akan Tuhan dan pengenalan akan Allah, merupakan penyataan illahi dan karunia Allah yang mula-mula, yang berada di luar dunia dan kehidupan manusia. Setiap orang yang mendengar berita ini yang sekaligus merupakan penawaran keselamatan yang paling berharga dan bersifat pribadi, dan bahkan menuntut seseorang untuk tidak melewatkannya. Tetapi menuntut seseorang untuk segera mengambil sebuah keputusan atas tawaran yang berharga itu, untuk menuntun manusia kepada kebenaran-Nya. Hikmat selalu bersahabat dengan kebenaran, berpihak kepada realitas dan mendatangkan benih-benih kehidupan dan bukan kematian. Dengan demikian hikmat-Nya merupakan sumber kehidupan yang menuntun orang untuk hidup saleh menurut kehendak Allah.














KEPUSTAKAAN

Barth Christoph, Theologia Perjanjian Lama-Vol. 3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1988.
Blommendaal J., Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1996.
Browning W.R.F, Kamus Alkitab - A Dictionary Of The Bible. Trje. Lim Khiem Yang (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2007.
Ensiklopedi Alkitab Masa Kini, Jilid-II, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/ OMF 2004
Keil C. F. dan Franz. Delitzsch, Biblical Commentary On The Proverbs Of Salomon Vol. 1, (USA: Wm. B. Eedmans Publishing Company Grand Rapids), 1872.
Farmer Kathleen A., International Theological Commentary-Proverbs & Ecclestes-Who Knows What is Good?, (USA: Wm. B. Eermans Publishing Company, Grang Rapids, Michigan, 1991.
Fox Michael V., The Anchor Bible Proverbs 1-9 – A New Translation With Introducation And Commentary (USA : Doubleday), 2000.
Groenen C., Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius), 2005.
Kindner Derek, Proverbs – An Introducation And Commentary, (General Editor: Prof. D. J. Wiseman), (London: The Tyndale Press) 1964.
Longman Tremper III, Hikmat & Hidup Sukses-Panduan Untuk Memperoleh Manfaat Dari Kitab Amsal (Jakarta: Persekutuan Pembaca Alkitab) 2007.
Ludji Barnabas, diktat kuliah HPL 3 (Cipanas), 2008.
Rad G. Von, Old Testament Theology - The Theology Of Israel’s Historical Traditions Vol. 1, (Edinburgh and London: Oliver and Body LTD), 1962.
Robinson H. Wheeler, Inspiration and Revelation In The Old Testament, (Oxford at The Clarendon), 1960.
Roedi Isak, Diktat Kuliah Studi Amsal (Cipanas), 2009.
Scott R.B.Y., The Anchor Bible Proverbs-Ecclesiastes- A New Translation With Introduction And Commentary (USA: Doubleday & Company, Inc.), 1973.
Sinulingga Risnawaty, Tafsiran Alkitab – Kitab Amsal 1-9 (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2007.
Suharyo I., Mengenal Alam Hidup Perjanjian Lama, (Yogyakarta: Kanisius-LBI), 2003.
Wahono S. Wismoady, Di Sini Kutemukan (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2004.
Weiden Wim van der, Seni Hidup-Sastera Kebijaksanaan Perjanjian Lama (Yogyakarta: LBI-Kanisius), 1995.
Weiden Wim van der, Kebijaksanaan Salomo (Yogyakarta: Kanisius-LBI), 1990.
Wuysang Hans, Diktat Kuliah HPL 1, (Cipanas), 2007.

Injil Lukas dan Kisah Para Rasul: Kemuridan

Oleh: Sugiman

Karya Allah dalam diri Kristus menuntut suatu tanggapan, dan sama gamblangnya dengan para penulis Injil lainnya Lukas menyatakan bahwa orang harus memberikan tanggapan. Lukas menjelaskan cara yang di mulai dengan pertobatan dan ini harus dilakukan dengan sepenuh hati. Agama Kristen sebagai “jalan Allah” , Lukas memandang kekristenan sebagai suatu cara hidup yang menyeluruh, bukan sekedar sebagai sarana pemuasan dorongan-dorongan religius belaka. Mengikut Yesus memerlukan kebulatan hati, Lukas menyatakan dengan tegas tanggapan ini dibandingkan Injil-injil lain. Sebab para calon murid harus menyangkal diri dan memikul salib yang dilakukan setiap hari.
Beberapa ajaran Yesus tentang kemuridan dalam Injil Lukas adalah:
 menjadi murid Yesus berarti mengasihi-Nya sedemikian rupa, sehingga kasih duniawi yang terbesar sekali pun tampak bagaikan kebencian, bila dibandingkan dengan kasih untuk-Nya itu.
 menentukan para calon murid dengan mengajukan pertanyaan: (1) “Dapatkah engkau memenuhi tuntutan menjadi seorang murid?”. (2) “Dapatkah kamu menolak menjadi murid?”
 kegiatan yang harus dijalani, adalah (1) segala sesuatu dilakukan dihadapan hadirat Allah sebagai bentuk pertanggungjawaban. (2) menyadari bahwa kemuridan itu menyangkut seluruh kehidupannya dan bukan hanya beberapa aspeknya.

Pola Kehidupan
 Paulus menjadi contoh pola hidup orang Kristen, karena Paulus taat (Kis 26:19) kepada Kristus dengan giat bekerja untuk Allah. Tanggapan yang diharapkan Lukas dari semua orang yang mau menyatakan diri sebagai pengikut Kristus adalah berbalik kepada Tuhan (Kis 3:19) dengan menjadi “hamba” Allah, mencari Dia (Kis17:27), dan takut akan Dia (Kis 10:2) serta memuji dan memuliakan Allah (Kis 12:23).
 Paulus percaya kepada Allah (Kis 27:25), iman sangat penting bagi Lukas. Iman sering dihubungkan dengan penyembuhan. Injil Lukas sering menyatakan “Imanmu telah menyelamatkan engkau” (7:50) dan iman “dalam nama Yesus” (Kis 3:16).

Universalisme
Lukas menyatakan bahwa keselamatan dalam Kristus itu terbuka bagi semua orang dari segala ras, dan kota Yerusalem sebagai klimaks dari karya keselamatan Allah. Ia menekankan peranan Yerusalem dan juga segala sesuatu yang bersifat Yahudi sebagai dasar agama Kristen.
Semua bangsa termasuk dalam lingkup keselamatan, yaitu seluruh dunia orang-orang dari Timur dan Barat, dari Utara dan Selatan.
Kepada orang-orang yang tersisih dan orang-orang yang belum percaya, seperti orang-orang Samaria.
Perhatian Lukas kepada universalisme Injil tidaklah terbatas pada lingkup nasional dan geografis saja tetapi orang dari segala bangsa masuk ke dalam lingkup aktivitas Kristus yang menyelamatkan itu dan juga penting bahwa Injil disampaikan kepada kelompok orang yang dalam hal tertentu dirampas hak-haknya.

Kaum Wanita
Kaum wanita dianggap lebih rendah daripada kaum pria. Dalam kebudayaan Yahudipun terjadi hal demikian. Kedudukan wanita dianggap lebih renah. Wanita wajib setia kepada suaminya, tetapi dia tidak dapat menuntut hal yang sama kepada suaminya. Menurut Jews Encyclopedia, wanita Yahudi tidak dapat menjadi saksi di pengadilan, mereka dianggap sama dengan orang-orang rendah dan mereka tidak ikut dalam kelompok yang menumpangkan-tangan ke atas binatang yang akan dikurbankan. Para rabi tidak menerima wanita sebagai murid. Mereka menganggap sebagai perbuatan dosa ketika mereka mengajar seorang perempuan. Dalam dunia Yunani dan Romawi, sebelum wanita itu menikah, maka ia akan tetap berada di bawah perwalian ayahnya ataupun sanak saudaranya yang laki-laki. Seorang wanita yang sudah akan tunduk di bawah kekuasaan suaminya. Kalau ia tidak dapat memuaskan suaminya, maka ia dapat dikembalikan ke keluarganya atau ke suami lainnya. Di Roma, kedudukan wanita lebih baik walaupun kedudukannya masih tetap lebih rendah daripada pria.
Sikap kristiani lebih terbuka terhadap kaum perempuan. Ini terlihat ketika Yesus mengajar para wanita. Misalnya Maria dan Marta. Sekelompok wanita juga mengiringi perjalanan-perjalanan Yesus. Di sini kita dapat melihat bahwa pandangan Yesus berbeda dengan pandangan orang-orang lain.
Injil Lukas dibuka dengan kisah masa kanak-kanak Yohanes pembabtis dan Yesus. Sudah tentu Injil ini memberi banyak perhatian terhadap para wanita. Misalnya saja: Elisabeth dan Maria, Hana dan janda Nain dengan anak tunggalnya yang dibangkitkan. Lukas juga mengisahkan tengtang wanita bungkuk yang tidak dapat menegakkan tubuhnya, namun pada suatu kali ketika hari Sabat, ia mendapat berkat. Kisah wanita yang bungkuk ini hanya terdapat dalam Injil Lukas. Mungkin hanya Lukas juga yang mengisahkan seorang wanita yang menangis di kaki Yesus ketika Yesus sedang makan di rumah orang Farisi. Lukas dan Markus juga mengisahkan tentang persembahan janda miskin. Ini dapat kita pandang sebagai perhatian Lukas kepada kaum wanita (Luk.21:1-4). Lukas juga menyebutkan beberapa wanita yang bukan Kristen seperti Kandake ratu Etiopia, Drusila isteri wali negeri Feliks. Melalui injil Lukas kita ditolong untuk meelihat perubahan-perubahan luar biasa pada status wanita yang diadakan oleh agama Kristen. Tidak ada penulis PB lain yang lebih jelas menerangkan status kau wanita. Kita juga dapat melihat ketika para rasul melarikan diri ketika yesus ditangkap, tetapi beberapa wanita hadir ketika Yesus disalibkan. Di dalam Alkitab, wanita memiliki peranan penting. Begitu juga dalam jemaat mula-mula, ketika Pentakosta. Disebutkan tidak hanya laki-laki yang percaya, tetapi juga perempuan.

Anak-anak
Bagi dunia kuno dan para guru besar khususnya tidak menganggap anak-anak itu berarti. Tetapi Yesus memberikan perhatian yang luar biasa terhadap anak-anak. Hal ini dicatat oleh Lukas, Matius dan Markus. Ia mengisahkan dibangkitkannya anak perempuan Yairus dari antara orang mati (8:41-56). Lukas juga menceritakan tentang seorang yang anaknya sering mendapat serangan penyakit (9:38-43). Rincian yang sama juga terdapat dalam cerita dibangkitkannya janda Nain (7:12).lukas juga mengisahkan tentang anak yang diambil oleh Yesus untuk mencari seorang anak. Lukas menyelipkan satu ayat tentang anak-anak. Ketika dia mengisahkkan episode tentang seorang yang temannya datang tengah malam untuk meminjam roti. Orang itu enggan meminjamkan dan mengajukan keberatan-keberatan;pintu sudah terkunci dan anak-anak sudah tidur bersamanya. Dalam kehidupan nyata, perhatian Lukas ini dapat kita lihat belakangan dalam kisah-kisah tentang anak-anak Tirus yang bersama dengan ibu mereka untuk menghantar Paulus yang akan berangkat (Kis.21:5). Melalui perhatiannya yang sangat istimewa kkepada anak-anak, Lukas mengarahkan perhatian kita kepada aspek universalisme yang terkandung dalam pemberitaan Kristen. Baik dewasa maupun anak-anak berharga di mata Allah.

Kaum Miskin
Lukas mempunyai perhatian khusus kepada kaum miskin. Ia memakai kata ptochos, “miskin” sepuluh kali, sedangkan Matius dan Markus hanya lima kali. Selanjutnya Lukas memakai kata plousious sebelas kali, sementara Matius dan Markus masing-masing sebanyak tiga dan dua kali. Kebanyakan ia memakai kata “kaya” untuk mengingatkan orang akan bahaya kekayaan, sehingga istilah itu cocok kalau dipakai bersamaan dengan kata “miskin.” Hal pertama yang disebutkan di sini tentang pelayanan Yesus adalah bahwa pelayanan-Nya itu diperuntukan bagi kaum miskin. Hal ini terungkap juga pada jawaban Yesus kepada para utusan Yohanes pembaptis (7:19). Yesus menjawab dengan mengingatkan orang pada karya-karya belas-kasihan-Nya, ketika Ia memberikan penglihatan kepada orang buta, lalu sebagai puncaknya Ia berkata “kepada orang miskin diberitakan kabar baik” (7:22). Itulah yang membuktikan kebenaran bahwa Mesias dari Allah benar-benar sudah datang.
Ucapan bahagia pertama dalam injil Lukas berbunyi “Berbahagialah kamu hai orang miskin” (6:20). Tidak mudah memahami bagaimana Yesus bisa menyebut orang bahagia karena sesuatu yang tidak mereka pilih sendiri, bahkan yang berusaha mereka hindari. Kata-kata Yesus mau mendorong semangat orang-orang yang telah meninggalkan segala sesutu untuk mengikuti-Nya. Jelas mereka itu miskin karena dunia ini menilai tinggi kekayaan, namun itu bukanlah pertimbangan yang paling penting. Meskipun mereka miskin, mereka diberkati secara melimpah. Kepada orang miskin semacam itulah seluruh pelayanan Yesus ditujukan. Sangat jelas bahwa Lukas menaruh perhatian luas biasa kepada orang miskin, mereka muncul dalam perumpamaan-perumpamaannya. Jadi perhatian istimewa Lukas kepada orang miskin merupakan ciri karyanya. Hal itu menggarisbawahi pentingnya sikap yang tepat di hadapan Allah dan mudahnya kekayaan material menjauhkan orang dari Allah.

Orang yang dipandang Hina
Ajaran Lukas tentang universalisme tampak dari cara dia mengungkapkan kebenaran bahwa Kristus membawa keselamatan bagi orang yang dipandang hina di dunia ini. Dalam Lukas orang-orang yang dipandang hina adalah pemungut cukai (18:9-14), pelacur (7:37-50) dan sejumlah perumpamaan dalan injil (7:41-42; 12:13-21; 15:11-32; 16:1-12; 18:1-8). Jelas Lukas tidak peduli dengan pola-pola kebenaran yang konvensional. Ia benar-benar menyadari bahwa Yesus ingin sekali menyelamatkan orang-orang berdosa dari dosa-dosa mereka dan bahwa Ia sering bergaul dengan orang-orang yang dihukum dan ditolak oleh pemuka agama waktu itu. namun hidup berdosa bukanlah jalan Kristen. Lukas mau menjelaskan kepada kita bahwa ada harapan bagi orang jahat dan yang paling dihina masyarakat. Para pengikut Yesus tidak boleh putus asa pada siapa pun.

Individu
Di mata banyak orang yang memandang secara positif mengenai individual. Karena pribadi orang mempunyai kehendak dan dorongan menuju kebebasan yang harus dijinakan. Karena jika tidak, individu akan membahayakan masyarakat. Namun tidaklah demikian dengan Lukas. Injil adalah suatu berita agung, suatu berita untuk diterapkan secara universal. Meskipun ia menganggap agama Kristen itu agung, Lukas tidak pernah lupa akan pentingnya tiap individu. Ia bercerita kepada kita tentang banyak individu yang tidak kita temukan di lain tempat. Lukas menceritakan mengenai banyak orang yang tidak kita kenal kalau tidak melalui dia, contohnya saja; janda dari Nain yang anak tunggalnya meninggal, Maria dan Martha, Zakheus dan kedua murid dalam perjalanan ke Emaus, dan masih banyak lagi. Menyebutkan secara terperinci semua orang yang disebutkan oleh Lukas berarti membuat suatu daftar yang sangat panjang.
Sudah jelas bahwa Lukas menaruh perhatian besar pada individu-individu, baik yang mendukung kepercayaan Kristen maupun yang menentangnya denagn gigih. Ia sadar betul bahwa di hadapan Allah orang yang paling hina dari antara jemaat-Nya pun mempunyai arti penting.

Doa
Donald Guthrie mengatakan bahwa doa tidak terpisahkan dari prinsip-prinsip iman Kristen. Karena betapa pentingnya doa, maka tepat jika Ronnie W. Floyd mengatakan bahwa “tidak terhitung banyaknya cerita-cerita tentang bagaimana para pendoa ini membaktikan hidup mereka dengan berseru kepada Tuhan”. Jika kita melihat dalam pemberitaan Paulus, ia juga memandang pentingnya doa “mengucap syukur”. Demikian juga dalam tulisan-tulisan Lukas yang melihat doa sebagai aktivitas yang sangat penting orang percaya. Ia menyebut doa dengan istilah “proseuche”, di samping itu Lukas juga menggunakan istilah “deesis” untuk menyebut doa. Kedua istilah ini digunakan Lukas untuk menekankan pentingnya “doa”. Karena melalui Kristus Allah telah melaksanakan karya pentelamatan, maka sebagai konsekuensinya bagi orang percaya adalah bahwa kekuatan dan kebijaksanaan yang dibutuhkan supaya senantiasa dapat menjalani hidup Kristen bersama Allah. Yesus juga berdoa berdoa dalam melaksanakan tugas pelayanan-Nya dan bahkan secara intendif hal itu dilakukan-Nya saat menghadapi krisis (Luk. 3:21; 5:16; 6:12; 9:18, 28-29; 10:21-22; 11:1; 22:41-45; 23:46). Yesus juga mengajar para murid (Luk. 11:1-4) dan menasihatkan mereka untuk berdoa (Luk. 22:40, 46). Doa tidak hanya bersifat pribadi (berdoa gukan hanya untuk kebutuhan sendiri), tetapi saling mendoakan karena doa yang sejati tidak bersifat egoistis.

Sukacita Bagi Dunia
Lukas memandang bahwa agama Kristen sebagai suatu kepercayaan yang memenuhi seluruh kehidupan dengan sukacita, apapun yang dibuatnya. Bo Reicke mengatakan “ tidak ada penulis Injil atau penulis Perjanjian Baru lain yang lebih sering membicarakan tema sukacita dibandingkan Lukas. Ia kadang-kadang sama dengan penulis Injil Sinoptis lainnya; namun ia “juga berbicara tentang sukacita di banyak nas lainnya dan jauh melampaui penulis Perjanjian Baru lainnya yang sering memakai kata “sukacita”. Perhatian Lukas mengenai “sukacita” itu terlihat dalam Injilnya, yaitu mulai dari awal hingga akhirnya berbicara panjang lebar mengenai sukacita demikian juga dengan sukacita yang dibicarakan dalam Kisah Para Rasul, seperti yang dialami oleh Barnabas ketika di Antiokia (Kis. 11:23), Paulus ketika berada dalam penjara di Filipi juga bersukacita (16:25) dsb. Lukas memperlihatkan alasan yang mendasar mengapa mereka bersukacita, yaitu baik yang dalam Injilnya maupun dalam Kisah Para Rasul. Sukacita yang keluar yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang mendalam dengan penuh ucapan syukur itu terungkap secara spontanitas ketika mendengar kedatangan Sang Juruselamat. Dengan demikian orang memuliakan dan memuji Allah karena karya keselamatan dan kebaikan-Nya.

Katolisisme Awal
Menurut para ahli Lukas adalah penggerak pertama yang melakukan perubahan apa yang disebut dengan katolisme awal dan kadang-kadang dalam pross tersebut menyelewengkan atau menghilangkan ajaran-ajaran penting dari agana Kristen mula-mula. Dalam banyak diskusi soal eskatologi sering sekali muncul dalam pandangan Kasemann katolisme awal sudah terbentuk pada saat pengharapan bahwa parousia akan terjadi dalam waktu dekat sudah lenyap. Jemaat pertama dahulu hidup terus-menerus dalam pengharapan bahwa Yesus bisa datang setiap saat, suatu pengharapan yang menghapuskan sama sekali kebutuhan akan institusi. Akan tetapi bagi Lukas, gagasan bahwa Yesus akan segera kembali sudah menjadi kabur; ia lebih memperhatikan suatu kehidupan jemaat yang sudah mapan, sebagaimana ditujukan dalam sejarah awal jemaat yang ditulisnya. Dalam pandangan ini keselamatan itu merupkan suatu harapan yang baru akan terlaksana pada masa depan; keselamatan itu ditunda sampai pada parousia yang masih jauh.
Terhadap pandangan ini kita bisa mengajukan beberapa pandangan. Ide bahwa jemaat yang mula-mula dulu setiap hari hidup dalam pengharapan akan kedatangan kembali Kristus tidak mempunyai dasar yang kuat yang mau diyakinkan kepada kita oleh para pengikutnya. Tidak ada petunjuk apa pun yang menyatakan bahwa tiap orang percaya berpendapat bahwa pemberitaan injil harus berhenti pada waktu Yesus naik ke surga. Orang selalu berpikir ada masa selang, tetapi berapa lama selang itu tidaklah diketahui orang.
Kedua, sebagaimana yang dilukiskan Lukas, jemaat tidak menempatkan keselamatan pada suatu masa depan yang masih jauh, tetapi memandangnya sebagai realitas masa kini. Roh Kudus aktif bekerja di tengah orang-orang beriman, dan Kisah Para Rasul sangat mengagumi makna penting dari kegiatan Roh itu. selain itu jemaat selalu menoleh ke Kalvari. Karena para penulis PB melihat bahwa berita tentang salib sangat penting.

Eskatologi
Orang-orang yang memandang Lukas sebagai salah seorang pembentuk katolisisme awal kurang begitu memperhitungkan perhatian Lukas pada eskatologi. Menurut Kasemann, usaha Lukas untuk menulis sejarah agama Kristen sebagai sejarah sekuler “menjadi mungkin hanya jika eskatologi Kristen yang mula-mula, yakni kekuatan dinamis dari pewartaan Perjanjian Baru memudar”. Padahal jika kita melihat kalimat yang dicatat oleh Lukas sangat jelas bahwa ia mengakui eskatologi. “Kapak sudah tersedia pada akar pohon” (3:9), “Kerajaan Allah sudah dekat padamu” (10:9), jika pemberitaan itu tidak diterima maka debu kota itu harus dikebaskan dari kaki mereka di depan penduduknya sambil berkata “Tetapi ketahuilah ini: Kerajaan Allah sudah dekat” (10:11); Kerajaan Allah ada “di antara kamu” (17:21) . Selanjutnya Lukas memuat ungkapan “Hendaklah kamu sama seperti otang-otang yang menanti-nantikan tiannya...” (12:39) ini memiliki paralel dengan Matisu, tetapi jelas banyak hal yang dicatat oleh Lukas tidak dicatat oleh Matius. Ini memberi kode kepada kita bahwa Lukas bisa jadi memiliki pandangan sendiri tentang eskatologi. Lebih lanjut lagi pengenai pesta perjamuan (14:15). Menurut pemahaman Yahudi perjamuan mesianis merupakan bagian integral dari gambaran tentang eskatologi, jadi ketika Yesus berbirara tentang perjamuan malam, bisa jadi yang ada dalam pikiran-Nya adalah sesuai dengan paham orang Yahudi. Inilah yang dikatakan Bo Reicke, bahwa “Perjamuan hanyalah titik tolak untuk merefleksikan eskatologi. Jika demikian berarti sebagian para ahli yang menilai, bahwa Lukas mengabaikan eskatologi adalah sebuah kesalahan. Justru pandangan mereka sendiri itulah yang menutup mata mereka sehingga tidak dapat melihat bahwa Lukas mempunyai cara bekerja tersendiri. Artinya sudah pasti Lukas mengakui bahwa Yesus berbicara mengenai parousia, sebab ia memasukan juga ucapan: “Pada waktu itu orang akan meliahat Anak Manusia datang dalam awan dengan segala kekuasaan dan kemuliaan-Nya (21:27). Karena bagi Lukas bagaimana pun eskatologi itu adalah penting. Dan dia tidak mau para pembacanya mencampuradukan eskatologi dengan peristiwa lain dalam sejarah manusia.

Firman
Lukas mengawali Injilnya dengan menyebut “saksi mata dan pelayan Firman (1:2). Selanjutnya ia menyebut “firman Allah” sebanyak 4X dan 3X lagi ia memakai kata “firman”, jalas yang dimaksudkan adalah firman Allah. 1X ia memakai “firman Tuhan”. Dalam Kisah Para Rasul penyebutan di atas lebih meningkat lagi, yaitu “firman Allah” disebut 13X, “firman Tuhan” 10X, “firman” sendiri 13X, selanjutnya juga ada sebutan “firman kasih karunia” dan masing-masing 1X, selanjutnya ada sebutan “firman keselamatan ini” (LAI: “kabar keselamatan” Kis. 13:26) dan “firman Injil ini”. Dari sekian banyak penyebutan di atas ingin menunjukan bahwa ini adalah suatu cara yang digunakan Lukas untuk menekankan pentingnya “firman”. Selain itu Lukas juga ingin mengatakan bahwa apa yang ia tuliskan dalam Injilnya adalah kebenaran yang harus diketahui oleh pembacanya (1:4). Dia menjelaskan bahwa ia telah meneliti segala sesuatu dan menyebut adanya saksi mata (ay.2). Dengan kata lain bahwa apa yang diberitakannya adalah cerita yang benar-benar/ sungguh-sungguh asli dan bisa dipercaya mengenai apa yang diimani orang tentang Yesus. Dengan demikian para pengajar Kristen harus berpegang teguh pada ajaran-ajaran tradisional, jika mereka mau diterima sebagai ajaran yang asli tentang Yesus.

Kesimpulan
Di dalam diri Kristus Allah telah melaksanakan karya penyelamatan yang menyeluruh atau bersifat total dan karya itulah yang menjadikan kita murid-murid Kristus. Akan tetapi menjadi tidak berhenti di situ, yaitu duduk diam serta menikmati keselamatan yang besar itu tanpa tanggapan. Melainkan penulis Injil Lukas sama dengan penulis Injil lainnya yang menekankan pentingnya respons terhadap karya penyelamatan Allah yang besar, yang telah dikerjakan Allah di dalam Yesus Kristus di kalvari.

Tanggapan
Secara keseluruhan pembahasan pada topik Injil Lukas dan Kisah Para Rasul sudah cukup baik. Artinya kekuatan dan kelemahan atau keunggulan dan kekurangan dari setiap penulis buku itu tetap ada. Kekuatan dan kelemahan dari buku ini, terutama mengenai topik pembahasan di atas adalah pembelaan habis-habisan terhadap pola pikir, metode-metode yang dilakukan Lukas mengenai kemuridan. Artinya penulis Injil Lukas memiliki nilai lebih yang sebenarnya tidak pernah diperhatikan oleh para ahli lainnya. Kelemahannya adalah buku ini tidak memperlihatkan atau menyoroti efek dari pemberitaan Lukas, yaitu seperti apa respons perama dari pembaca Injil Lukas.