Selasa, 09 Februari 2010

AJARAN ETIS PAULUS TENTANG PEREMPUAN DALAM 1 TIMOTIUS 2:8-15

Oleh: Sugiman
Pendahuluan
Surat 1 Timotius 2:8-15 adalah salah satu perikop Alkitab yang sering digunakan atau dikutip oleh gereja-gereja tertentu yang dijadikan dasar sebagai pembatas antara laki-laki dan perempuan, khususnya dalam kepemimpinan gereja itu sendiri. Memang harus diakui, tidak semua gereja demikian. Namun hingga saat ini pun hal itu masih menjadi perdebatan, misalnya perempuan tidak boleh naik mimbar, tidak boleh menjadi pemimpin atau “mengatur” laki-laki. Alasannya adalah, kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, oleh sebab itu muncullah “teori peminisme”. Maka dalam paper ini kita akan melihat mengenai ajaran etis Paulus tentang perempuan dalam 1 Tim 2:8-15.

Pembahasan
a) Latar belakang historis
Siapa penulisnya 1 Timotius dan kapan ditulis, ternyata masih menjadi perdebatan hingga saat ini. Ada pendapat, surat ini ditulis oleh Paulus di Makedonia (1 Tim 1:3) sekitar tahun 63 M, yaitu setelah dia dibebaskan dari tahanan di Roma atau antara tahun 60 dan 64 . Ahli yang lain berkisar antara tahun 60 dan 64 M. Namun Walter Lock, membantah karena menurutnya bukti-bukti yang diajukan di atas tidak mencukupi untuk memastikan Paulus sebagai penulisnya. Dilihat dari strukturnya, tema-tema yang dibahas, gaya bahasanya dan pemikiran dalam isi surat juga tidak berurutan secara teratur serta seperti surat-surat Paulus yang otentik. Linguistik yang berbeda dengan surat-surat Paulus yang lainnya kecuali surat pastoral. Misalnya ada frasa “pistos o logos” (1 Tim 1:15; 3:1; 4:9; 2 Tim 2:11; Titus 3:8); dari segi ungkapan teologis penggunaan kata “epiphaneia” artinya “penyataan” dari kata kerja epiphane. KJV, NIV dan RSV menterjemahkannya dengan “appearing, appearance, epiphany” (1 Ti 6:14; 2 Tim 1:10; 4:1, 8; Tit 2:13). Kata epiphane tidak hanya untuk kedatangan Yesus kembali, tetapi juga untuk kehadiran-Nya di dunia. Jika demikian bagaimana kita dapat menjelaskannya? Paling tidak ada tiga alasan untuk menjelaskan perbedaan di atas: pertama, para ahli berpendapat bahwa bukan Paulus sendiri yang menulisnya melainkan sekertarisnya (amanuensis) sehingga agak bebas dan berbeda dengan tulisan-tulisan Paulus terdahulu; kedua, pendapat mayoritas bahwa surat ini memakai nama Paulus sebagai nama samaran (pseudonim), dengan maksud untuk menyembunyikan identitas penulis yang sebenarnya. Cara demikian adalah lazim saat itu, dan kemungkinan penulisnya pernah ditolak oleh masyarakat atau jemaat, maka supaya pemikirannya bisa diterima, ia mengunakan nama Paulus. Otoritas Paulus dipakai untuk membantu para pemimpin jemaat lokal mengatasi penyusupan bidat-bidat di dalam jemaat itu sendiri; ketiga, merupakan pendapat minoritas, (termasuk di antaranya adalah Howard Marshall), bahwa surat ini bersifat allonium, artinya mereka ditulis oleh orang lain, bukan penulis yang dinyatakan di dalam surat (Paulus). Pertanyaannya, apakah ini bertujuan untuk “mengelabui” pembacanya? Kami rasa tidak, karena yang disampaikannya adalah ajaran Paulus yang telah diadaptasikan oleh “kelompok Paulus” sesudah kematiannya. Maksud dari kelompok Paulus ini atau murid-muridnya yang setia atau rekan sekerjanya bukan untuk mengelabui, tetapi untuk menyediakan materi inti ajaran Paulus dalam bentuk yang dapat disesuaikan dengan kebutuhan jemaat-jemaat saat itu dalam menghadapi bahaya ajaran sesat.
Walter L. Liefeld mungutip pendapat D.N. Berdot pada tahun 1703 dan diikuti oleh Paul Anton mengatakan bahwa surat 1 Timotius tidak ditujukan kepada jemaat, melainkan secara pribadi yaitu kepada Timotius dalam rangka memberi tanggung jawab untuk mengembalakan jemaat dan mengangkat gembala-gembala jemaat, terutama untuk menghadapi ancaman ajaran sesat yang telah mempengaruhi jemaat. Karena bagaimana pun juga Timotius sangat dekat dengan Paulus. Jadi tujuan dari surat pastoral ini adalah untuk menguatkan para pemimpin jemaat dalam menghadapi guru-guru palsu dengan ajaran sesatnya yang telah menyusup ke dalam jemaat dan menganggu ketenangan. Jemaat membutuhkan tuntunan dan harus ditolong. Oleh sebab itu, harus mengajarkan ajaran yang benar, hidup dalam kekudusan dan tata gereja yang kokoh. Indikasinya adalah kemungkinan yang terpengaruh oleh ajaran sesat yang menyusup di dalam jemaat itu adalah sebagian dari para pemimpin. Tujuan lain adalah perlunya gereja meneruskan tradisi pengajaran Paulus. Dengan demikian kita melihat bahwa surat 1 Timotius memuat tiga tema umum yang walaupun tidak dalam urutan yang sistematis:
1. Ajaran yang benar dan yang salah
Ajaran yang benar dan yang salah ini dibahas dalam tiga bahasan yang tidak berurutan: pertama dalam 1Tim1:3-20 disebutkan beberapa ajaran sesat dengan ciri-ciri dari pengajarannya, yaitu membahas (a). “Dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya” (1:3-4); (b). Mengenai ajaran yang menyimpang dari “kasih, hati nurani yang murni dan iman yang tulus ikhlas” (1:5); dan (c). Pengajaran hukum Taurat yang tanpa pengertian (1:6-7). Ternyata para guru palsu menggunakan dan berusaha menerapkan hukum Taurat untuk kepentingan sendiri (bnd. 1:8). Maka Injil kebenaran itu adalah berasal dari Allah (1:8-11). Paulus menegaskan esensi yang mendasar dari Injil ini melalui kasaksian hidupnya sebelum ia bertobat dan mengenal Yesus (1:12-14), secara pribadi Paulus telah merasakan penyelamatan Kristus atas hidupnya yang berdosa. Hanya karena kasih dan anugerah-Nya ia diselamatkan-Nya. Bahkan ia merasa bahwa dosanyalah yang paling besar dari semua orang, namun tetap dikasihani oleh-Nya (1:15-17). Kedua, dalam 1 Tim 3:14-4:10 dilanjutkan kembali mengenai ajaran sesat, yaitu menurut asketis dengan melarang orang menikah dan memakan makanan tertentu. Maka Paulus menentang ajaran ini dan mengatakan bahwa semua yang diciptakan oleh Allah adalah baik adanya dan tidak ada yang haram jika diterima dengan ucapan syukur (3:4-5).
2. Perilaku di dalam persekutuan Kristen
Dalam bagian ini sangat menekankan perilaku yang seharusnya bagi orang percaya dalam kehidupan sehari-hari, supaya relasi tetap terjaga dengan baik dalam persekutuan jemaat (4:11-5:2; 5:22b-23; 6:11-14). Perilaku itu mencakup relasi-relasi: (a). Hidup sebagai orang Kristen yang sekaligus menjadi warga negara yang baik, yakni tidak menimbulkan kekacauan, kecurigaan terhadap pemerintah Romawi atau masyarakat yang bukan Kristen (2:1-2). (b). Relasi dalam ibadah jemaat antara laki-laki dan wanita, termasuk diantaranya adalah cara berpakaian (2:8-15). (c). Relasi antara budak dengan tuannya (6:1-2a). (d). Dan yang terakhir adalah relasi Timotius dengan mereka yang seusia dan yang lebih tua darinya (4:11-5:2) (bnd. John Drane, 396). Dari penjelasan di atas menunjukan, betapa pentingnya relasi dan prilaku Kristiani untuk mencerminkan Kekristenan yang sesungguhnya karena Injil adalah kekuatan Allah yang menyelamatkan setiap orang yang percaya ( lht. 2 Tim 3:10-4:8; bnd. Roma 1:16). Relasi adalah bagian dari kesaksian hidup orang Kristen terhadap semua orang, yang dipancarkan lewat teladan atau prilaku yang baik bagi semua orang yang mereka layani (1 Tim 6:11-21); berani membela kebenaran (2 Tim 2:1-26). Melalui semuanya itu orang lain diberi kesempatan untuk memperoleh “keselamatan, pengetahuan akan kebenaran” dan mengenal-Nya (2:3-7).
3. Mengenai tata Gereja
Ada empat kelompok yang memegang peranan penting dalam komunitas Kristen pada masa itu: (a). Episkopos, yaitu sebagai penilik jemaat; (b). Diakonos atau diaken (c). Janda (chera) (1 Tim 5:3, 4, 5, 6, 9, 15, 16); dan (d). Presbyteros, yaitu penatua. Syarat-syarat bagi penilik jemaat dan diaken adalah mencakup karakter pribadi, kehidupan rumah tangga dan keluarga serta kesaksian imannya dalam kehidupan sebagai umat Kristiani dan warga Negara yang tidak membuat onar atau kerusuhan.
b) Pembahasan teks 1 Timotius 2:8-15 dan pejelasannya
Dalam 2:1-7 Paulus bebricara mengenai doa yang ditujukan kepada kelompok (jemaat), namun di sini, yaitu dalam ayat 8 Paulus membahas doa yang berorientasi di dalam keluarga.
“Oleh karena itu aku ingin, supaya di mana-mana orang laki-laki berdoa dengan menadahkan tangan yang suci, tanpa marah dan tanpa perselisihan” (2:8).
Ayat 8 diawali dengan frasa “Oleh karena itu aku ingin”, yang menunjuk kepada kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi ketika berdoa, yaitu mengadahkan tangannya tetapi Allah memalingkan muka-Nya dan tidak mau mendengarkan doanya karena tangan mereka penuh dengan darah (Yes 1:15). Kemungkinan besar mereka yang mengajarkan ajaran yang tidak sehat, adalah suka berdoa dengan mengadahkan tangan yang sia-sia dan hanya bersifat formalitas belaka karena tujuan mereka adalah untuk menyesatkan. Maka dari itu Paulus menambahkan “berdoa dengan tangan yang suci”. Di sini kita melihat ada hal-hal tertentu yang dituntut, yaitu kesungguh-sungguhan dalam berdoa. Frasa “tangan yang suci” menunjuk kepada perbuatan yang seharusnya, yang berkenan dan menjadi berkat bagi semua orang. Nasihat ini terutama ditujukan kepada semua laki-laki yang menjadi pemimpin dalam jemaat pada masa itu. Tujuannya supaya mereka berbeda dengan cara atau kebiasaan berdoa yang kosong. Sedangkan frasa “tanpa marah dan tanpa perselisihan”. Kata yang diterjemahkan LAI: “perselisihan” adalah “dialogismou” dari kata “dialogismos”, yang berarti “pertengkaran atau keraguan”. Ini menunjuk kepada sikap hati yang harus benar-benar tenang, hening saat berdoa. Oleh sebab itu Yesus mengatakan “apabila engkau mempersembahkan persembahan, terlebih dahulu berdamailah dahulu dengan saudaramu” (Mat 5:23, 24).
Bagian selanjutnya adalah ayat 9-15 yang berkenaan dengan kedusukan perempuan dalam jemaat. Untuk memahami teks ini tidak bisa terlepas dari konteksnya, karena erat kaitannya dengan situasi / konteks saat itu. Teks ini ditulis dan disampaikan Paulus untuk melawan kebiasaan-kebiasaan orang Yahudi yang keliru memahami Taurat. Hukum Taurat dijadikan alat untuk mendukung argumentasi bahwa kedudukan wanita itu lebih rendah, dan hal yang sama juga terjadi dalam agama Yunani. William Barclay mengatakan:
“Dalam kebudayaan Yahudi wanita tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang” (William Barclay, 106)
Dalam Saying of the Fothers, Rabi Josc ben Johanan mengutip sebuah perkataan: “Biarkan rumahmu terbuka lebar-lebar dan orang-orang miskin menjadi anggota keluargamu, serta janganlah terlalu banyak bercakap dengan wanita.” Dikatakan lagi, bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan”.

Jika kita perhatikan ayat 9-10 dimulai dengan kata “Hosautos”, RSV: “also”, KJV: “manner”: “cara, gaya atau sikap” tapi juga bisa dengan “Likewise” LAI: “demikian juga”. Kata “Hosautos” tidak hanya menujuk pada sebuah cara dan sikap yang seharusnya bagi kaum wanita, tetapi lebih jauh lagi, yaitu bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki adalah sederajat. Hanya cara mengekpresikannya yang berbeda, yakni laki-laki melalui aktivitas dan wanita melalui penampilannya. Kesederhanan merupakan perilaku, cara atau sikap yang sangat umum pada masa itu. Oleh sebab itu, nasihat ini dilontarkan penulis supaya jangan memakai perhiasan emas dan pakaian yang mahal. Kemungkinan ini ditujukan kepada wanita-wanita kaya yang menggunakan berbagai perhiasan dan mengenakan pakaian yang mahal, kemudian berusaha terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang tidak bermanfaat. Dalam hal ini tidak berarti wanita dilarang menggunakan busana yang indah, perhiasan-perhiasan yang mahal, tetapi yang terpenting adalah keindahan batin atau “berdandan dengan perbuatan baik, seperti layaknya perempuan yang beribadah” (2:10).
Selanjutnya ayat 11-14, dalam bagian ini terlihat sangat tegas, keras dan tajam, bahwa wanita harus berdiam diri, patuh, tidak boleh mengajar, tidak boleh memerintah laki-laki pokoknya harus tunduk, karena wanita yang terlebih dahulu berdosa. Paham demikianlah yang dianut oleh tradisi Yahudi dan Yunani. Mengapa? para ahli mengatakan bahwa di Korintus terdapat kuil Aphrodite yang didiami oleh ribuan imam wanita yang menjadi pelacur suci dan menjajakan diri dilorong-lorong pada malam hari. Demikian juga di Efesus terdapat kuil Diana yang memiliki ratusan imam wanita yang disebut Melissae, yang artinya “kawanan lebah” yang berfungsi dan berprofesi sama dengan wanita-wanita di Korintus. Bagi orang Yahudi, wanita yang layak dalam ibadah jemaat adalah wanita yang harus menundukan diri kepada hukum Taurat, yaitu: penurut, tidak memerintah, berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh, maka itulah wanita yang beribadah. Sedangkan Yunani, wanita terhormat hidup dengan sangat membatasi diri, bahkan ia tinggal ditempat yang tidak seorang pun bisa datang, kecuali suaminya. Sedangkan wanita Kristen saat itu aktif dalam pertemuan umum dan ikut dalam percakapan-percakapan. Oleh sebab itu, gereja dianggap sebagai tempat perlindungan wanita-wanita nakal. Maka kata “seharusnya” di ayat 11 dibenarkan dalam konteks itu, namun tidak boleh dijadikan alasan untuk merendahkan kedudukan perempuan seperti yang tertulis dalam ayat 13-14.
Kembali kita melihat kata “authenteo” dalam ayat 12, yang diterjemahkan “to govern, exercise authority” KJV menterjemahkan “to usurp authority”, namun George W. Knight segera membantah bahwa terjemahan KJV keliru (evidently erroneous), menurut dia yang benar adalah “to have authority” . Tahun 1979 Cathrine C. Kroeger menegaskan bahwa kata “authenteo” berkaitan dengan erotic. Selain itu Osburn menterjemahkannya dengan “to dominate or domineer”. Maka dapat kita katakana bahwa kata “authenteo” berarti memerintah yang melebihi batas normal atau yang tidak sewajarnya, yaitu untuk memerintah dan menguasainya. Sebenarnya ayat 11-14 adalah untuk menentang ajaran-ajaran dan tradisi Yahudi dan Yunani yang berusaha merendahkan kedudukan perempuan. Perhatikan ayat 14 “bukan Adam yang tergoda dan yang pertama jatuh dalam dosa, melainkan Hawa”. Tradisi ini sering dipakai sebagai penguat argument-argumen yang ingin menyatakan bahwa wanita lebih rendah dari laki-laki. Ayat ini pun sering disalahpahami oleh orang-orang Kristen atau sebagian Gereja-gereja Tuhan dewasa ini, terutama gereja-gereja yang melarang dan membatasi aktifitas wanita dalam berjemaat. Bisa dikatakan bahwa ini adalah kekeliruan yang terulang kembali atau kesalahan yang dibenarkan karena kesombongan. Pertanyaannya di mana letak kesombongannya? Jika diperhatikan baik-baik ayat 14 ini, maka kita akan menemukan kesombongan yang dilakukan oleh mereka yang menganggap dirinya tidak berdosa.
Kemudian ayat 15 dengan jelas Paulus mengangkat kedudukan perempuan bahwa ia akan diselamatkan kerena melahirkan anak. Dalam tradisi Yahudi seorang anak adalah pawaris terutama bagi anak laki-laki. Sedangkan dalam kebudayaan Yunani wanita yang tidak mempunyai anak dianggap kena kutukan. Ini bertujuan untuk melawan ajaran yang melarang orang kawin (1 Tim 4:3). Maka jelaslah bagi kita bahwa Paulus tidak sedikit pun bermaksud untuk merendahkan kedudukan wanita dalam bagian teks ini.

Kesimpulan
Dalam memahami teks 1 Timotius 2:8-15 para ahli berpendapat:
“In Paul’s understanding men and women, while equal in value and importance before the Lord, were not regarded as unisex components with swappable function in home and church”.
Dengan demikian kita menyimpulkan bahwa apa yang ada dalam pemahaman atau pikiran Paulus bukanlah untuk memandang kedudukan perempuan lebih rendah dari laki-laki, melainkan untuk melawan ajaran sesat yang menyusup dalam jemaat Kristen saat itu. Apa saja bentuk atau ciri-ciri ajaran sesat itu: (a). “Dongeng dan silsilah yang tiada putus-putusnya” (1:3-4); (b). Ajarannya menyimpang dari “kasih, hati nurani yang murni dan iman yang tulus ikhlas” (1:5); dan (c). Pengajaran hukum Taurat yang tanpa pengertian (1:6-7), serta larangan terhadap perkawinan (3:14-4:10). Untuk memahami teks ini tidak boleh dilepaskan dari konteksnya seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa sebagai wanita yang beribadah bagi tradisi Yahudi adalah wanita tunduk terhadap laki-laki, penurut, tidak memerintah, berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh sesuai dengan hukum Taurat. Sedangkan bagi orang Yunani, wanita terhormat hidup dengan sangat membatasi diri, bahkan ia tinggal ditempat yang tidak seorang pun bisa datang, kecuali suaminya. Di samping untuk menentang ajaran yang memandang rendah kedudukan perempuan, teks ini juga disampaikan untuk menghindari tuduhan-tuduhan yang tidak benar terhadap orang-orang Kristen saat itu.
Alasan lain adalah untuk membuktikan bahwa orang Kristen juga bisa hidup sebagai warga Negara yang baik: tidak menimbulkan kekacauan, kecurigaan terhadap pemerintah Romawi atau masyarakat yang tidak Kristen (2:1-2). Demikian juga relasinya dengan laki-laki terutama dalam hal cara berpakaian (2:8-15), berdandan dengan pantas, sopan dan sederhana (memakai perhiasan yang mahal-mahal sesuai dengan situasi dan kondisi saat itu. Artinya, kita melihat di sini, yaitu pentingnya relasi dan prilaku Kristiani yang baik serta memahami orang sesuai konteks.
KEPUSTAKAAN

Barclay, William. Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2001
Budiman, R. Tafsiran Alkitab Surat-Surat Pastoral 1 & 2 Timotius Dan Titus (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 1994.
Campbell, K.M. ed., Marriage And Family In The Biblical World (Downers Grove, IL: InterVarsity), 2003.
Drane, John. Memahami Perjanjian Baru – Pengantar Historis – Teologis (Jakarta: BPK Gunung Mulia), 2006
Erdman, Charles R. The Pastoral Episles Of Paul (Philadelphia: The Westminster Press, 1929)
Gorday, Peter. Ancient Christian Commentary On Scriptur – New Testament IX Colossians, 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus, Fhilemon (Dowrner Grove, Illionis: InterVarsity Press, 2000.
Groenen, C. Pengantar Ke Dalam Perjanjian Baru (Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Hess, R.S. and M. D. Carroll., eds., Family In The Bible (Grand Rapids: Baker), 2003.
Houlden, J.L. The Pelican New Testament Commentaries - The Pastoral Epistles, 1 And 2 Thimoty, Titus (Penguin Books), 1976.
Kostenberger, Andreas J. And Thomas R. Schriner, Women In The Church – Analysis And Application Of 1 Timothy 2:9-15 (second Edition), (Grand Rapids, Michig: Baker Academic), 2005.
.with D. Jones, God, Marriage, And Family (Wheaton: Crossway), 2004.
Kroeger, C. C. Ancient Heresies And A Strange Greek Verb, Reformed Journal No. 29 1979.
Liefeld, Walter L. 1 & 2 Timothy, Titus, The NIV Application Commentary (Grand Rapids, Michigan: Zondervan Publishing House), 1999.
Lock, Walter. A Critical And Exedetical Commentary On The Pastoral Epistles – I & II Timothy And Titus (Edinburgh: T.& T. Clark, 38 George Street), 1936.
Rolston, Holmes. The Layman’s Bible Commenraty 1-2 Thessalonians, 1-2 Timothy, Titus Philemon (Richmond, Virgina: John Knox Press, 1967.
Torrance, David W., Thomas F. Torrance. Calvin’s Commetaries – The Second Epistle Of Paul The Apostel To The Corinthians And The Epistles To Timothy, Titus And Philemon (Grand Rapids, Michigan: Wm. B. Eerdmans Publishing Company), 1991.

1 komentar:

  1. apakah ini benar tulisan saudara? saya lihat ada blog aslinya

    BalasHapus